ANALISIS HADIS AL-TIRMIDZI
“NAFKAH BANGUNAN YANG TIDAK MENDAPAT PAHALA”
A. Pendahuluan
Setiap agama pasti
memiliki sumber ajaran, demikian pula agama islam, agama islam merupakan agama
dengan menggunakan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber ajarannya. al-Qur’an
(firman Allah) yang dicatat dalam mushaf, dan sunnah Rasulullah
(petunjuk Muhammad Rasulullah dalam melaksanakan al-Qur’an) yang dicatat dalam
kitab-kitab Hadits. Adanya Hadits adalah merupakan sumber ajaran kedua setelah
al-Qur’an, karena tidak semua maksud ajaran agama disampaikan secara rinci
dalam al-Qur’an, yang justru membutuhkan Hadits untuk menjelaskan lebih rinci
lagi. Apalagi semakin berkembang kehidupan yang dilalui manusia, oleh karena
itu banyak sekali fenomena-fenomena yang dihadapi masyarakat muslim yang
berhubungan dengan syari’at agama dan membutuhkan hadits untuk
memecahkannya. Adapun untuk menganalisa
sebuah hadits lebih dalam lagi maka dalam hal ini diperlukan ilmu Hadits.
Ilmu hadis atau
ulumul hadis adalah ilmu yang membahas tentang pokok-pokok dan kaidah-kaidah
yang dapat digunakan untuk mengetahui keadaan-keadaan sanad dan matan suatu
hadis dari segi diterima dan ditolak.[1]
Dengan ilmu hadis maka sebuah hadis bisa dikupas dan dikaji, untuk menetahui
keadaan sanad maupun matan hadis. adapun dalam hal ini penulis akan mengkaji
matan (lafadz-lafadz hadits yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu)[2]
hadits tersebut dari beberapa kajian, yaitu: kajian linguistic, kajian tematis
komprehensif, kajian konfirmatif, analisis realitas historis, analisi
generalisasi, dan memberikan kritik praksis terhadap hadits tersebut.
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat membawa dunia pada sebuah era yang
disebut dengan era globalisasi, dan di era globalisasi inilah masyarakat
semakin berkembang sehingga banyak pula problematika syari’at umat islam yang
kurang relevan dengan sumber ajaran utama, yaitu al-Qur’an, oleh karena itu
disinilah hadis sangat berperan dan mencoba menjabarkan serta merelevansikan
hokum al-Qur’an dengan yang ada di dalam hadits. Disinilah penulis akan
mengkaji sebuah hadis nabi dari kitab Al-Tirmidzi bab “semua infaq merupakan
fi sabilillah, kecuali berinfaq untuk mendirikan bangunan” adapun bunyi
hadisnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ حُمَيْدٍ الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا زَافِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ إِسْرَائِيلَ
عَنْ شَبِيبِ بْنِ بَشِيرٍ هَكَذَا قَالَ شَبِيبُ بْنُ بَشِيرٍ وَإِنَّمَا هُوَ
شَبِيبُ بْنُ بِشْرٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّفَقَةُ كُلُّهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا
الْبِنَاءَ فَلَا خَيْرَ فِيهِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ
Hadis tersebut akan penulis kaji dengan meggunakan beberapa kajian
seperti yang telah disebutkan.
Allah telah
menjanjikan pahala atau balasan kepada setiap makhluk yang melakukan kebaikan,
seperti halnya berinfaq, sebagaimana yang telah disebutkan pada hadits diatas,
bahwa semua infaq itu dijalan allah, kecuali bangunan yang bermegah-megah dan
tidak digunakan untuk kebaikan, maka tidak ada balasan atau pahala atasnya.
Disini penulis akan mencoba menganalisa hadis tersebut dengan kajian-kajian
sebagai berikut, sehingga hadis tersebut masih bisa relevan dengan kehidupan di
zaman sekarang ini.
B. Langkah-langkah memahami hadits Al-Tirmidzi, no.2406, bab Shifah
al-Qiyamah wa al-Raqaiq wa al-Wara’ ‘an Rasul Allah
1. Kajian
Linguistik
Linguistik
merupakan ilmu yang mengkaji bahasa, dalam hal ini penulis akan mengkaji
mengenai bahasa yang digunakan dalam hadits tersebut. Sebagaimana yang kita
ketahui bahwa sumber ajaran kita yakni al-Qur’an dan Hadis telah menggunakan
bahasa Arab sebagai sarana bahasanya, oleh karena itu penulis akan mencoba
menganalisa hadis tersebut dari segi linguistiknya. Dalam kajian linguistic
terbagi menjadi 2, yaitu: mikrolinguistic yang mengkaji bahasa dari unsur-unsur
internal bahasa itu sendiri, seperti: fonologi (ilmu al-Ashwat), morfologi
(ilmu al-sharf), sintaksis (ilmu nahwu), dan juga semantic. Kemudian kajian
linguistic yang kedua adalah makrolinguistik yang mengkaji bahasa dari unsur
eksternal suatu bahasa, adapun cabang-cabang ilmunya yaitu: sosiolinguistic,
psikolinguistik, dan lain-lain.[3]
Adapun dalam kajian hadits ini, penulis akan mengkaji linguistic dari segi
mikrolinguistiknya saja, supaya pembaca bisa memahami hadist tersebut sesuai
dengan yang dimaksud hadits tersebut diatas.
Bahasa merupakan
obyek dari kajian semantic, sebagaimana yang tertera diatas dan yang telah kita
ketahui bahwa bahasa arab adalah bahasa yang digunakan dalam menulis Hadis,
oleh karena itu membutuhkan ilmu semantic untuk mengetahui makna-makna dibalik
bahasa tersebut, agar maksud dari hadis tersebut bisa sampai atau dapat
diterima oleh orang lain atau masyarakat muslim yang kurang mengetahui makna dibalik
hadis tersebut. adapun makna-makna nya akan dianalisis sebagai berikut:
النَّفَقَةُ
كُلُّهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا الْبِنَاءَ فَلَا خَيْرَ فِيهِ Lafadz النَّفَقَةُ merupakan mashdar dari lafadz نَفَقَ – يَنْفَقُ
yang berarti biaya, belanja, pengeluaran uang.[4] Jadi yang dimakksud nafkah/infaq pada hadis tersebut
adalah membelanjakan harta/ mengeluarkan uang. Adapun dalam mu’jam al-Wasith
dijelaskan bahwa lafadz النَفَقَةُ adalah isim dari kata "الإِنْفَاقُ"
yang berarti sesuatu yang dibelanjakan, baik berupa dirham ataupun semisalnya,
dan juga bermakna bekal, juga bermakna sesuatu yang menjadi hak seorang isteri
atas suaminya baik berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, maupun yang
lainnya.[5]
Kemudian lafadz فِي سَبِيْلِ اللهِ yang bermakna dijalan Allah. Ibnu Atsir
menyatakan, bahwa sabil makna aslinya adalah al-thariq (jalan). Sabilillah
adalah kalimat yang bersifat umum mencakup segala amal perbuatan ikhlas, yang
dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan segala
perbuatan wajib, sunat, dan berbagai macam kebaikan lainnya.[6]
Sedangkan makna kalimat سَبِيْلِ اللهِ
dalam mu’jam al-Wasith adalah jihad, haji, menuntut ilmu, dan segala sesuatu
yang diperintahkan Allah dalam hal kebaikan.[7]
Kemudian
lafadz البِنَاءَ dalam kamus hans wehr merupakan isim dari
fi’il madzi بَنَى kemudian memunculkan
lafadz البِنَاء yang bermakna
building (bangunan), construction (konstruksi pekerjaan), dan erection
(pemancangan).[8]
Dan dalam mu’jam al-wasith juga bermakna sesuatu/apa-apa yang dibangun (البِنَاء --- البُنْيَان : مَا بُنِيَ)[9].
Dari kata-kata yang sudah diketahui maknanya tersebut maka hadis tersebut dapat
diartikan : “Semua infak itu dijalan allah/perbuatan baik, kecuali infak
bangunan maka tidak ada kebaikan didalamnya”. Adapun lafadz bangunan tersebut
mengandung makna bangunan yang megah melebihi kebutuhan dan tidak digunakan
untuk ketaatan, sebagaimana yang dijelaskan pada kitab tuhfatul ahdzawi syarah
dari sunan Tirmidzi, ang lafadznya sebagai berikut.
(
النَّفَقَةُ كُلُّهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ) أَيْ فَيُؤَخِّرُ الْمُنْفَقَ
عَلَيْهَا ( إِلَّا الْبِنَاءَ ) أَيْ إِلَّا النَّفَقَةَ فِي الْبِنَاءِ ( فَلَا
خَيْرَ فِيهِ ) أَيْ فِي الْإِنْفَاقِ فِيهِ فَلَا أَجْرَ فِيهِ ، وَهَذَا فِي
بِنَاءٍ لَمْ يُقْصَدْ بِهِ قُرْبَةٌ أَوْ كَانَ فَوْقَ الْحَاجَةِ.
dan bangunan
yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah semua jenis bangunan, baik bangunan
rumah, masjid, pasar, ataupun yang lainnya.
2. Kajian tematis komprehensif
Hadis diatas
menjelaskan bahwa semua infak merupakan fi sabilillah, kecuali berinfak untuk
mendirikan bangunan, maka tentu tidak ada balasan baginya. Dalam syarah Sunan
Tirmidzi “tuhfatul Ahwadzi” disebutkan bahwa yang dimaksud bangunan tersebut
adalah bangunan yang dibangun tidak untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
tidak untuk kebutuhan[10].
Adapun dalam kitab ensiklopedia Jami’ at-Tirmidzi disebutkan, yang dimaksud
bangunan tersebut adalah bangunan megah melebihi kebutuhan dan tidak digunakan
untuk ketaatan.[11]
tentu tidak ada balasan pahala padanya. Olehkarena itu dapat diambil kesimpulan
bahwa sebagai umat muslim hendaknya tidak berlebihan dalam membuat bangunan dan
tidak bermegah-megahan kalau tidak digunakan untuk ketaatan. Adapun ada
beberapa hadits lain yang berhubungan dengan hadis yang bersangkuta. Adapun
bunyi hadis-hadisnya adalah sebagai berikut:
2480- حَدَّثنا
الجارود: حَدّثنا الفضلُ بْنُ مُوسى عَنْ سُفْيَان الثَّوْرِي، عَنْ أَبِي
حَمْزَةَ، عَنْ إبْراهِيمَ النَّخَعِيِّ قَالَ : كُلُّ بِنَاءٍ وَبَالٌ عَليْكَ،
قُلْتُ أَرَأَيْتَ مَالَا بُدَّ مِنْهُ؟ قَالَ : لَا أَجْرَ وَلَا وِزْرَ.[12]
2480-
Artinya: al-Jarut menyampaikan kepada kami dari al-Fadhil bin musa, dari sufyan
ats-Tsauri, dari Abu Hamzah bahwa Ibrahim an-Nakha’I berkata, “seluruh bangunan
(megah yang melebihi kebutuhan dan tidak digunakan untuk ketaatan) akan
mendatangkan malapetaka bagimu (pada hari kiamat).” Aku (Abu Hamzah) bertanya,
“Bagaimana menurutmu jika bangunan megah itu memang diperlukan?” Dia menjawab,
“Tidak ada pahala maupun dosa bagi pemiliknya”.
Hadis ini mempunyai maksud yang sama dengan
hadis yang dikaji oleh penulis, yaitu sama-sama larangan berlebihan dan
bermegah-megahan dalam hal bangunan. Bangunan yang disampaikan pada kedua hadis
tersebut tidak dijelaskan secara rinci dalam hadis, oleh karena itu penulis
menyimpulkan yang dimaksud bangunan pada kedua hadis tersebut adalah semua
jenis bangunan, baik bangunan rumah, masjid, ataupun bangunan yang lainnya,
karena meskipun bangunan masjid allah juga melarang untuk bermegah-megahan
kalau itu tidak digunakan untuk beribadah, karena bermegah-megahan hanya akan memubadzirkan
sesuatu. Dan bermegah-megahan hanya akan menyia-nyiakan harta saja, dan dalam
hal ini disebutkan dalam Hadis imam muslim, sebagai berikut:
3236- عَنْ
أَبِي هُرَيْرَة قالَ: قَالَ رَسولُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِنَّ
اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ
تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ
جَميْعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السؤَالِ
وَإِضَاعَةِ الْمَالِ.[13]
Artinya: Dari Abu Hurairah dia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah
menyukai bagimu tiga perkara dan membenci tiga perkara; Dia menyukai kalian
bila kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun,
kalian berpegang teguh dengan agama-Nya dan tidak berpecah belah.
Dan Allah membenci kalian dari mengatakan sesuatu yang tidak
jelas sumbernya (qiila wa qaala), banyak bertanya dan menyia-nyiakan
harta.” (HR Muslim 3236)
Larangan berlebihan dan bermegah-megahan juga
terdapat pada bangunan masjid, hendaknya tidak berlomba-lomba membangun masjid
dengan mewah, tetapi jama’ahnya sedikit, karena yang terpenting adalah orang
yang mau beribadah di masjid, bukan berlomba-lomba dalam bermegah-megah dalam bangunannya,
hal ini terdapat pada hadis berikut:
Hadis
yang diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, ia berkata,
1613-
نَهَى رسولُ الله صلى الله عليه و سلم أنْ يَتَبَاهَى النَّاس فِي المْسَاجِدِ
Artinya: “Rasulullah SAW telah melarang manusia
berbangga-bangga dengan bangunan masjid”. (hadis Shahih Riwayat Imam Ibnu
Hibban Rahimahullah, no.1613)
Lalu dalam riwayat lain disebutkan, bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
789-
"مِنْ أشْرَاطِ السَّاعَةِ أنْ يَتَبَاهَى النَّاس في المَسَاجِدِ"
Artinya: “Salah satu tanda hari kiamat adalah manusia
berbangga-bangga dengan bangunan masjid”. (Hadis Shahih riwayat Imam an-Nasa’I
Rahimahullah, no.689 dari Anas bin Malik RA).
Dan
beliau SAW juga bersabda, sebagai berikut:
2817-
"يَأْتِي عَلَى أُمَّتِي زَمَانٌ يَتَبَاهون بِالْمَسَاجِد ولا يُعَمِّرُونَها
إلَّا قَلِيْلاً"
Artinya: “Akan datang suatu zaman atas manusia yang pada
zaman itu mereka berbangga-bangga dengan bangunan masjid, mereka tidak
memakmurkannya kecuali sedikit saja”. (Hadis riwayat imam Abu Ya’la
Rahimahullah, no.2817 dari anas bin Malik RA dan menurut Syeikh husein Salim
hasan sanadnya adalah Hasan).
Sementara yang lebih
penting daripada itu adalah memakmurkan masjid, yaitu yang disebut dengan
Syi’ar Islam, yakni menjadikan peran masjid lebih luas lagi dengan menyebarkan
syi’ar islam sebagaimana yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasulnya.
Adapun (tentang dibencinya) menyia-nyiakan
harta itu ada di hadits muttafaq ‘alaih, karena hal itu tidak bermaslahat
bagi agama maupun dunia. Hal itu dilarang, karena Allah Ta’ala menjadikan
harta-harta itu sebagai kekuatan untuk kemaslahatan hamba-hamba. Sedang penghamburannya
(tabdzir) itu menghilangkan maslahat-maslahat, baik dalam hak pelaku yang
menyia-nyiakan harta ataupun dalam hak orang lain.
حَدَّثَنَا هَاشِمُ
بْنُ الْقَاسِمِ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ خَالِدِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ
أَبِي هِلَالٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ أَتَى رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنِّي ذُو مَالٍ كَثِيرٍ وَذُو أَهْلٍ وَوَلَدٍ وَحَاضِرَةٍ فَأَخْبِرْنِي كَيْفَ
أُنْفِقُ وَكَيْفَ أَصْنَعُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تُخْرِجُ الزَّكَاةَ مِنْ مَالِكَ فَإِنَّهَا طُهْرَةٌ تُطَهِّرُكَ
وَتَصِلُ أَقْرِبَاءَكَ وَتَعْرِفُ حَقَّ السَّائِلِ وَالْجَارِ وَالْمِسْكِينِ
فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقْلِلْ لِي قَالَ فَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ
وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا فَقَالَ حَسْبِي
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا أَدَّيْتُ الزَّكَاةَ إِلَى رَسُولِكَ فَقَدْ بَرِئْتُ
مِنْهَا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِذَا أَدَّيْتَهَا إِلَى رَسُولِي فَقَدْ بَرِئْتَ
مِنْهَا فَلَكَ أَجْرُهَا وَإِثْمُهَا عَلَى مَنْ بَدَّلَهَا
(AHMAD - 11945)
: Telah menceritakan kepada kami Hasyim Ibnul Qasim berkata, telah menceritakan
kepada kami Laits dari Khalid bin Yazid dari Sa'id bin Abu Hilal dari Anas bin
Malik bahwasanya ia berkata; "Seorang laki-laki dari bani Tamim mendatangi
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata; "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku memiliki uang yang banyak, memiliki keluarga, anak dan kota.
Maka kabarkanlah kepadaku bagaimana aku harus berinfaq dan bagaimana aku harus
berbuat?" maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda:
"Engkau keluarkan zakat dari hartamu karena hal itu akan mensucikan
hartamu dan kebaikan untuk kerabatmu. Dan pahami juga hak peminta, tetangga dan
orang-orang miskin." Lalu ia berkata; "Wahai Rasulullah, sedikitkanlah
untukku, " beliau bersabda: "Berikanlah hak kerabat, orang miskin,
ibnu sabil dan jangan berlaku mubadzir." Ia berkata; "Telah cukup
bagiku wahai Rasulullah, jika aku berikan zakat kepada utusanmu maka aku telah
berlepas diri dari kewajiban itu untuk Allah dan Rasul-Nya." Lalu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ya, jika engkau berikan
zakat itu kepada utusanku maka engkau telah berlepas diri darinya. Dan engkau
akan mendapatkan pahala sedang dosanya adalah bagi orang yang menggantinya."
Dalam hadis lain juga disebutkan:
3118- حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ حَدَّثَنَا أَبُو زُبَيْدٍ حَدَّثَنَا حُصَيْنٌ عَنْ إِبْرَاهِيمَ
التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ الْمُرَّانِ الْإِمْسَاكُ
فِي الْحَيَاةِ وَالتَّبْذِيرُ عِنْدَ الْمَوْتِ قَالَ أَبُو مُحَمَّد يُقَالُ
مُرٌّ فِي الْحَيَاةِ وَمُرٌّ عِنْدَ الْمَوْتِ
(DARIMI - 3118) : Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Abu
Zubaid telah menceritakan kepada kami Hushain dari Ibrahim At Taimi dari Ayahnya
ia berkata; Abdullah berkata, "Ada dua kepahitan; kikir saat masih hidup
dan foya-toya saat kematian." Abu Muhammad berkata, "Dikatakan
kepahitan ketika hidup dan kepahitan ketika meninggal dunia."
Dalam hadits
shahih, Allah membenci orang yang menyia-nyiakan harta:
3236- عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا
فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ
تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ
قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ
Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai bagimu
tiga perkara dan membenci tiga perkara; Dia menyukai kalian bila kalian
beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kalian
berpegang teguh dengan agama-Nya dan tidak berpecah belah. Dan Allah
membenci kalian dari mengatakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya (qiila
wa qaala), banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.” (HR Muslim
3236)
Itulah
beberapa hadis yang penulis temukan, yang masih berhubungan dengan maksud hadis
yang dianalisis oleh penulis.
3. Kajian konfirmatif
Kajian konfirmatif
yaitu mengkonfirmasikan makna hadis dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an sebagai
sumber tertinggi ajaran. Hadis sebagai sumber ajaran kedua setelah al-Qur’an,
tentunya setiap hokum yang dijelaskan pada hadis juga ada kaitannya dengan
hokum yang dijelaskan dalam al-Qur’an,[14]
sebagaimana hadis yang dikaji oleh penulis ini. Berinfaq memang dianjurkan dan
semua infaq itu dijalan Allah, sebagaimana firmanNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا
كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ
إِلَّا أَن تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (267)
Artinya“Hai orang-orang yang beriman, Nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang
Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamusendiri tidakmau
mengambilnya melainkan dengan melincingkan mata terhadapnya. Dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. al-Baqarah (2):
267)
لَن تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا
تُنفِقُوا مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (92)
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu
cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesunguhnya Allah
mengetahuinya. ” (Q.S. Ali Imran (3): 92)
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ
أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ
فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ
وَاسِعٌ عَلِيمٌ (261)
Artinya:“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir: seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2): 261)
Ayat-ayat tersebut di atas
menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk
mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah
telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang
menginfakkan hartanya di jalan Allah. Itulah bahwa semua nafkah itu fi
sabilillah, kecuali bangunan yang bermegah-megahan, dan tidak digunakan untuk
ketaatan. Karena sesuatu yang bermegah-megahan itu awal dari
menghambur-hamburkan harta, dan Allah tidak menyukai hal itu, sebagaimana
firman Allah:
وَآَتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ
وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ
الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ
كَفُورًا [الإسراء/26، 27]
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang
dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros (26). Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS Al-Isra’/ 17: 26, 27).
Dan bermegah-megahan juga awal dari
munculnya sifat riya’ atau pamer, dan Allah juga sangat membenci orang yang
riya’
Firman Allah SWT :
يـاَيــُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا لاَ تُـبْطِلُوْا
صَدَقَاتِكُمْ بِاْلمَنِّ وَاْلاَذى كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَا لَه رِئَآءَ النَّاسِ
وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلاخِرِ، فَمَثَلُه كَـمَثَلِ صَفْوَانٍ
عَلَـيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَه وَابِلٌ فَتَرَكَه صَلْدًا، لاَ يَـقْدِرُوْنَ عَلى
شَيْئٍ مِمَّا كَسَبُوْا، وَ اللهُ لاَ يَـهْدِى اْلـقَوْمَ اْلكـفِرِيـْنَ.
البقرة:264
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (pera-saan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena
riya' kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah).
Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. [Al-Baqarah : 264]
... وَ اَعْتَدْنـَا لِلْكَافِرِيـْنَ عَذَابًـا مُّهِيْنًا. وَ
الَّذِيـْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ رِئَآءَ النَّاسِ وَ لاَ يُؤْمـِنُوْنَ
بِاللهِ وَ لاَ بِاْلـيَوْمِ اْلاخِرِ، وَ مَنْ يَّكُنِ الشَّيْطَانُ لَه
قَرِيـْنًا فَسَآءَ قَرِيـْنًا. النسآء:37-38
.... Dan Kami telah menyediakan
untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. Dan (juga) orang-orang yang
menafkahkan harta-harta mereka karena riya' kepada manusia, dan orang-orang
yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang
mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang
seburuk-buruknya. [An-Nisaa' : 37-38]
اِنَّ اْلمُنَافِـقِـيْنَ يُخدِعُوْنَ اللهَ وَ هُوَ
خَادِعُهُمْ، وَ اِذَا قَامُوْآ اِلىَ الصَّلوة قَامُوْا كُسَالى يُرَآءُوْنَ
النَّاسَ وَ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ اِلاَّ قَـلِـيْلاً. النسآء:142
Sesungguhnya orang-orang Munafiq itu
menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri
untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan
shalat) dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit
sekali. [An-Nisaa' : 142]
اَرَءَيـْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيـْنِ، فَذلِكَ
الَّذِيْ يَدُعُّ اْلـيَـتِـيْمَ، وَ لاَ يَحُضُّ عَلى طَعَامِ اْلمِسْكِـيْنِ،
فَوَيـْلٌ لِّلْمُصَلِّـيْنَ، اَلــَّذِيـْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِـهِمْ سَاهُوْنَ،
اَلــَّذِيـْنَ هُمْ يُرَآءُوْنَ، وَ يَمْنَـعُوْنَ اْلمَاعُوْنَ. الماعون:1-7
Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama ? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak
menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang
berbuat riya'. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. [Al-Maa'uun : 1-7]
4. Analisis Realitas Historis
Dalam tahap ini
makna atau arti suatu pernyataan dipahami dengan melakukan kajian atas
realitas, situasi atau problem historis dimana pernyataan sebuah hadis muncul,
baik dari situasi mikro maupun makro.[15]
Untuk menyibak Hadis yang bermuatan norma hokum, utamanya lagi hokum sosial
maka sangat diperlukan Asbabul Wurud dalam hal ini, sebab hokum dapat berubah
karena perubahan atau perbedaan sebab, situasi, dan illat. Asbabul wurud tidak
dibutuhkan untuk memahami Hadis yang bermuatan informasi alam ghaib atau akidah
karena tema ini tidak terpengaruh situasi apapun.[16]
Untuk mengetahui asbabul wurud sebuah
hadis adalah dengan melihat aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan
peristiwa wurudnya hadis, sebab-sebab wurudnya hadis, ada yang sudah tercantum
pada matan hadis itu sendiri, ada yang tercantum pada matan hadis lain.[17] Adapun
Hadis ini tidak disertai asbabul wurud pada matan Hadis tersebut, sehingga
penulis pun sulit untuk merumuskan sabab wurud dari Hadis tersebut. Oleh karena
itu untuk mengetahui sebab diturunkannya Hadis mengenai Bangunan yang tidak
mendapatkan pahala ini maka perlu melihat historisnya terlebih dahulu.
Jika kita melihat
sejarah maka dizaman nabi mungkin belum dibangun berbagai bangunan yang mewah,
dan seni arsitektur pada zaman Rasulullah pun belum berkembang, tetapi ketika
melihat kepada ayat al-Qur’an bahwa dizaman nabi sulaiman telah berdiri istana
yang megah, dengan lantai yang terbuat dari kaca sehingga bisa melihat air yang
mengalir dibawah kaca dengan indah, dan hal itu merupakan salah satu bentuk
seni bangunan yang memang sebenarnya telah ada sebelum Islam datang. untuk
melakukan analisis realitas historis pada Hadis yang penulis bahas kali ini
penulis belum menemukan asbabul wurud sehingga turunlah Hadis tersebut, ada
kemungkinan hadis tersebut turun tanpa diketahui asbabul wurudnya, karena dalam
sebuah buku telaah matan Hadis disebutkan bahwa tidak semua Hadis ditemukan
sabab wurudnya, demikian halnya tidak semua ayat al-Qur’an dapat ditemukan
sabab nuzulnya.[18]
Jika dilihat dari
realitasnya dan juga telah disebutkan dalam al-Qur’an surat at-Takatsur:1 bahwa
“bermegah-megah telah melalaikanmu” sehingga rasulullah pun melarang
untuk bermegah-megah dalam pembangunan yang diungkapkan dalam sebuah Hadis,
karena tanpa informasi Hadis, misi dari al-Qur’an tidak diketahui dengan jelas.
Untuk asbabul wurud dari hadis ini penulis belum mengetahui lebih jelas.
5. Analisis Generalisasi
Pada hadis tersebut mengandung
beberapa makna yang akan penulis paparkan dalam tahapan ini. Secara universal
hadis tersebut melarang kita (umat manusia) untuk membangun bangunan yang
bermegah-megahan, karena hal yang bermegah-megahan itu merupakan hal yang
berlebihan, dan nafkah bangunan yang dibangun secara megah melebihi kebutuhan
dan tidak digunakan untuk ketaatan tentu sia-sia belaka, yakni tidak
mendapatkan pahala atas infaknya. Oleh karena itu hendaknya ketika menafkahkan
bangunan hendaknya tidak bermegah-megahan tetapi sesuai kebutuhan saja. Karena
sebagaimana yang telah saya sebutkan diatas bahwa bangunan khususnya masjid
yang terpenting bukanlah kemegahan bangunannya tetapi memakmurkan masjid yaitu yang disebut dengan Syi’ar Islam, yakni menjadikan
peran masjid lebih luas lagi dengan menyebarkan syi’ar islam sebagaimana yang
telah diajarkan oleh Allah dan Rasulnya.
Perlu diketahui
bahwa Islam tidak pernah melarang umatnya untuk menjadi orang kaya, apalagi
jika menyisihkan hartanya untuk digunakan beramal shaleh. Oleh karena itu
sebenarnya mewah disitu juga perlu digaris bawahi, karena sesuatu ataupun
bangunan mewah itu juga sifatnya relative, sehingga yang dimaksud mewah yang
seperti apa. Yaitu mewah yang hanya mendatangkan sifat takabbur semata. Karena
setiap manusia pasti mempunyai impian untuk bisa membangun bangunan yang megah
dan indah, supaya bisa hidup nyaman dirumah tersebut.
6. Kritik Praksis
Setiap manusia pasti mempunyai cita-cita, harapan, ataupun
keinginan untuk membangun istanah (rumah) yang megah, nyaman, dan indah. Oleh
karena itu mereka (para manusia) berlomba-lomba dan bekerja keras untuk
mendapatkan apa yang menjadi cita-cita mereka. Rumah mewah dan nyaman adalah
harapan setiap orang. sehingga menurut penulis sah-sah saja seseorang membangun
bangunan yang mewah dan megah sesuai porsi masing-masing, dan sesuai yang
mereka mampu, karena dengan begitu manusia juga akan lebih giat bekerja, dan
menabung. Serta dengan rumah yang nyaman dan bersih maka nantinya akan nyaman
pula untuk digunakan beribadah kepada Allah SWT.
Di zaman modern
dan semakin global ini memang tidak sedikit bangunan yang dibangun dengan mewah
dan megah, tidak peduli seberapa harta yang akan dikeluarkan, dan justru hal
itu seolah-olah menjadi perlombaan antara manusia yang satu dengan yang
lainnya. Demikian pula bangunan pada tempat-tempat ibadah, khususnya masjid. Di
berbagai daerah-daerah tak peduli pedesaan maupun perkotaan banyak sekali
dijumpai bangunan masjid dengan bangunan yang megah, indah dan besar. Tetapi
melihat kenyataannya masjid-masjid tersebut hanya megah dan indah dari fisiknya
saja, tetapi kalau melihat jama’ahnya yang hanya satu hingga dua baris rasanya
tidak sebanding dengan kemegahan bangunannya. Disinilah yang dilarang ketika
manusia membangun bangunan yang hanya untuk riya’ semata.
Tetapi melihat dunia yang semakin global ini berbagai macam dan
bentuk bangunan yang indah dan megah juga termasuk salah satu perkembangan
teknologi, karena segala bentuk bangunan yang di ukir dengan indah itu tak lain
adalah salah satu dari bentuk seni arsitektur. Tetapi kembali pada faedahnya
lagi, jika bangunan yang megah tersebut hanya untuk menghambur-hamburkan harta
dan menyebabkan datangnya madharat, seperti riya’, takabbur, dan maksiat yang
lainnya maka sebaiknya di tinggalkan, dan membangun yang seperlunya saja.
Karena indahnya suatu bangunan belum tentu berpengaruh pada indahnya hati dan
menambah manusia untuk lebih taqwa kepada Allah SWT, tetapi justru sebaliknya,
dengan mempunyai bangunan yang mewah maka manusia akan bangga dan riya’ dengan
yang dimilikinya.
C. Kesimpulan
Dari beberapa kajian yang dilakukan oleh penulis, maka dapat
diambil beberapa kesimpulan mengenai Hadis tersebut, yaitu:
1. Bahwa semua amal ibadah akan diberi balasan pahala oleh Allah
2. perintah untuk infak, bahwa infak itu merupakan ibadah yang
dianjurkan, dan semua infak itu bernilai ibadah
3. bangunan yang tidak digunakan untuk ketaatan dan kebaikan untuk
mendekatkan diri kepada Allah maka tidak bernilai ibadah, dan tidak mendapatkan
kebaikan atau pahala dari Allah SWT
4. Larangan berlebihan dan membangun bangunan yang megah, jika itu
hanya akan memubazirkan harta, dan menyebabkan seseorang menjadi
sombong/takabbur Sedangkan Allah sangat membenci orang yang sombong dan
takabbur.
5. Sebenarnya membangun bangunan yang megah tidaklah merupakan
larangan, tetapi yang menjadi larangan adalah, jika bangunan megah tersebut:
a.
Niat
untuk takabbur dan menyombongkan diri
b.
Berlomba
mengejar kemewahan semata
c.
Niat
untuk pamer semata
Daftar Pustaka
Ajjaj
al-Khatib, Muhammad, Ushul al-Hadits; Ulumah wa Musthalahah, (Beirut: Dr
al-Fikr, 1981)
Arra’ini, Muhammad, Syamsuddin, Ilmu nahwu terjemah mutammimah
ajjurumiyyah, (Surabaya: Al-Hidayah, 1423 H)
Chaer, Abdul, Linguistik Umum (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2012)
Ensiklopedi
Jami’ At-Tirmidzi
Jumhuriyat al-Mishra al-‘Arabiyah, Mu’jamul Wasith, cet.4
(Mesir: Maktabah Syuruq Ad-Dauliyah:2004)
Munawwir, A.W, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia,edisi
ke 2, ( Surabaya : Pustaka Progressif, 1997)
Qardawi, Yusuf,
Fiqh al-Zakat, Terj. Salman Harun dkk, (Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2006)
Program Softwere,
Lidwa, shohih Muslim
Soetari, Endang, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal
Bakti Press, 1997)
Suryadi,
Handout mata kuliah Studi al-Hadis
Thahhan, Mahmud diterjemahkan oleh Zainul Muttaqin, Ulumul Hadis
Studi kompleksitas hadis Nabi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2004)
Wehr, Hans, editor oleh J. Milton Cowanm, Hans wehr a Dictionary
of modern Writen Arabic, (New York : Ithaca, 1976),
Zuhri, Muh, Telaah Matan Hadis, ( Yogyakarta: LESFI, 2003)
[1] Mahmud
Thahhan, diterjemahkan oleh Zainul Muttaqin, Ulumul Hadis Studi kompleksitas
hadis Nabi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2004), hlm.23
[2] Muhammad Ajjaj
al-Khatib, Ushul al-Hadits; Ulumah wa Musthalahah, (Beirut: Dr al-Fikr,
1981), hlm. 31
[3] Abdul Chaer, Linguistik
Umum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2012), hlm.15
[4] A.W Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia,edisi ke 2, ( Surabaya : Pustaka Progressif,
1997), hlm.1449
[5] Jumhuriyat al-Mishra
al-‘Arabiyah, Mu’jamul Wasith, cet.4 (Mesir: Maktabah Syuruq
Ad-Dauliyah:2004)Hlm.942
[6] Yusuf Qardawi,
Fiqh al-Zakat, Terj. Salman Harun dkk, (Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2006), hlm. 610
[8] Hans Wehr,
editor oleh J. Milton Cowanm, Hans wehr a Dictionary of modern Writen Arabic,
(New York : Ithaca, 1976), hlm. 77
تحفة
الأحوذي (6/ 274) قَوْلُهُ : ( النَّفَقَةُ كُلُّهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ) أَيْ
فَيُؤَخِّرُ الْمُنْفَقَ عَلَيْهَا ( إِلَّا الْبِنَاءَ ) أَيْ إِلَّا النَّفَقَةَ
فِي الْبِنَاءِ ( فَلَا خَيْرَ فِيهِ ) أَيْ فِي الْإِنْفَاقِ فِيهِ فَلَا أَجْرَ
فِيهِ ، وَهَذَا فِي بِنَاءٍ لَمْ يُقْصَدْ بِهِ قُرْبَةٌ أَوْ كَانَ فَوْقَ
الْحَاجَةِ
[11] Ensiklopedi
Jami’ At-Tirmidzi, hlm. 824
[12] Ibid
[14] Suryadi,
Handout mata kuliah Studi al-Hadis, hlm.2
[15] Suryadi,
Handout mata kuliah studi al-Hadis, hlm 2
[16] Muh Zuhri, Telaah
Matan Hadis, ( Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar