Selasa, 24 November 2015

mini riset filologi arab

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
            Islam merupakan salah satu agama yang dianut oleh manusia. Dalam setiap agama pastinya mempunyai aturan masing-masing dalam menjalankan rutual beragama. Sebagaimana umat islam. Sebelum melaksanakan ibadah shalat, thawaf, maupun ibadah yang lainnya maka seorang muslim harus dalam keadaan bersih dari hadas besar dan hadas kecil, serta bersih dari hal-hal yang dianggap najis. Adapun untuk membersihkan hadas besar seseorang harus melakukan mandi besar. Dan untuk menghilangkan hadas kecil maka seseorang harus berwudhu.
            Wudhu merupakan hal yang perlu dilakukan sebelum melaksanakan shalat dan untuk menghilangkan hadas kecil, seperti : kentut, buang air kecil, buang air besar, dan yang lainnya. Karena kalau seseorang mempunyai hadas, baik itu hadas kecil ataupun hadas besar maka dia tidak diperbolehkan melakuakn shalat. Adapun mengenai fardhunya wudhu hingga hal-hal yang membatalkan wudhu semuanya telah dijelaskan secara rinci pada fiqih ibadah. Walaupun banyak pula madzhab-madzhab yang mempunyai perbedaan dalam hal batasan anggota wudhu atau yang lainnya.
            Wudhu sebagaimana yang kita ketahui adalah merupakan suatu ritual yang dapat dilihat oleh mata, sebagaimana disebutkan dalam teks al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah  mengenai fardhunya wudhu, mulai dari niat, membasuh kedua tangan, hingga berurutan. Hal-hal tersebut adalah ritual yang tidak asing bagi umat islam. Ang semua perbuatan itu bisa dilakukan dengan gerakan-gerakan anggota tubuh. Adapun ketika wudhu dilihat dari kaca mata tasawuf mka sebagaimana diungkapkan imam Ghazali bahwasanya persoalan wudhu bukanlah mengenai basuhan-basuhan pada anggota-anggota wudhu seperti: wajah, tangan, ataupun kaki. Tetapi juga membasuh hati dan pikiran.[1]
            Olehkarena itu penulis ingin menganalisa bagaimana pandangan fiqih tasawuf terhadap wudhu (bersuci), dalam hal ini penulis hanya akan membahas bersuci dalam hal wudhu. Bagaimana korelasi antara wudhu dalam kacamata ibadah dan wudhu dalam kacamata tasawuf. Bagaimana makna pembersihan dan basuhan pada anggota-anggota wudhu itu juga mengandung makna-makna spiritual, jadi tidak sekedar membasuh anggota-anggota wudhu. Dalam hal ini penulis mengkorelasikan dengan fiqih tasawuf yang ditulis oleh Imam Ghazali yang berjudul Bidayah al-Hidayah, karena kitab bidayah al-hidayah merupakan karya imam ghazali dalam bidang fiqih  dan tasawuf. Akan tetapi proses ritual-ritual yang dilakukan ketika bersuci hingga melaksanakan bersuci, dan bahkan setelah melakukan basuhan-basuhan didalamnaya mengandung nilai-nilai kesehatan jiwa sehingga menggugah minat penulis untuk mengkorelasikan dengan teks al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah pada fasal wudhu.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana bunyi dan isi secara global teks pada naskah al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah   ?
2.      Bagaimana korelasi ritual wudhu pada fiqih islam dalam teks al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah   dan wudhu pada fiqih tasawuf menurut imam ghazali pada kitab Bidayah al-Hidayah?
3.      Bagaimana hubungan spiritualitas wudhu menurut imam al-Ghazali?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menghasilkan suntingan teks naskah al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah  yang bisa dinikmati oleh masyarakat pembaca.
2.  Mengemukakan pesan teks sehingga bisa dimengerti oleh masyarakat pembaca.
3. mengetahui korelasi model ritual wudhu pada fiqih islam dan pada fiqih tasawuf
4. mengetahui nilai-nilai spiritualitas wudhu.

D. Metodologi Penelitian
            Naskah dan teks yang terkandung di dalamnya adalah sebuah produk masa lalu dengan latar sosial dan budaya  tertentu sebagaimana karya-karya sastra lainnya. Para kritikus sastra biasanya mengkaitkan   wacana hubungan sebuah karya sastra dengan lingkungannya  dengan beberapa pelopor sosiologi sastra seperti Taine, Sainte Beuve dari Prancis dan beberapa tokoh lain seperti William Hozlitt, Thomas dan Carlyle dari Inggris[2]. Sejalan dengan alur pikir ini,  Abrams menawarkan   sebuah pendekatan- di samping pendikatan-pendekatan lainnya-   yang ia sebut dengan pendekatan Mimesis yang mengasumsikan bahwa karya sastra merupakan cermin dari realitas [3]. Dengan asumsi ini, maka memahami  sebuah teks dalam naskah sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari wacana yang berkembang dalam masa teks itu diciptakan, walaupun perlu disadari  tidak semua teks akan mempunyai kasus yang sama karena dimungkinkan ada seorang yang menulis tema yang berlainan dengan wacana yang berkembang pada masanya.
            Dengan asumsi tersebut diatas, para filolog dan para peminat naskah mengalami banyak kesulitan dalam menghadapi rentan budaya antara penulis masa lalu dengan pembaca masa kini disamping dihadapkan pula pada naskah yang cukup banyak  karena teks yang cukup populer dan diminati oleh berbagai masyarakat. Dan untuk mengurangi kesulitan ini, maka  para filolog  meletakan    metode  serta langkah kerja secara khusus yang akan menghindarkan mereka  dari kesalahan-kesalahan dalam melakukan penelitian yang tentunya disesuaikan dengan keadaan naskah baik dari sisi jumlah  naskahnya atau juga bisa disesuaikan dengan keinginan  dan tujuan  peneliti.
            Naskah  berjudul  al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah   sebagaimana akan diterangkan lebih lanjut dalam bab kedua-  adalah  codex unicus (naskah tunggal). Oleh karena itu   metode yang mungkin diterapkan dalam dalam menghadapi naskah tunggal  ini adalah melakukan edisi diplomatis dengan ”menjiplak” teks apa adanya dan dengan tanpa melakukan perubahan sedikit pun. Bentuk terbaik dari edisi diplomatis adalah  reproduksi fotografis dari sebuah naskah, tetapi edisi ini tidak banyak membantu pembaca untuk memahami naskah.
Cara lain adalah melakukan edisi  standar yang disebut pula dengan edisi kritis yang menyunting teks dengan melakukan perubahan terhadap teks aslinya. Penyuntingan  dengan edisi kritis ini juga terbagi dua. Pertama; edisi kritis  yang melakukan rekonstrusi  terhadap teks asli, memilih bacaan yang  terbaik, memperbaiki kesalahan, membakuakan ejaan  yang didasarkan pada sumber-sumber yang ada. Kedua; Edisi dari satu sumber  yaitu membuat sumber yang ada menjadi bentuk yang semurni mungkin yang didasarkan pada satu naskah. Beberapa bagian yang dipandang salah akan dikoreksi, tetapi terbatas pada kesalahan-kesalahan dalam penulisan  [4]
            Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan  penyuntingan  edisi kritis dari satu naskah dengan melakukan perubahan  baik penambahan ataupun pengurangan terhadap teks yang ada sesuai dengan kaidah bahasa Arab yang benar dan diikuti dengan pemberian catatan  kaki supaya keaslian teks bisa terjaga dengan baik.   Langkah ini ditempuh  didasarkan pada kondisi teks yang tidak memungkinkan dilakukannya edisi diplomatik yaitu banyaknya  bagian teks yang tertutup tisu Jepang setelah dilakukan konservasi. Begitu pula penyuntingan akan dilakukan pada  beberapa pasal saja disesuaikan dengan sempitnya waktu yang tersedia.  
            Adapun langkah kerja yang akan dilakukan adalah :
1.      Inventarisasi Naskah yaitu mengidentifikasi  keberadaan naskah yang mempunyai teks sekorpus[5].  Langkah ini dilakukan karena ada  naskah berjudul al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah   yang dimungkinkan dari judul yang dipakai mempunyai kesamaan dengan teks yang akan diteliti. Penulis sengaja mencuplik  beberapa kalimat dari kedua teks ini untuk menunjukan perbedaannya.
2.      Deskripsi naskah yaitu menyajikan informasi tentang fisik naskah yang menjadi objek penelitian[6].
3.      Suntingan teks  yaitu upaya untuk membebaskan teks dari segala kesalahan yang diperkirakan  agar teks dapat dipahami secara jelas dengan mempertimbangkan kaidah bahasa Arab [7].
4.      Terjemahan yaitu upaya menyajikan teks terjemahan dalam bahasa Indonesia  dengan terjemahan  yang tidak terikat dengan susunan kata per kata tetapi lebih pada upaya penerjemahan makna dan dengan terikat pada kaidah-kaidah penerjemahan secara umum
Deskripsi isi yaitu upaya meletakkan  wacana yang ada dalam teks.  Tujuan  dari langkah ini adalah untuk  mengemukakan  pesan  teks al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah   untuk membantu para peminat memahami kandungan teks walaupun hanya kandungan dari sebagian teks saja.
            Selain menggunakan pendekatan filologi untuk menganalisa teks ini, penulis juga akan menggunakan sebuah pendekatan tasawuf dengan menggunakan metode deskriptif korelatif. Metode deskriptif korelatif yaitu dengan cara mendeskripsikan terlebih dahulu mengenai ritualritual wudhu sesuai yang terdapat dalam teks kemudian menelusuri seperti apa model ritual wudlu yang ada pada teks al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah dan model wudlu menurut imam ghazali dalam kitab bidayatul hidayah. Kemudian penulis akan mengkorelasikan antara konsep wudlu yang terdapat dalam teks fiqih islam al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah fasal wudhu dengan kitab fiqih tasawuf imam ghazali yang berjudul bidayah al hidayah pada bab wudhu,  serta memaparkan bagaimana  hubungan spiritualnya sesuai paradigma tasawuf imam ghazali..
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian ini terdiri dari :
Bab pertama  adalah pendahuluan yang  meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode dan langkah  penelitian serta sistematika penulisan atau penyajian.
Bab  kedua adalah  inventarisasi naskah, deskripsi naskah dan ringkasan ini. Bab ini akan  menguraikan  keberadaan naskah di penyimpanan-penyimpanan naskah  kemudia menguraikan kodikologi naskah serta memberikan isi ringkas naskah bagi para pembaca yang dimungkinkan untuk bisa membaca teks secara keseluruhan.
Bab ketiga adalah suntingan teks yang meliputi  pertanggungjawaban penulis atas usaha perubahan yang dilakukan dalam suntingan, mencantumkan kaidah trasliterasi yang digunakan  yang disusul dengan  menerjemahkan  teks ke dalam bahasa Indonesia dan menganalisis isi teks.
Bab keempat adalah analisis isi teks, dengan mengkorelasikan terhadab kitab bidayah al-hidayah. Dengan menggunakan pendekatan tasawuf
Bab kelima adalah penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi buat para peneliti berikutnya. 

BAB II
 INVENTARISASI  DAN DESKRIPSI NASKAH
A. Inventarisasi  Naskah
Naskah  al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah   adalah  salah satu    naskah koleksi Perpustakaan pribadi rumah Bapak Habib Syakur, Ponpes Al-Imdad Bantul Yogyakarta, yang dikelompokkan dalam  naskah-naskah Arab. Naskah ini merupakan naskah tunggal, karena dalam katalog naskah-naskah Arab tidak ditemukan naskah yang judunya secara bahasa mendekati naskah yang akan diteliti.
B. Deskripsi Naskah
Naskah ini  penulis temukan dalam koleksi Perpustakaan pribadi rumah Bapak Habib Syakur, Ponpes Al-Imdad Bantul Yogyakarta yang termasuk pada koleksi naskah-naskah yang berbahasa Arab. Naskah ini  berjilidkan  karton tebal bersampul yang bisa dikatakan sudah tidak dalam keadaan yang baik, Keadaan sampul telah termakan rayap. Sedangkan warna sampul sendiri berwarna biru kecoklatan dan cenderung sudah lusuh. Naskah ini memakai alas naskah kertas Eropa berwarna putih kecoklat-coklatan  dengan watermark W..P..Koek. Bila diterawang, kertas ini mempunyai chain lines (Garis tebal) sejumlah 7 baris. Sedangkan untuk Laid-Lines ada dan terlalu banyak untuk dihitung.  Ukuran naskah  sekitar 32X19.5 cm  dengan   vias atas  8 cm,  vias bawah 8 cm, vias kanan 7 cm dan vias kiri 7 cm. Mengenai jumlah halaman naskah tidak diketahui, karena tidak terdapat penomoran halaman. Kondisi fisik naskah masih cukup baik, sedikit berlobang-lobang tetapi masih bisa dibaca.
Teks berukuran 1 cm,  dengan jumlah baris dalam satu halaman terdapat 13 Baris, namun untuk akhir halaman hanya terdapat 8 baris.   Teks dituliskan dengan tinta cina yang berwarna hitam  dan ada rubrikasi dengan tinta merah  hampir di setiap halaman  ketika menulis   isi matan[8] pada naskah tersebut.  Teks  dibagi penulis  ke dalam beberapa pasal  dengan  judul  setiap pasal didapatkan. Teks dengan menggunakan bahasa Arab fusha> [9]   yang kebanyakan ditulis  tanpa harakat dan tanpa ada tanda baca apapun. Kemudian dibawahnya diberi makna dengan menggunakan tulisan arab pegon dan berbahasa jawa. Pada kutipan awal teks terdapat tulisan بسم الله الرحمن الرَحيم Lafadz tersebut ditemukan pada lembar kosong setelah sampul. Tulisan ini terkesan ditulis oleh anak-anak yang sedang belajar menulis lafadz al-Qur’an. Kemudian pada Kutipan Akhir Teks terdapat tulisan :
كع كاكوعان كتاب فونيكا كور جاج عبد المنان كياهي من عيو كياكرتا
نليكا دامل ايكى كتاب فونيكا 2-10-1928
Kolofon dari naskah ini mengatakan bahwa penyalinan naskah ini berakhir pada  tanggal 2 bulan 10 pada tahun 1998,  dengan penulis Abdul Malik ibnu Abdurrahman yang berasal dari hadramaut, dan disalin oleh Haji Abdul Manan yang berasal dari kota Yogyakarta. Naskah ini didapat bapak Habib Syakur dari seorang teman beliau yang berasal dari Magelang.
C. Deskripsi Isi
            Teks secara keseluruhan  mengandung ajaran syari’at atau berisi tentang ilmu fiqih yang mengajarkan kepada pembaca tentang tata cara beribadah, mulai dari bersuci, shalat dan lain-lain. Juga mengenai hal-hal yang wajib, sunnah, dan haram dilakukan dalam hal ubudiyyah.
            Dari teks yang penulis sunting, penulis dapat memetik pelajaran mengenai fardlunya wudlu, serta bagaimana batasan-batasan yang harus dibasuh atau diusap ketika wudlu. Secara umum isi dari teks tersebut merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan ibadah secara dhahir, dan teks yang dibahas oleh penulis merupakan fasal tentang fardlunya wudlu serta bagaimana cara wudlu yang benar. Sehingga wudlu bisa dianggap sah dan dianggap tidak sah. Teks ini hanya menjelaskan mengenai model wudlu yang dilakukan secara dhahir saja, sehingga penulis melakukan pengkajian secara tasawuf dengan melihat model wudlu menurut imam ghazali, imam ghazali yang merupakan seorang sufi, mendeskripsikan wudlu bukan hanya sekedar membasuh anggota-anggota yang dapat dilihat oleh mata. Adapun pendeskripsiannya nanti akan penulis jelaskan pada bab analisis teks.
            Secara umum memang fardlunya wudlu itu sama antara madzhab satu dengan madzhab yang lainnya, olehkarena itu penulis mencoba menganalisa bagaimana hubungan spiritual yang terkandung dalam setiap basuhan-basuhan yang dilakukan pada setiap anggota wudlu.
           

BAB  III
 SUNTINGAN TEKS


A.  Pertanggungjawaban  dan Pedoman Transliterasi
Sebelum menyuguhkan  suntingan teks, maka terlebih dahulu akan dijelaskan  beberapa tehnik suntingan dan tanda-tanda yang digunakan  dalam perbaikan kesalahan-kesalahan yang ada dalam teks. Perbaikan  kesalahan yang dilakukan dalam penyuntingan dilakukan dengan cara mengganti, menambah atau mengurangi huruf atau kata  sesuai dengan tuntutan penulisan bahasa Arab.
Sedangkan tanda-tanda yang digunakan dalam perbaikan tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Penambahan tanda baca baik titik maupun koma sekaligus menandai satu kalimat dengan kalimat lain dan satu paragraf dengan paragraf lain.
  2. Nomor yang ada dalam (....) (dua tanda kurung)  menunjukan  angka halaman di dalam teks aslinya. Tetapi berhubung teks yang dianalisis oleh penulis tidak terdapat angka halaman, maka penulis menggunakan angka halaman pada foto teks asli. Hal ini dilakukan karena teks cukup panjang dan penulis hanya mengambil teks bagian tertentu untuk mengetahui apa  pesan yang dikandung dalam teks.
  3. Tanda / menunjukan awal sebuah pasal, tanda // adalah tanda berakhirnya sebuah pasal,  sedangkan tanda ... (titik tiga) berarti ada  kata  sebelumnya yang tidak ditulis atau  menunjukan adanya kata-kata yang tidak bisa terbaca di dalam tekas aslinya.
  4. Kalimat atau kata yang ada  pada tanda “....” (dua tanda petik), maka kalimat atau kata itu mempunyai penekanan atau makna khusus.
  5. Tanda : (titik dua)  yang digunakan untuk memisahkan antara syarah [10]dengan matan [11] dari isi kitab tersebut.   
Sedangkan pedoman trasliterasi dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia menggunakan Pedoman Transliterasi Arab-Latin hasil  keputusan bersama Mentri Agama dan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan  yang diterbitkan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama Republik Indonesia pada tahu 2003. Pedoman transliterasi tersebut adalah :
  1. Konsonan
Fonem konsonan Bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, sedangkan dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan tanda dan sebagian lagi dilambangkan dengan huruf serta  tanda sekaligus. Daftar huruf Arab dan transliterasinya dengan huruf Latin adalah sebagai berikut : 

Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Nama
ا
alif
Tidak dilambangkan
Tidak dilambangkan
ب
ba
b
Be
ت
ta
t
Te
ث
s\a
s\
Es (dengan titik di atas)
ج
jim
j
Je
ح
H}a
h}
Ha (dengan titik di bawah)
خ
kha
kh
Ka dan ha
د
dal
d
De
ذ
zal
z\
Zet (dengan titik di atas)
ر
ra
r
Er
ز
zai
z
Zet
س
sin
s
Es
ش
syin
sy
Es dan ye
ص
s}ad
s}
Es (dengan titik di bawah)
ض
d}ad
d}
De (dengan titik di bawah)
ط
t}a
t}
Te (dengan titik di bawah)
ظ
z}a
z}
Zet (dengan titik di bawah)
ع
ain
........
Koma terbalik di atas
غ
gain
g
Ge
ف
fa
f
Ef
ق
qaf
q
Ki
ك
kaf
k
Ka
ل
lam
l
El
م
mim
m
Em
ن
nun
n
En
و
wau
w
We
ه
ha
h
Ha
ء
hamzah
...' ...
Apostrop
ى
ya
y
Ye

  1. Vokal
Vokal  bahasa Arab seperti vokal bahasa Indonesia terdiri dari vokal tunggal atau monoftong atau vokal rangkap atau diftong.
    1. Vokal Tunggal
Vokal Tunggal bahasa Arab  yang lambangnya berupa tanda  atau harakat, transliterasinya sebagai berikut :
Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
ََ.......   
Fath}ah
a
A
ِ.......    ِ
Kasrah
i
I
........ُ   
Dammah
u
U

Contoh :
No
Kata Bahasa Arab
Transiterasi
1.
كَتَبَ
Kataba
2.
ذكر
Z|ukira
3.
يذهب
Yaz\habu

    1. Vokal Rangkap
Vokal  rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf maka trasliterasinya gabungan huruf, yaitu :
Tanda dan Huruf
Nama
Gabungan Huruf
Nama
ى  ……
Fathah dan ya
Ai
a dan i
  و  ......
Fathah dan wau
Au
a dan u
                                   
                                    Contoh :
No
Kata Bahasa Arab
Transliterasi
1.
كيف
Kaifa
2.
حول
H{aula

  1. Maddah
Maddah atau vokal panjang  yang lambangya berupa harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda sebagai berikut :
Harakat dan Huruf
Nama
Huruf dan Tanda
Nama
يَ….اَ…..
Fath}ah da alif atau ya
a>
a dan garis di atas
يِ…..
Kasrah dan ya
i>
i  dan garis di atas
و  …ُ….
Dammah dan wau
u>
u dan garis di atas

Contoh :
No
Kata Bahasa Arab
Transliterasi
1.
قََالَ
Qa>la
2.
قٍيلَ
Qi>la
3.
َيقُولُ
Yaqu>lu
4.
َرمَي
Rama>

  1. Ta Marbutah
Trasliterasi untuk Ta Marbutah ada dua :
a.Ta Marbutah hidup atau yang mendapatkan harakat fathah, kasrah atau dammah trasliterasinya adalah /t/.
b. Ta Marbutah mati atau mendapat harakat sukun transliterasinya adalah /h/.
c. Kalau pada suatu kata yang akhir katanya Ta Marbutah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang /al/  serta bacaan kedua kata itu terpisah  maka Ta Marbutah itu ditrasliterasikan  dengan /h/.
Contoh :
No
Kata Bahasa Arab
Transliterasi
1.
رَوْضَةُ الأطفَال
Raud}ah al-at}fa>l/ raud}atul atfa>l
2.
طَلْحَةُ
T{alhah
           
  1. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau Tasydid  yang dalam sistem tulisan Arab  dilambangkan dengan sebuah tanda yaitu  tanda Syaddah atau Tasydid. Dalam transliterasi ini tanda Ssyaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda Syaddah itu.
Contoh :
No
Kata Bahasa Arab
Trasliterasi
1.
رَبَّنَا
Rabbana
2,
نَزَّلَ
Najjala

  1. Kata Sandang
Kata sandang dalam bahasa Arab dilambankan dengan huruf yaitu ال  . Namun dalam transliterasinya kata sandang itu dibedakan antara kata sandang yang diikuti oleh huruf Syamsiyyah dengan kata sandang yang diikuti oleh huruf Qamariyyah.
Kata sandang yang diikuti oleh huruf  Syamsiyyah  ditrasliterasikan  sesuai dengan bunyinya yaitu huruf /l/  diganti dengan huruf yang sama   dengan huruf yang langsung mengikuti  kata sandang itu.  Sedangkan kata sandang yang diikuti oleh huruf Qamariyyah  ditrasliterasikan sesuai dengan aturan  yang digariskan di depan  dan sesuai dengan bunyinya. Baik didikuti dengan huruf Syamsiyyah atau Qomariyah,  kata sandang ditulis  dari kata yang mengikuti  dan dihubungkan dengan kata sambung.
Contoh :
No
Kata Bahasa Arab
Transliterasi
1.
الّرَجُلُ
Ar-rajulu
2.
الجَلاَلُ
Al-Jala>lu

  1. Hamzah
Sebagaimana telah di sebutkan di depan bahwa Hamzah ditranslitesaikan denga apostrof, namun itu hanya terletak di tengah dan di akhir  kata. Apabila terltak di awal kata maka tidak dilambangkan karena  dalam tulisan Arab berupa huruf alif.  Perhatikan contoh-contoh berikut ini:
No
Kata Bahasa Arab
Trasliterasi
1.
أَكَلَ
Akala
2.
تَأْخُذُوْنَ
ta'khuduna
3.
النَّْؤُ
An-Nau'u


  1. Huruf Kapital
Walaupun dalam sistem bahasa Arab  tidak mengenal huruf kapital, tetapi dalam trasliterinya huruf kapital itu digunakan seperti yang berlaku dalam EYD yaitu  digunakan untuk menuliskan huruf awal, nama diri dan permulaan kalimat.  Bila nama diri itu didahului oleh kata sandangan maka  yang ditulis dengan huruf kapital adalah  nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.
Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan Arabnya  memang lengkap demikian  dan kalau penulisan tersebut  disatukan dengan kata lain sehingga ada huruf  atau harakat yang dihilangkan, maka huruf kapital tidak digunakan.
Contoh :
No.
Kalimat Arab
Transliterasi

وَمَا مُحَمَدٌ إِلاَّ رسُوْلٌ
Wa ma> Muhaamdun illa> rasu>l

الحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Al-hamdu lillhi rabbil 'a>lami>na

  1. Penulisan Kata
Pada dasarnya setiap kata  baik fi’il, isim  maupun huruf  ditulis terpisah. Bagi kata-kata tetentu  yang penulisannya dengan huruf Arab  yang sudah lazim dirangkaikan  dengan kata lain karena ada huruf atau harakat  yang dihilangkan  maka penulisan kata tersebut dalam transliterasinya  bisa dilakukan dengan dua cara yaitu bisa dipisahkan pada setiap kata atau bisa dirangkaikan.
Contoh:
No
Kalimat Bahasa Arab
Transliterasi

وَإِنَّ اللهَ لَهُوَ خَيْرُالَّرازِقِيْنَ
Wa inna>llaha lahuwa khair ar-ra>ziqi>n/ Wa innalla>ha lahuwa khairur-ra>ziqi>n


فَأَوْفُوْا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ
Fa aufu> al-Kaila wa al-mi>za>na/ Fa auful-kaila wal mi>za>na


B.   Suntingan Teks, Transliterasi   dan Terjemahan

(101_2967) / فصل في الوضوء:
وهو معقول المعنى وفرض مع الصلاة على الأوجه قبل الهجرة بسنة وهو من خصائص هذه الأمة بالنسبة لبقية الأمم لا لأنبيائهم، وموجبه الحدث وإرادة فعل ما يتوقف عليه، وكذا يقال في الغسل :وفروض الوضوء ستة الأول: النية لما صح من قوله صلى الله عليه وسلم: "إنما الأعمال بالنيات" 3 أي إنما صحتها بالنية فتجب إما :نية رفع حدث: أي رفع حكمه وإن نوى بعض أحداثه كأن نام وبال فنوى رفع حدث النوم لا البول لأن الحدث لا يتجزأ فإذا ارتفع بعضه ارتفع كله، وكذا لو نوى غير رفع حدثه كأن نام فنوى رفع حدث البول لكن بشرط أن يكون غالطًا وإلا كان متلاعبًا "أو:نية :الطهارة للصلاة: أو نحوهما أو الطهارة عن الحدث، ولا يكفي فيه نية الطهارة فقط ولا الطهارة الواجبة على الأوجه :أو: نية :نحو ذلك:كنية أداء الوضوء أو فرضه أو الوضوء وإنما لم تصح نية الغسل؛ لأنه قد يكون عادة بخلاف الوضوء، وكنية استباحة مفتقر إلى الوضوء كالصلاة وإن لم يدخل وقتها كالعيد في رجب وطواف وإن كان في الهند مثلا ولا يعتد بالنية إلا إن كانت "عند غسل الوجه" فإن غسل جزأ منه قبلها لغا فإذا قرنها بجزء بعده كان الذي قارنها وهو أوله ووجب إعادة غسل ما تقدم عليها ثم المتوضئ إما سليم وإما سلس فالسليم يصح وضوؤه بجميع النيات السابقة بخلاف السلس. :و:من ثم :ينوي سلس البول ونحوه:كالمذي1 والودي2 :استباحة فرض الصلاة: أو غيرها من النيات السابقة لا رفع الحديث والطهخارة عنه لأن حدثه لا يرتفع ويستبيح السلس بذلك ما يستبيحه المتيمم مما يأتي وإنما تلزمه نية استباحة الفرض إن توضأ لفرض. :وإن توضأ لسنة نوى استباحة الصلاة: ولو نوى المتوضئ مع نية الوضوء تبردًا أو تنظفًا كفى، لكن إن نوى ذلك في الأثناء اشترط أن يكون ذاكرًا لنية الوضوء وإلا لم يصح ما بعدها لوجود الصارف، وكذا لو بقي رجلاه مثلا فسقط في نهر لم يرتفع حدثهما إلا إن كان ذاكرًا لها، بخلاف ما لو غسلهما فإنه يرتفع مطلقًا ولا يقطع نية الاغتراف حكم النية السابقة وإن عزبت3 لأنها لمصلحة الطهارة لصونها ماؤها عن الاستعمال، ومتى شرك بين عبادة وغيرها لم يثب مطلقًا عن ابن عبد السلام4، وعند الغزالي5 إن غلب باعث الآخرة أثيب وإلا فلا، وكلام المجموع وغيره في الحج يؤيده.

(1) Fas}lun fi> al-wud}u>i. Wa huwa ma’qu>lu al-ma’na> wa furid}o ma’a as-s}la>ti ’ala al-aujahi qabla al-hijrati bisanatin wa huwa min khas}ais}i ha>z||||\ihial-ummati bi an-nisbati libaqiyyati al-umami la> liambiya>ihim, wa mu>jibuhu> al-h}adats\\u wa ira>datu fa’li ma> yutawaqqafu ’alaihi, wa kaz\a yu qa>lu fi al-gusli.
:wa furud}ul wud}u>i sittatun: al-awwalu anniyatu lima> s}ah}h}a min qaulihi s}allallahu ’alaihi wasallama, innama> al a’ma>lu binniyati. Ay innama> s}ih}h}atuha> binniyati fatajibu imma> :niyatu raf’i h}adas\in: ay raf’i h}ukmihi> wa in nawa> ba’d}a ah}da>s\ihi> ka an na>ma wa ba>la fa nawa> raf’i h}adas\i al-naumi la> al-bauli lianna al-h}adas\a la> yatajazaa faiz\a irtafa’a kulluhu>, wa kaz\a lau nawa> goira raf’i h}adas\ihi> ka an na>ma fa nawa> raf’i h}adas\i al-bauli la>kin bi syart}i an yaku>na go>lit}an wa illa> ka>na mu tala>’iban :au: niyata :al-t}aha>ratu li al-s}ala>ti: au nah”wiha> au al-t}aha>rati ’an al-h}adas}i, wa la> yakfi> fi>hi niyatu al-t}aha>rati  faqat} wa la> al-t}ha>rati al-wa>jibati ’ala al-aujahi :au: niyatu :nah}wi z\a>lika: kaniyati ada>i al-wud}u>i au fard}ihi> au al-wud}u>i wa innama> lam tas}ih}h}a niyatul gusli, liannahu> qad yaku>nu ’a>datan bi khila>fi al-wud}u>i, wa kaniyati istiba>h}ati muftaqirin ila al-wud}u>i ka as\-s\ala>ti wa in lam yadkhul waqtuha> ka al-’i>di fi> rajaba wa t}awa>fin wa in ka>na fi al-hindi mas\alan wa la>yu’taddu bi al-niyyati illa> in ka>nat :’inda gusli al-wajhi: fa in gasala juzan minhu qablaha> laga> faiz\a qaranaha> bijuzin ba’dahu> ka>na al-laz\i> qa>ranaha> wa huwa awwaluhu> wawajaba i’a>datu gasli ma>taqaddama ’alaiha> s\umma al-mutawad}d}i||u imma> Sali>mun wa imma> salisun fassali>mu yas}ih}h}u wu d}u>uhu> bi jami>’i an-niya>ti as-sa>biqati bi khila>fi as-salisi. :wa: min s\amma :yanwi> salisul bauli wa nah}wihi>: ka al-maz\i> wa al-wadi> :istiba>h}atu fard}i as-s}ala>ti: au gairiha> min an-niya>ti as-sa>biqati la> raf’a al-h}adas\i wa al-t}aha>rati ’anhu lianna h}adas\ahu> la> yartafi’u wa yastabi>h}u as-salisu biz\a>lika ma> yastabi>h}uhu al-mutayammimu mimma> ya’ti> wa innama> talzamuhu> niyatu istiba>h}ati al-fard}i in tawad}d}aa lifard}in. :wa in tawad}d}aa lisunnatin nawa> li istiba>h}ata as}-s}ala>ta: walau nawa> al-mutawad}d}iu ma’a niyati al-wud}u>i tabarrudan au tanaz}z}ufan kafa>, la>kin in nawa> z\a>lika fi al-is\na>i isytarat}a an-yaku>na z\a>kiran liniyati al-wud}u>i wa illa> lam yas}h}h}a ma> ba’daha> li wuju>di as}-s}a>rifai, wa kaz\a> lau baqa> rijla>hu mas\alan fasaqat}a fi> nahrin lam yartafi’ h}adas\uhuma> illa> in ka>na z\a>kiran laha>, bikhila>fi ma> lau gasalahuma> fainnahu> yartafi’u mut}laqan wa la> yaqt}a’u nayatu al-igtira>fi hukma an-niyyati as-sa>biqati wa in ’azabat liannaha> limas}lah}ati at}-t}aha>rati li s}auniha> ma>aha> ’an al-isti’ma>li, wa mata> syaraka baina ’iba>datin wa gairiha> lam yus\ab mut}laqan ’an ibn ’abdi as-sala>m, wa ’inda gaza>li> in ga>laba ba<’is\u al-a>khirati us\i>ba wa illa> fala, wa kala>mu al-majmu>’i wa gairihi> fi al-h}ajji yuayyiduhu>.
  
Wudlu merupakan suatu hal yang sudah diketahui maknanya, wudlu diwajibkan bersamaan dengan shalat atas beberapa hal, wudlu juga merupakan kekhususan yang diberikan kepada umat nabi Muhammad SAW tidak pada umat nabi-nabi sebelumnya, wajibnya wudlu itu dikarenakan hadas\ dan menginginkan untuk melakukan ibadah yang harus dilakukan dengan wudlu terlebih dahulu, hal itu dikatakan dalam bab mandi.
Fardlunya wudlu itu ada enam, pertama: niat sebagaimana yang terdapat pada hadis\ nabi muhammad SAW : ”bahwasanya setiap perbuatan itu harus diawali dengan niat” bahwa sahnya segala sesuatu itu bila diawali dengan niat terlebih dahulu maka wajib ”niat menghilangkan hadas\” jika seseorang niat menghilangkan beberapa hadas\ seperti hadas\ karena tidur dan karena buang air kecil maka dia cukup niat satu saja, menghilangkan hadas\ karena tidur, tidak karena dia habis buang air kecil. Karena hadas\ itu tidak terbagi-bagi maka jika jika seseorang yang menghilangkan satu hadas\nya maka hilanglah hadas\ yang lain, dan walaupun seseorang niat tidak menghilangkan hadas\nya seperti misalnya dia hadas\ karena tidur kemudian dia berniat menghilangkan hadas\ karena buang air kecil, atau niat bersuci untuk shalat, bersuci karena hadas atau yang lainnya. Dalam niat berwudlu tidaklah cukup niat bersuci saja dan tidak niat bersuci yang diwajibkan atas beberapa hal, seperti niat melakukan wudlu atau fardlunya wudlu. Dan titidak sah wudlu dengan niat mandi, karena kebiasaan-kebiasaan dalam mandi itu berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan dalam wudlu. Seperti juga niat agar dengan wudlu seseorang bisa melaksanakan suatu ibadah seperti shalat, dan jika belum masuk waktunya seperti shalat id dibulan rajab maka hal itu tidak dihitung niat, kecuali jika membasuh wajah maka jika dia membasuh sebagian wajahnya sebelum niat, maka basuhan tersebut sia-sia. Jika seseorang wudhu karena sunnah maka dia niat niat diperbolehkannya shalat walaupun cukup niat karena membersihkan atau agar segar.

الفرض "الثاني: غسل" ظاهر "الوجه" أي انغساله وكذا يقال في سائر الأعضاء للآية6 "وحده" طولا "ما بين منابت شعر رأسه" أي ما من شأنه ذلك "و" "مقبل ذقنه و" عرضًا "ما بين أذنيه فمنه الغمم" وهو ما ينبت عليه الشعر من جبهة الأغم إذ لا عبرة بنباته في غيرمحله كما لا عبرة بانحسار شعر الناصية. "و" منه "الهدب والحاجب والعذار" وهو الشعر النابت على العظم الناتئ بقرب الأذن ومنه البياض الذي بينه وبين الأذن "والعنفقة" فيجب غسل جميع الوجه الشامل لما ذكره وغيره "بشرًا" حتى ما يظهر من حمرة الشفتين مع إطباق الفم وما يظهر من أنف المجدوع لا غير "وشعرًا" ظاهرًا وباطنًا "وإن كثف" لأن كثافته نادرة، نعم ما خرج عن حد الوجه لا يجب غسل باطنه إن كثف، ويجب غسل جزء من ملاقي الوجه من سائر الجوانب إذ ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب، وكذا يزيد أدنى زيادة في اليدين والرجلين، وأفاد كلامه أن ما أقبل من اللحيين من الوجه دون النزعتين وهما بياضان يكتنفان الناصية ودون موضع الصلع وهو ما بينهما إذا انحسر عنه الشعر ودون موضع التحذيف وهو ما ينبت عليه الشعر من ابتداء العذار والنزعة ودون وتد الأذن لكن يسن غسل جميع ذلك وأن يأخذ الماء بيديه جميعًا للاتباع وما مر في الشعر محله في غير اللحية والعارض. "وشعر اللحية" الإضافة فيه بيانية إذ اللحية الشعر النابت بمجتمع اللحيين. "وشعر العارض" الإفاضة فيه كذلك إذ هو الشعر الذي بين اللحية والعذار "إن خف" بأن كانت البشرة ترى من خلاله في مجلس التخاطب "غسل ظاهره وباطنه" سواء أخرج عن حد الوجه أم لا، "وإن كثف" بأن لم تر منه البشرة كذلك "غسل ظاهره" ولا يجب غسل باطنه للمشقة إن كان من رجل، فإن كان من امرأة أو خنثى غسل باطنه مطلقًا، ولو خف البعض وكثف البعض فلكل حكمه إن تميز وإلا وجب غسل الكل، ولو خلق له وجهان غسلهما أو رأسان مسح بعض أحدهما؛ لأن كلا منهما يسمى وجهًا ورأسًا. "ويستحب تخليل اللحية الكثة" وغيرها مما لايجب غسل باطنه "بأصابعه" اليمنى "من أسفل" للاتباع.


:As\-s\a>ni>, gaslu: z}a>hiri :al-wajhi: ai ingisa>luhu> wa kaz\a> yuqa>lu fi> sa>iri al-a’d}a>u lil a>yati :wa h}adduhu>: t}aulan :ma> baina mana>biti sya’ri ra’sihi>: ai ma> min sya’nihi> z\a>lika :wa: maqbala z\aqnihi> wa ’ard}an :ma> baina uz\unaihi faminhu al-gamamu: wa huwa ma> yanbutu ‘alaihi asy-sya’ru min jabhati al-agammi iz\ la> ‘ibrata binaba>tihi> fi> gairi mah}alihi> kama> la> ‘ibrata biinh}isa>ri sya’ri an-na>s}iyati. :wa: minhu :al-hadabu wa al-h}a>jibu wa al-‘iz\a>ru: wa huwa asy-sya’ru an-na>bitu ‘ala> al-‘az}mi an-na>tii biqurbi al-uz\uni wa minhu al-baya>d}u al-lazz\i> bainahu> wa baina al-uz\uni :wa al-‘anfaqatu: fayajibu gaslu jami>’I al-wajhi asysya>mili lama> z\ukirahu> wa gairihi> :basyaran: h}atta> ma> yaz}haru min h}amrati asy-syafataini ma’a it}ba>qi al-fami wa ma> yaz}haru min h}amrati asy-syafataini ma’a it}ba>qi al-fami wa ma> yaz}haru min anfi al-majdu>’I la> gaira :wa sya’ran” z}a>hiran waba>t}inan :wa in kas\afa: liana kas\a>fatahu> na>diratun, na’am ma> kharaja ‘an h}addi al-wajhi la> yajibu gaslu ba>t}inihi> in kas\ufa, wayajibu gaslu juz-in min mula>qi> al-wajhi du>na an-naz’ataini wa huma> biya>d}a>ni yaktafa>ni an-na>s}iyata wa du>na maud}I’I as}-s}al’I ahuwa ma> bainahuma> iz\a> inh}asara ‘anhu asy-sya’ru wa du>na maud}I’I at-tah}d}i>fi wa huwa ma> yanbutu ‘alaihi asy-sya’ru min ibtida>I al-‘iz\a>ri wa an-naz’ati wa du>na watadi al-uz\uni la>kin yusannu gaslu jami>’I z\a>lika wa an ya’khuz\a al-ma>a biyadaihi jami>’an lil itba>’I wa ma> marra fi> asy0sya’ri mah}aluhu fi> gairi al-lih}yati wa al-‘iz\a>ri :in khaffa: bi anka>nat al-bisyratu tara> min khila>lihi> fi> majlisi at-takha>t}ubi :gusila z}a>hiruhu> w aba>t}inuhu>: sawa>un akhraja ‘an h}addi al-wajhi am la>, :wa in kas\ufa: bi an lam tara minhu al-bisyratu kaz\a>lika :gusila z}ahiruhu>: wala> yajibu gaslu ba>t}inihi> lil masyaqqati in ka>na min rajulin, fain ka>na min imraatin au khuns\a> gusila ba>t}inuhu> mut}laqan, walau khaffa al-ba’d}u wakas\ufa al-ba’d}u falikulli h}ukmuhu> in tamayyaza wa illa> wajaba gaslu al-kulli, walau khuliqa lahu> wajha>ni gaslahuma> au ra’sa>ni massah}}a ba’d}a ah}adihima> liana kullan minhuma> usama> wajhan wa ra’san> :wayustah}abbu takhli>lu al-lih}yati al-kas\s\ati: wa gairiha> mimma> la> yajibu gaslu ba>t}inihi> :bias}a>bi’ihi>: alyumna> :min asfala: lil itba>’i. 

Yang kedua, membasuh wajah, adapun batasan panjangnya wajah adalah pada bagian diantara tumbuhnya rambut kepala kemudian antara telinga kanan dan telinga kiri. Sesorang yang wudhu wajib membasuh semua anggota wajah sesuai batasan yang disebut tersebut, dan jika pada dagu seseorang terdapat rambut yang lebat, maka harus disela-sela hingga kedalam sehingga air wudhu mengenai kulit yang tertutupi oleh rambut pada dagu tersebut. dan jika seseorang mempunyai godek (rambut diwajah yang tumbuh didekat telinga dan terkadang bersambung dengan rambut yang tumbuh pada dagu) maka seseorang yang wudhu juga harus membasuh kulit yang ada dibalik rambut dan juga membasuh rambutnya juga. Tetapi jika rambut-rambut yang tumbuh pada wajah tersebut sangat lebat maka seseorang yang wudhu tidak perlu membasuh hingga dalam-dalam nya karena adanya keadaan yang sulit, cukup membasuh luarnya tetapi juga harus menyela-nyela bagian dalamnya. Tetapi jika rambut yang lebat tersebut tumbuh pada wajah seorang perempuan atau seorang waria maka dia wajib membasuh hingga kedalamnya, dan jika seseorang mempunyai dua wajah maka dia hanya wajib membasuh satu wajahnya, demikian pula jika seseorang mempunyai dua kepala maka dia hanya diwajibkan mengusap sebagian kepla yang satu saja. Dan disunnahkan menyela-nyela jenggot yang tebal, sesuai yang tersebut tadi.

الثالث: غسل اليدين مع المرفقين" للآية والمرفق مجتمع عظم الساعد والعضد فإن أبين الساعد وجب غسل رأس عظم العضد. "و" يجب غسلهما مع غسل "ما عليهما" من شعر وإن كثف وأظفار وإن طالت كيد نبتت بمحل الفرض وسلعة1 وباطن ثقب أو شق فيه، نعم إن كان لهما غور في اللحم لم يجب إلا غسل ما ظهر منهما، وكذا يقال في سائر الأعضاء، ولو خلق له يدان واشتبهت الزائدة بالأصلية وجب غسلهما
:As\\-s\a>lis\u, gaslu al-yadaini ma’a al-mirfaqaini: lil a>yati wa al-mirfaqu mujtami’u ‘az}mi as-sa>’idi wa al-‘ad}di fa in ubi>na as-sa>’idu wajaba gaslu ra’si ‘az}mi al-‘ad}di. :wa: yajibu gasalahuma> ma’a gasli :ma> ‘alaihima>: min sya’rin wa in kas\afa wa az}fa>rin wa in t}a>lat kaidin nabitat bimah}li al-fard}I wasal’atin w aba>t}inin s\aqibin au syaqqin fi>hi, na’am in ka>na lahuma> gaurun fi> allah}mi lam yajib illa> gasala ma> z}ahara minhuma>, wa kaz\a> yuqa>lu fi> sa>iri al-a’d}a>I, walau khuliqa lahu> yada>ni wa isytabahat az-za>idatu bi al-as}liyatti wajaba gasluhuma>.

Yang ketiga adalah membasuh kedua tangan beserta kedua siku-siku, sebagaimana ayat bahwa siku-siku merupakan tulang tempat berkumpulnya atau sambunya tangan dan lengan. Jika tangan seseorang putu maka dia harus membasuh kepala tulang pada lengan. Jika pada tanagn terdapat rambut yang lebat maka seseorang yang wudhu tersebut juga harus membasuh hingga dalam. Jika pada tangan tersebut semacam daging yang tumbuh maka dia hanya wajib membasuh dhahirnya saja, dan jika seseorang mempunyai dua tangan yang serupa dengan yang asli, maka dia harus membasuh keduanya.

  
الرابع: مسح شيء" وإن قل "من بشرة الرأس" كالبياض الذي وراء الأذن. "أو" من"شعره" أو من شعرة منه للآية مع ما صح من مسحه صلى الله عليه وسلم بناصيته وعلى عمامته1, وإنما يجزئ مسح شعر الرأس إن كان داخلًا "في حده" بحيث لا يخرج الممسوح عن الرأس بالمد من جهة نزوله من أي جانب كان ويجزئ غسله وبله بلا كراهة وليس الأذنان منه وخبر: "الأذنان من الرأس"2 ضعيف.


:ar-ra>bi’u, mash}u syaiin: wa in qalla :min basyarati ar-ra’si: kalbiya>d}i al-laz\i> wa ra>a al-uz\uni> :au: min :sya’rihi>: au min sya’rati minhu lil a>yati ma’a ma> s}ah}h}a min mash}ihi> s}allalla>hu ’alaihi wa sallama bina>s}iyatihi> wa ’ala> ’ama>matihi>, wa innama> yajziu mash}u sya’ri ar-ra’si in ka>na da>khilan :fi> h}addihi>: bih}ais\u la> yakhruju al-mamsu>h}u ’an ar-ra’si bil maddi min jihati nuzu>lihi> min ayyi ja>nibin ka>na wa yajziu gasluhu> wa balluhu> bila> kara>hatin wa laisa al-uz\una>ni minhu wa khabaru :al-uz\una>ni min ar-ra’si:
Yang keempat, mengusap sebagian kulit kepala, walaupun sedikit, seperti kulit kepala dibelakang telinga. Atau mengusap dari bagian rambutnya kepala. Atau juga mengusap satu rambut dari bagian kepala sebagaimana ayat bahwasannya rasulullah SAW mengusap jambulnya pada sorbannya, bahwasannya mengusap rambut kepala hingga kedalam-dalam bagian kepala dalam batasan kepala tidak dimakruhkan, adapun telinga tidak termasuk anggota bagian kepala yang wajib diusap. Walaupun ada yang mengatakan bahwa “dua telinga merupakan bagian dari kepala”.
الخامس: غسل الرجلين مع الكعبين" للآية وهما العظمان الناتئان عند مفصل الساق والقدم "و" مع "شقوقهما" وغيرهما مما هو في اليدين ويجب إزالة ما يذاب في الشق من نحو شمع.

:al-kha>misu, gaslu ar-rijlaini ma’a al-ka’baini: lil a>yati wa huma> al-‘az}ma>ni an-na>ita>ni ‘inda mafs}ali as-sa>qi wa al-qadami :wa: ma’a :syuqu>qihima>: wa gairihima> mimma> huwa fi al-yadaini wa yajibu iza>lati ma> yuz\a>bu fi> asy-syaqqi min nah}wi syam’in.
Yang kelima, membasuh kedua kaki beserta mata kedua mata kaki. Karena sebuah ayat menyatakan bahwa dua mata kaki itu merupakan dua tulang yang letaknya berdekatan dengan telapak kaki, serta harus membersihkan kotoran-kotoran yang ada pada pecahan-pecahan pada kaki (kaki yang pecah-pecah).
السادس: الترتيب" كما ذكر لأنه صلى الله عليه وسلم لم يتوضأ إلا مرتبًا، فلو قدم عضوًا على محله لم يعتد به، ولو غسل أربعة أعضائه معًا ارتفع حدث وجهه فقط ويكفي وجود الترتيب تقديرًا "فلو غطس" ناويًا ولو في ماء قليل كما مر "صح وضوؤه وإن لم يمكث" زمنًا يمكن فيه الترتيب أو أغفل لمعة3 من غير أعضاء الوضوء لحصوله تقديرًا في أوقات لطيفة لا تظهر في الحس وخرج بغطس ما لو غسل أسافله قبل أعاليه فإنه لا يجزئ لعدم الترتيب حسًا حينئذ ويسقط وجوبه عن محدث أجنب، ومن ثم لو غسل جنب ما سوى أعضاء الوضوء ثم أحدث لم يجب ترتيبها، "وتجب الموالاة في وضوء دائم الحدث" فيجب عليه أن يوالي بين الاستنجاء والتحفظ وبينهما وبين الوضوء وبين أفعاله وبينه وبين الصلاة تخفيفًا للحدث ما أمكن، "و" يجب في كل وضوء "استصحاب النية حكمًا" ولا يتركها قبل تمام الوضوء بأن لا يأتي بما ينافيها كردة
:as-sa>disu, at-tarti>bu: kma> z\ukira liannahu> s}allallahu ‘alaihi wa sallama lam yatawad}d}a’ illa> murattiban, falau qaddama ‘ud}wan ‘ala> mah}allihi> lam yu’tadda bihi>, walau gasala arba’atun a’d}a>uhu> ma’an irtafa’a h}adas\u wajhihi> faqat} wa yakfi> wuju>du at-tarti>bi taqdi>ran :falau gat}asya: na>wiyan walau fi ma>in qali>lin kama> marra :s}ah}h}a wud}u>uhu> wa in lam yamkus\: zamanan yumkinu fi>hi at-tarti>bu au agfala lam’atan min gairi a’d}a>I al-wud}u>I lih}us}u>lihi> taqdi>ran fi> auqa>tin lat}i>fatin la> taz}haru fi> al-h}issi wa kharaja bi gat}asa ma> lau gasala asa>falahu> qabla a’a>li>hi fa innahu> la> yajziu li’adami at-tirti>bi h}issan h}i>naiz\in wa yasqut}u wuju>buhu> ‘an muh}dis\in ajnaba, wa min s\amma lau gasala janbun ma> siwa> a’d}a>I al-wud}u>I s\umma ah}das\a lam yajib tarti>buha>, :wa tajibu almuwa>la>tu fi> wud}u>I da>imi al-h}adas\i: fayajibu ‘alaihi an yuwa>liya baina al-istinja>I wa attah}affuz}I wa bainahuma> wa baina al-wud}u>I wa baina af’a>lihi> wa bainahu> wa baina as}-s}ala>ti takhfi>fan lil h}adas\i ma> amkana, :wa: yajibu fi> kulli wud}u>in :istis}h}a>bu an-niyati h}ukman: wa la> yatrakuha> qabla tama>mi al-wud}u>I bi an la> ya’ti> bima> yuna>fi>ha> kariddatin au qat}’in wa illa> ih}ta>jai la> isti’na>fiha>, wa iz\a> ah}das\a fi. As\na>I al-wud}u>I au qat}a’ahu> us\i>ba ‘ala al-ma>d}i> in ka>na li ‘uz\rin wa illa> fa la..
Yang keenam, berurutan, sebagaimana disebutkan bahwa rasulullah itu melakukan kegiatan wudlu dengan berurutan, jika seseorang mendahulukan membasuh anggota yang lain maka basuhan tersebut tidak teritung walaupun basuhan tersebut dilakukan sebanyak empat kali dan dilakukan secara bersamaan, maka yang dianggap hana basuhan wajah saja. Jika seseorang menyelam (memasukkan seluruh tubuhnya kedalam air) walaupun airnya sedikit dan seseorang tersebut niat melakukan wudlu, maka wudlunya sah.  Bagi orang yang daimul hadas maka dia harus terus menerus dalam berwudhu. Dia juga harus terus menerus antara istinjak dan menjaga hadas, diantara sholat dan pekerjaan-pekerjaan selain sholat.pada setiap wudhu seseorang juga harus mengawali dengan niat, bukan menyempurnakan wudhu dan meletakkan niat diahir.jika seseorang berhadas ditengah-tengah wudhu atau memutus wudhunya maka dia mendapat pahala pada wudhu-wudhunya yang lalu, tetapi jika tidak begitu maka berlaku sebaliknya.






BAB IV
ANALISIS TEKS (ISI NASKAH) DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN TASAWUF
            Dalam analisis ini penulis akan mendeskripsikan terlebih dahulu mengenai fardlunya wudlu yang terdapat dalam teks al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah dan model wudlu menurut imam ghazali dalam kitabnya yang berjudul bidayatul hidayah. Kemudian penulis akan mengemukakan bagaimana hubungan spiritual yang terkandung dalam setiap gerakan atau basuhan yang dilakukan ketika wudlu menurut pemikiran imam Ghazali.
A. Mendeskripsikan model ritual wudlu sesuai yang terdapat dalam teks yang berjudul al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah
Dalam teks tersebut dijelaskan bahwasannya fardlunya wudlu itu ada 6, dan model ritual wudlunya adalah sebagai berikut:
1. niat
            Niat ini dilakukan ketika membasuh wajah pada basuhan pertama, niat dilakukan didalam hati.
2. membasuh wajah
            Wajah yang harus dibasuh adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut pada jidat hingga dagu, ukuran lebarnya adalah pentilnya telinga kanan hingga pentilnya telinga kiri.
3. membasuh kedua tangan beserta siku-siku
            Ketika membasuh kedua tangan maka kedua siku-siku pun harus ikut dibasuh, karena siku-siku termasuk bagian tangan yang merupakan anggota wudhu.
4. mengusap sebagian kepala
            Ketika mengusap sebagian kepala maka kulit kepala yang harus terusap, tidak hanya sekedar mengusap rambut. Tapi kulit kepala yang harus diusap.
5. membasuh kedua kaki beserta mata kaki
            Ketika membasuh kedua kaki maka mata kaki juga harus ikut terbasuh. Karena mata kaki termasuk bagian dari kaki, karena dekat dengan telapak kaki dan punggung kaki.
6. tertib/berurutan
            Yang dimaksud berurutan adalah, berurutan dalam melakukan ritual wudhu mulai dari niat hingga membasuh kedua kaki hingga mata kaki.
Dalam teks tersebut telah dijelaskan model wudlu sebagaimana yang kita lakukan seperti biasa pada anggota-anggota tubuh yang bisa dilihat oleh mata. Dan anggota wudlu (yang wajib dibasuh/diusap saat wudlu) adalah anggota-anggota badan yang dhahir (dapat dilihat oleh mata). Dan hanyalah sekedar membasuh ataupun mengusap yang bermakna secara dhahir saja.
B. Mendeskripsikan model ritual wudlu menurut imam ghazali sebagaimana yang disebutkan dalam kitab bida>yah al-hida>yah
Model ritual wudlu menurut imam ghazali adalah sebagaimana berikut:[12]
1. Sebelum wudhu, bersiwak terlebih dahulu.
2. Kemudian duduk untuk berwudhu, lalu mengucapkan basmalah
3. Kemudian mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali sebelum memasukkan ke dalam wadah.
4. Kemudian berniat menghilangkan hadas atau untuk tujuan dibolehkan shalat. Niat ini harus tetap ada sampai membasuh wajah
5. Lalu menciduk air dengan tangan untuk dimasukkan ke mulut, terus berkumur sebanyak tiga kali. Boleh berlebih-lebihan dalan berkumur dan kenghirup air, kecuali jika sedang dalam berpuasa.
6. Kemudian menciduk air untuk dimasukkan ke hidung, lalu dikeluarkan kembali.
7. Kemudian menciduk air dan dibasuhkan wajah, mulai dari daerah pangkal hingga ujung dagu, dan dari telinga yang satu ke telinga yang lainnya. tidak wajib membasuh naz’ataini karena itu bagian kepala. Tapi wajib membasuh bagian wajah yang oleh wanita sering digunakan untuk menjauhkan rambut dari wajah dan wajib mengalirkan air ke tempat bagian wajah yang ditumbuhi rambut. Wajib pula membasuh bagian depan wajah apabila jenggotnya tipis. Hukum membasuh rambut yang tumbuh di antara bibir bawah dalam masalah ketebalannya sama dengan jenggot, dan memasukkan jari-jari kelekuk-lekuk kulit di bagian mata dan membersihkan kelopak mata.
8. Kemudian membasuh kedua tangan hingga siku sebanyak tiga kali, dan menggerak-gerakkan cincin dan membasuh tiap-tiap bagian yang wajib dengan melebihkan basuhannya
9. Kemudian mengusap kepala dengan cara kedua telapak tangan dibasahi, lalu ujung jari kanan disentuhkan ke ujung jari kiri. Setelah itu, kedua tangan diletakkan di ujung kepala, lalu di tarik ke bagian belakang dan dikembailkan ke depan.
10. Mengusap kedua telinga bagian luar dan dalam dengan air yang baru.
11. Kemudian mengusap leher
12.Kemudian membasuh kaki sebelah kanan sebanyak tiga kali dengan memasukkan jari kelingking tangan kiri ke celah-celah jari kaki sebelah kanan dari arah bawah, di mulai dari jari kelingking kaki kanan dan berakhir pada jari kelingking kaki kiri.
13. Kedua kaki dibasuh hingga pertengahan betis.
C. Spiritualitas Wudhu Menurut Imam al-Ghazali
            Bersuci secara lahiriyah merupakan bersuci dari hadas, najis ataupun kotoran yang melekat pada tubuh, pakaian, maupun tempat tinggal. Bersuci bisa dilakukan dengan berwudhu, mandi, dan juga tayammum. Adapun bersuci secara batiniyah merupakan membersihkan hati dari akhlaq tercela, dari perbuatas dosa, dan juga kesalahan-kesalahan.
            Menurut al-Ghazali, bersuci tidak sekedar mencuci anggota badan. Namun ada empat tahap, yaitu membersihkan jasmanai dari hadats, membersihkan anggota badan dari kejahatan dan perbuatan dosa, membersihkan hati dari akhlaq tercela dan membersihkan batin dari selain Allah.[13]
            Bersih lahiriyah adakalanya bersih dari hadas kecil, yakni dengan berwudlu atau tayammum. Adakalanya bersih dari hadas besar (junub, haidl, dan nifas) yakni dengan mandi. Pelaksanaaan wudlu, tayammum dan mandi harus melalui tata cara tertentu yang telah ditentukan syara’, baik yang bersifat wajib maupun sunnah. Bahkan al-ghazali memberi tuntutan agar memberikan tambahan berupa keutamaan-keutamaan (fadhilah) dalam setiap amal, yakni dengan menghindari perkara-perkara yang dimakruhkan (dibenci). Ia mengatakan bahwa hendaknya selalu berdoa setiap membasuh anggota badan.[14]
            Al-Ghazali menekankan agar tidak menyepelekan amalan-amalan sunnah, karena amalanamalan sunah akan menutup kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan amalan wajib. Selain itu, jika sering menyepelekan amalan sunah, maka bukan tidak mungkin akan menyepelekan amalan-amalan wajib.[15]
            Dalam kitab bidayah al-hidayah imam ghazali menyatakan bahwa setiap selesai membasuh dan mengusap setiap anggota wudhu dianjurkan membaca doa, dengan do’a-do’a yang berbeda-beda. Sebelum wudhu juga dianjurkan menggosok gigi, kemudian membasuh muka, secara spiritual membasuh muka bukan hanya sebatas membasuh wajah dengan batasan-batasan tertentu, tetapi menurut imam ghazali bahwa membasuh muka itu berarti membuat wajah menjadi cerah karena penuh dengan cahaya dihari ahir nanti, sebagaimana disebutkan pada do’a setelah membasuh muka, adapun do’anya sebagaiamana berikut.
اللّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِي بِنُورِكَ يَوْمَ تُبَيِّضُ وُجُوهَ أَوْلِيَآئِكَ وَلَا تُسَوِّدُ وَجْهِيْ يَوْمَ تَسْوَدُّ وُجُوْهَ أَعْدَائِكَ.[16]
“Ya allah, cerahkanlah wajahku dengan cahayamuu pada hari kala engkau mencerahkan wajah-wajah para walimu, dan janganlah hitamkan wajahku pada hari kala Engkau menghitamkan wajah-wajah para musuhmmu.”
            Kemudian membasuh tangan menurut paradigma imam ghazali adalah adanya harapan agar dicatat amalnya pada tangan kanan dan diberi keringanan ketika dihisab. Serta diberi perlindunga atas cacatan amal pada tangan kiri seseorang yang melakukan wudhu.[17] Kemudian ketika membasahi sebagian kepala disitu juga punya pengertian air tersebut bisa melindungi dari api-api neraka agar tidak membakar rambut seseorang yang berwudhu.[18] Karena sebagaimana kita ketahui bahwa api hanya bisa padam dengan air.
            Dan basuhan pada fardhunya wudhu yang terahir adalah membasuh kedua kaki, menurut imam ghazali membasuh kaki bukan hanya membasuh kaki secara dhahir saja, tapi dengan basuhan wudhu tersebut nantinya bisa memydahkan seseorang yang berwudhu dalam melewati atau menyeberangi penyeberang diatas api neraka.[19] Itulah beberapa paradigm imam ghazali pada basuhan-basuhan ketika wudhu. Bahkan menurut imam ghazali sebagaimana yang penulis sebutkan diatas, bahwa berwudu (bersuci) bukan hanya membersihkan anggota-anggota dhohir saja, tetapi juga membersihkan batin seseorang agar menjadi pribadi yang lebih bersih hatinya dari berbagai penyakit hati, seperti: riya’, dengki, dan lain-lain.















BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Dari analisis yang penulis lakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagaimana berikut:
1. teks al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah pada fasal fardhunya wudhu mendeskripsikan bagian-bagian atau anggota wudhu yang wajib dibasuh dan diusap saat wudhu
2. teks al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah bisa dikorelasikan dengan teks yang terdapat pada kitab bidayah al-hidayah, karena keduanya merupakan teks yang membahas mengenai fiqih, tetapi bidayah hidayah lebih kepada fiqih tasawuf berdasarkan paradigma imam Ghazali.
3. Menurut imam ghazali basuhan-basuhan yang dilakukan saat wudhu, bukan hanya membasuh anggota-anggota yang tampak secara dhahir, tetapi memunyai makan spiritual bahwa basuhan-basuhan pada wudhu juga merupakan perkara membasuh hati dan juga pikiran.  
B. Saran
            Dalam analisis yang penulis lakukan ini kiranya masih banyak sekali kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca agar penelitian ini bisa dilakukan dengan lebih baik lagi kedepannya. Dan perlu diketahui bagi para peneliti selanjutnya, bahwa banyak sekali metode-metode dan pendekatan-pendekatan yang bisa digunakan dalam mengkaji fiqih-fiqih ibadah ataupun fiqih tasawuf, sehingga semoga untuk para peneliti selanjutnya diharapkan mampu mengkorelasikan teks-teks kuno yang berisi ilmu agama dengan teks-teks kontemporel. Sehingga mampu menjadikan teks beserta isinya menjadi relevan dimasa yang semakin global dan modern ini.



DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-Buku bahasa Indonesia
‘Abd al-‘Aziz Umri>, Zaenab Syi’r al-‘Aqqa>d (Kairo, Maktabah Syaba>b, t.t)
al-ghazali, bimbingan mencapai hidayah, alih bahasa Ahmad sunarto, (Jakarta:pustaka Amani)
haryanto, Sentot, psikologi shalat: kajian aspek-aspek psikologi ibadah shalat, (Yogyakarta:mitra pustaka,2002),
Robson,  Prinsip-prinsip Filologi Indonesia (Jakarta : Pusat Pembinaan Bahasa dan Universitas Leiden, 1994),
Saputra, Karsono H,  Pengantar Filologi Jawa (Jakarta:  Penerbit Wedatama Widya Sastra, 2008)
Teeuw, A, Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Satra ( Jakarta, Pustaka Jaya, 1984)
Tjandrasasmita, Uka, Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya  bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia ( Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Libang dan Diklat Departemen RI, 2006)
2. Buku-Buku Bahasa Arab
الإمام أبي حامد محمّد بن محمّد الغزالي، بداية الهداية، (جاكرتا : دار الكتب الإسلامية، 2010)





[1] الإمام أبي حامد محمّد بن محمّد الغزالي، بداية الهداية، (جاكرتا : دار الكتب الإسلامية، 2010)، ص. 21-26
[2]  Zaenab ‘Abd al-‘Aziz Umri>, Syi’r al-‘Aqqa>d (Kairo, Maktabah Syaba>b, t.t), 129.
[3]  Lewat A.Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Satra ( Jakarta, Pustaka Jaya, 1984), hlm.49- 50. 
[4] Robson,  Prinsip-prinsip Filologi Indonesia (Jakarta : Pusat Pembinaan Bahasa dan Universitas Leiden, 1994), hlm. 22.
[5] Karsono H. Saputra, Pengantar Filologi Jawa (Jakarta:  Penerbit Wedatama Widya Sastra, 2008) hlm. 81
[6] Ibid, hlm.82-83.
[7] Lihat Uka Tjandrasasmita, Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya  bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia ( Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Libang dan Diklat Departemen RI, 2006) hlm. 27.
[8] Teks asal sebelum dikasih syarah (penjelasan)
[9] Bahasa arab Fush<}a>  sering dilawankan dengan bahasa Arab ’A>miyah atau bisa dikatakan bahsa Arab Fusha adalah bahasa Arab resmi yang diapakai dalam  forum resmi dan bahasa Arab ’A<miyah adalah bahasa Arab yang dipakai dalam percakapan keseharian  dan sesuai dengan daerah masing-masing.
[10] Syarah berarti penjelasan yang panjang mengenai isi kitab tersebut
[11] Matan berarti isi  di dalam kitab tersebut sebelum diberi syarah, dan matan dalam kitab aslinya ditulis dengan tinta warna merah
[12]  الإمام أبي حامد محمّد بن محمّد الغزالي، بداية الهداية، (جاكرتا : دار الكتب الإسلامية، 2010)، ص. 21-26
[13] Sentot haryanto, psikologi shalat: kajian aspek-aspek psikologi ibadah shalat, (Yogyakarta:mitra pustaka,2002), hlm 173
[14] Al-Ghazali, bidayah al-hidayah…, hlm. 14-22. Lihat juga al-ghazali, bimbingan mencapai hidayah, alih bahasa Ahmad sunarto, (Jakarta:pustaka Amani), hlm 22-30
[15] Ibid, hlm.21. lihat juga dalam al-Ghazali, bimbingan mencapai…, hlm.32
[16] Al-Quran 3:6
[17] Dikutib dari do’a setelah wudhu yang ditulis oleh imam ghazali pada kitab bidayah al-hidayah.
[18] ibid
[19] Dikutib dari do’a setelah wudhu yang ditulis oleh imam ghazali pada kitab bidayah al-hidayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar