BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam merupakan
salah satu agama yang dianut oleh manusia. Dalam setiap agama pastinya
mempunyai aturan masing-masing dalam menjalankan rutual beragama. Sebagaimana
umat islam. Sebelum melaksanakan ibadah shalat, thawaf, maupun ibadah yang
lainnya maka seorang muslim harus dalam keadaan bersih dari hadas besar dan
hadas kecil, serta bersih dari hal-hal yang dianggap najis. Adapun untuk
membersihkan hadas besar seseorang harus melakukan mandi besar. Dan untuk
menghilangkan hadas kecil maka seseorang harus berwudhu.
Wudhu merupakan
hal yang perlu dilakukan sebelum melaksanakan shalat dan untuk menghilangkan
hadas kecil, seperti : kentut, buang air kecil, buang air besar, dan yang
lainnya. Karena kalau seseorang mempunyai hadas, baik itu hadas kecil ataupun
hadas besar maka dia tidak diperbolehkan melakuakn shalat. Adapun mengenai
fardhunya wudhu hingga hal-hal yang membatalkan wudhu semuanya telah dijelaskan
secara rinci pada fiqih ibadah. Walaupun banyak pula madzhab-madzhab yang
mempunyai perbedaan dalam hal batasan anggota wudhu atau yang lainnya.
Wudhu sebagaimana
yang kita ketahui adalah merupakan suatu ritual yang dapat dilihat oleh mata,
sebagaimana disebutkan dalam teks al-minha<j al-Qawi>m syarh
al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah
mengenai fardhunya wudhu, mulai dari niat, membasuh kedua tangan, hingga
berurutan. Hal-hal tersebut adalah ritual yang tidak asing bagi umat islam. Ang
semua perbuatan itu bisa dilakukan dengan gerakan-gerakan anggota tubuh. Adapun
ketika wudhu dilihat dari kaca mata tasawuf mka sebagaimana diungkapkan imam
Ghazali bahwasanya persoalan wudhu bukanlah mengenai basuhan-basuhan pada
anggota-anggota wudhu seperti: wajah, tangan, ataupun kaki. Tetapi juga
membasuh hati dan pikiran.[1]
Olehkarena itu penulis ingin
menganalisa bagaimana pandangan fiqih tasawuf terhadap wudhu (bersuci), dalam
hal ini penulis hanya akan membahas bersuci dalam hal wudhu. Bagaimana korelasi
antara wudhu dalam kacamata ibadah dan wudhu dalam kacamata tasawuf. Bagaimana
makna pembersihan dan basuhan pada anggota-anggota wudhu itu juga mengandung
makna-makna spiritual, jadi tidak sekedar membasuh anggota-anggota wudhu. Dalam
hal ini penulis mengkorelasikan dengan fiqih tasawuf yang ditulis oleh Imam
Ghazali yang berjudul Bidayah al-Hidayah, karena kitab bidayah
al-hidayah merupakan karya imam ghazali dalam bidang fiqih dan tasawuf. Akan tetapi proses ritual-ritual
yang dilakukan ketika bersuci hingga melaksanakan bersuci, dan bahkan setelah
melakukan basuhan-basuhan didalamnaya mengandung nilai-nilai kesehatan jiwa
sehingga menggugah minat penulis untuk mengkorelasikan dengan teks al-minha<j
al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah pada fasal wudhu.
B.
Rumusan Masalah
Dari
uraian latar belakang diatas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana
bunyi dan isi secara global teks pada naskah al-minha<j
al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah ?
2.
Bagaimana
korelasi ritual wudhu pada fiqih islam dalam teks al-minha<j
al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah dan wudhu pada fiqih tasawuf menurut imam
ghazali pada kitab Bidayah al-Hidayah?
3.
Bagaimana hubungan
spiritualitas wudhu menurut imam al-Ghazali?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menghasilkan suntingan teks naskah al-minha<j
al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah yang bisa dinikmati oleh masyarakat
pembaca.
2. Mengemukakan
pesan teks sehingga bisa dimengerti oleh masyarakat pembaca.
3. mengetahui korelasi model ritual wudhu pada fiqih
islam dan pada fiqih tasawuf
4. mengetahui nilai-nilai spiritualitas wudhu.
D.
Metodologi Penelitian
Naskah dan teks yang terkandung di
dalamnya adalah sebuah produk masa lalu dengan latar sosial dan budaya tertentu sebagaimana karya-karya sastra
lainnya. Para kritikus sastra biasanya mengkaitkan wacana hubungan sebuah karya sastra dengan
lingkungannya dengan beberapa pelopor
sosiologi sastra seperti Taine, Sainte Beuve dari Prancis dan beberapa tokoh
lain seperti William Hozlitt, Thomas dan Carlyle dari Inggris[2].
Sejalan dengan alur pikir ini, Abrams
menawarkan sebuah pendekatan- di
samping pendikatan-pendekatan lainnya-
yang ia sebut dengan pendekatan Mimesis yang mengasumsikan bahwa karya
sastra merupakan cermin dari realitas [3]. Dengan asumsi
ini, maka memahami sebuah teks dalam
naskah sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari wacana yang berkembang dalam
masa teks itu diciptakan, walaupun perlu disadari tidak semua teks akan mempunyai kasus yang
sama karena dimungkinkan ada seorang yang menulis tema yang berlainan dengan
wacana yang berkembang pada masanya.
Dengan asumsi tersebut diatas, para
filolog dan para peminat naskah mengalami banyak kesulitan dalam menghadapi
rentan budaya antara penulis masa lalu dengan pembaca masa kini disamping
dihadapkan pula pada naskah yang cukup banyak
karena teks yang cukup populer dan diminati oleh berbagai masyarakat.
Dan untuk mengurangi kesulitan ini, maka
para filolog meletakan metode
serta langkah kerja secara khusus yang akan menghindarkan mereka dari kesalahan-kesalahan dalam melakukan
penelitian yang tentunya disesuaikan dengan keadaan naskah baik dari sisi
jumlah naskahnya atau juga bisa
disesuaikan dengan keinginan dan
tujuan peneliti.
Naskah berjudul
al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah
al-Hadlramiyyah sebagaimana akan
diterangkan lebih lanjut dalam bab kedua-
adalah codex unicus
(naskah tunggal). Oleh karena itu
metode yang mungkin diterapkan dalam dalam menghadapi naskah
tunggal ini adalah melakukan edisi
diplomatis dengan ”menjiplak” teks apa adanya dan dengan tanpa melakukan
perubahan sedikit pun. Bentuk terbaik dari edisi diplomatis adalah reproduksi fotografis dari sebuah naskah,
tetapi edisi ini tidak banyak membantu pembaca untuk memahami naskah.
Cara lain adalah melakukan edisi standar yang disebut pula dengan edisi kritis
yang menyunting teks dengan melakukan perubahan terhadap teks aslinya.
Penyuntingan dengan edisi kritis ini
juga terbagi dua. Pertama; edisi kritis
yang melakukan rekonstrusi terhadap
teks asli, memilih bacaan yang terbaik,
memperbaiki kesalahan, membakuakan ejaan
yang didasarkan pada sumber-sumber yang ada. Kedua; Edisi dari satu
sumber yaitu membuat sumber yang ada
menjadi bentuk yang semurni mungkin yang didasarkan pada satu naskah. Beberapa
bagian yang dipandang salah akan dikoreksi, tetapi terbatas pada
kesalahan-kesalahan dalam penulisan [4].
Dalam penelitian
ini, penulis akan menggunakan
penyuntingan edisi kritis dari
satu naskah dengan melakukan perubahan
baik penambahan ataupun pengurangan terhadap teks yang ada sesuai dengan
kaidah bahasa Arab yang benar dan diikuti dengan pemberian catatan kaki supaya keaslian teks bisa terjaga dengan
baik. Langkah ini ditempuh didasarkan pada kondisi teks yang tidak
memungkinkan dilakukannya edisi diplomatik yaitu banyaknya bagian teks yang tertutup tisu Jepang setelah
dilakukan konservasi. Begitu pula penyuntingan akan dilakukan pada beberapa pasal saja disesuaikan dengan
sempitnya waktu yang tersedia.
Adapun langkah kerja yang akan
dilakukan adalah :
1.
Inventarisasi
Naskah yaitu mengidentifikasi keberadaan
naskah yang mempunyai teks sekorpus[5]. Langkah ini dilakukan karena ada naskah berjudul al-minha<j
al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah yang dimungkinkan dari judul yang
dipakai mempunyai kesamaan dengan teks yang akan diteliti. Penulis sengaja
mencuplik beberapa kalimat dari kedua
teks ini untuk menunjukan perbedaannya.
2.
Deskripsi naskah
yaitu menyajikan informasi tentang fisik naskah yang menjadi objek penelitian[6].
3.
Suntingan
teks yaitu upaya untuk membebaskan teks
dari segala kesalahan yang diperkirakan
agar teks dapat dipahami secara jelas dengan mempertimbangkan kaidah
bahasa Arab [7].
4.
Terjemahan yaitu
upaya menyajikan teks terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan terjemahan yang tidak terikat dengan susunan kata per
kata tetapi lebih pada upaya penerjemahan makna dan dengan terikat pada
kaidah-kaidah penerjemahan secara umum
Deskripsi isi
yaitu upaya meletakkan wacana yang ada
dalam teks. Tujuan dari langkah ini adalah untuk mengemukakan
pesan teks al-minha<j
al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah untuk membantu para peminat memahami
kandungan teks walaupun hanya kandungan dari sebagian teks saja.
Selain menggunakan
pendekatan filologi untuk menganalisa teks ini, penulis juga akan menggunakan
sebuah pendekatan tasawuf dengan menggunakan metode deskriptif korelatif.
Metode deskriptif korelatif yaitu dengan cara mendeskripsikan terlebih dahulu
mengenai ritualritual wudhu sesuai yang terdapat dalam teks kemudian menelusuri
seperti apa model ritual wudlu yang ada pada teks al-minha<j
al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah dan model wudlu
menurut imam ghazali dalam kitab bidayatul hidayah. Kemudian penulis akan
mengkorelasikan antara konsep wudlu yang terdapat dalam teks fiqih islam al-minha<j
al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah fasal wudhu dengan
kitab fiqih tasawuf imam ghazali yang berjudul bidayah al hidayah pada
bab wudhu, serta memaparkan
bagaimana hubungan spiritualnya sesuai
paradigma tasawuf imam ghazali..
E.
Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian ini terdiri dari
:
Bab pertama adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode dan langkah penelitian serta sistematika penulisan atau
penyajian.
Bab
kedua adalah inventarisasi
naskah, deskripsi naskah dan ringkasan ini. Bab ini akan menguraikan
keberadaan naskah di penyimpanan-penyimpanan naskah kemudia menguraikan kodikologi naskah serta
memberikan isi ringkas naskah bagi para pembaca yang dimungkinkan untuk bisa
membaca teks secara keseluruhan.
Bab ketiga adalah suntingan teks yang
meliputi pertanggungjawaban penulis atas
usaha perubahan yang dilakukan dalam suntingan, mencantumkan kaidah
trasliterasi yang digunakan yang disusul
dengan menerjemahkan teks ke dalam bahasa Indonesia dan
menganalisis isi teks.
Bab keempat adalah analisis isi teks,
dengan mengkorelasikan terhadab kitab bidayah al-hidayah. Dengan menggunakan
pendekatan tasawuf
Bab kelima adalah penutup yang berisi
kesimpulan dan rekomendasi buat para peneliti berikutnya.
BAB II
INVENTARISASI
DAN DESKRIPSI NASKAH
A. Inventarisasi Naskah
Naskah al-minha<j al-Qawi>m syarh
al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah
adalah salah satu naskah koleksi Perpustakaan pribadi rumah Bapak
Habib Syakur, Ponpes Al-Imdad Bantul Yogyakarta, yang dikelompokkan dalam naskah-naskah Arab. Naskah ini merupakan
naskah tunggal, karena dalam katalog naskah-naskah Arab tidak ditemukan naskah
yang judunya secara bahasa mendekati naskah yang akan diteliti.
B. Deskripsi Naskah
Naskah ini penulis temukan dalam koleksi Perpustakaan
pribadi rumah Bapak Habib Syakur, Ponpes Al-Imdad Bantul Yogyakarta yang
termasuk pada koleksi naskah-naskah yang berbahasa Arab. Naskah ini berjilidkan
karton tebal bersampul yang bisa dikatakan sudah tidak dalam keadaan
yang baik, Keadaan sampul telah termakan rayap. Sedangkan warna sampul sendiri
berwarna biru kecoklatan dan cenderung sudah lusuh. Naskah ini memakai alas
naskah kertas Eropa berwarna putih kecoklat-coklatan dengan watermark W..P..Koek. Bila
diterawang, kertas ini mempunyai chain lines (Garis tebal) sejumlah 7 baris.
Sedangkan untuk Laid-Lines ada dan terlalu banyak untuk dihitung. Ukuran naskah
sekitar 32X19.5 cm dengan vias atas
8 cm, vias bawah 8 cm, vias kanan
7 cm dan vias kiri 7 cm. Mengenai jumlah halaman naskah tidak diketahui, karena
tidak terdapat penomoran halaman. Kondisi fisik naskah masih cukup baik,
sedikit berlobang-lobang tetapi masih bisa dibaca.
Teks berukuran 1 cm, dengan jumlah baris dalam satu halaman
terdapat 13 Baris, namun untuk akhir halaman hanya terdapat 8 baris. Teks dituliskan dengan tinta cina yang
berwarna hitam dan ada rubrikasi dengan
tinta merah hampir di setiap halaman ketika menulis isi matan[8]
pada naskah tersebut. Teks dibagi penulis ke dalam beberapa pasal dengan
judul setiap pasal didapatkan.
Teks dengan menggunakan bahasa Arab fusha> [9] yang kebanyakan ditulis tanpa harakat dan tanpa ada tanda baca
apapun. Kemudian dibawahnya diberi makna dengan menggunakan tulisan arab pegon
dan berbahasa jawa. Pada kutipan awal teks terdapat tulisan بسم الله الرحمن الرَحيم Lafadz tersebut
ditemukan pada lembar kosong setelah sampul. Tulisan ini terkesan ditulis oleh
anak-anak yang sedang belajar menulis lafadz al-Qur’an. Kemudian pada Kutipan
Akhir Teks terdapat tulisan :
كع كاكوعان كتاب فونيكا كور جاج عبد المنان
كياهي من عيو كياكرتا
نليكا دامل ايكى كتاب فونيكا 2-10-1928
Kolofon dari naskah ini mengatakan
bahwa penyalinan naskah ini berakhir pada
tanggal 2 bulan 10 pada tahun 1998,
dengan penulis Abdul Malik ibnu Abdurrahman yang berasal dari hadramaut,
dan disalin oleh Haji Abdul Manan yang berasal dari kota Yogyakarta. Naskah ini
didapat bapak Habib Syakur dari seorang teman beliau yang berasal dari
Magelang.
C. Deskripsi Isi
Teks secara
keseluruhan mengandung ajaran syari’at
atau berisi tentang ilmu fiqih yang mengajarkan kepada pembaca tentang tata
cara beribadah, mulai dari bersuci, shalat dan lain-lain. Juga mengenai hal-hal
yang wajib, sunnah, dan haram dilakukan dalam hal ubudiyyah.
Dari teks yang
penulis sunting, penulis dapat memetik pelajaran mengenai fardlunya wudlu,
serta bagaimana batasan-batasan yang harus dibasuh atau diusap ketika wudlu.
Secara umum isi dari teks tersebut merupakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan ibadah secara dhahir, dan teks yang dibahas oleh penulis merupakan fasal
tentang fardlunya wudlu serta bagaimana cara wudlu yang benar. Sehingga wudlu
bisa dianggap sah dan dianggap tidak sah. Teks ini hanya menjelaskan mengenai
model wudlu yang dilakukan secara dhahir saja, sehingga penulis melakukan
pengkajian secara tasawuf dengan melihat model wudlu menurut imam ghazali, imam
ghazali yang merupakan seorang sufi, mendeskripsikan wudlu bukan hanya sekedar
membasuh anggota-anggota yang dapat dilihat oleh mata. Adapun pendeskripsiannya
nanti akan penulis jelaskan pada bab analisis teks.
Secara
umum memang fardlunya wudlu itu sama antara madzhab satu dengan madzhab yang
lainnya, olehkarena itu penulis mencoba menganalisa bagaimana hubungan
spiritual yang terkandung dalam setiap basuhan-basuhan yang dilakukan pada
setiap anggota wudlu.
BAB III
SUNTINGAN TEKS
A.
Pertanggungjawaban dan Pedoman Transliterasi
Sebelum menyuguhkan suntingan teks, maka terlebih dahulu akan
dijelaskan beberapa tehnik suntingan dan
tanda-tanda yang digunakan dalam perbaikan
kesalahan-kesalahan yang ada dalam teks. Perbaikan kesalahan yang dilakukan dalam penyuntingan
dilakukan dengan cara mengganti, menambah atau mengurangi huruf atau kata sesuai dengan tuntutan penulisan bahasa Arab.
Sedangkan tanda-tanda yang digunakan
dalam perbaikan tersebut adalah sebagai berikut :
- Penambahan
tanda baca baik titik maupun koma sekaligus menandai satu kalimat dengan
kalimat lain dan satu paragraf dengan paragraf lain.
- Nomor yang
ada dalam (....) (dua tanda kurung)
menunjukan angka halaman di
dalam teks aslinya. Tetapi berhubung teks yang dianalisis oleh penulis
tidak terdapat angka halaman, maka penulis menggunakan angka halaman pada
foto teks asli. Hal ini dilakukan karena teks cukup panjang dan penulis
hanya mengambil teks bagian tertentu untuk mengetahui apa pesan yang dikandung dalam teks.
- Tanda /
menunjukan awal sebuah pasal, tanda // adalah tanda berakhirnya sebuah
pasal, sedangkan tanda ... (titik
tiga) berarti ada kata sebelumnya yang tidak ditulis atau menunjukan adanya kata-kata yang tidak
bisa terbaca di dalam tekas aslinya.
- Kalimat atau
kata yang ada pada tanda “....”
(dua tanda petik), maka kalimat atau kata itu mempunyai penekanan atau
makna khusus.
- Tanda :
(titik dua) yang digunakan untuk
memisahkan antara syarah [10]dengan
matan [11]
dari isi kitab tersebut.
Sedangkan pedoman trasliterasi dari
bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia menggunakan Pedoman Transliterasi
Arab-Latin hasil keputusan bersama
Mentri Agama dan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan yang diterbitkan Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan Departemen Agama Republik Indonesia pada tahu 2003. Pedoman transliterasi
tersebut adalah :
- Konsonan
Fonem konsonan Bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan huruf, sedangkan dalam transliterasi ini sebagian
dilambangkan dengan tanda dan sebagian lagi dilambangkan dengan huruf
serta tanda sekaligus. Daftar huruf Arab
dan transliterasinya dengan huruf Latin adalah sebagai berikut :
Huruf Arab
|
Nama
|
Huruf Latin
|
Nama
|
ا
|
alif
|
Tidak dilambangkan
|
Tidak dilambangkan
|
ب
|
ba
|
b
|
Be
|
ت
|
ta
|
t
|
Te
|
ث
|
s\a
|
s\
|
Es (dengan titik di atas)
|
ج
|
jim
|
j
|
Je
|
ح
|
H}a
|
h}
|
Ha (dengan titik di bawah)
|
خ
|
kha
|
kh
|
Ka dan ha
|
د
|
dal
|
d
|
De
|
ذ
|
zal
|
z\
|
Zet (dengan titik di atas)
|
ر
|
ra
|
r
|
Er
|
ز
|
zai
|
z
|
Zet
|
س
|
sin
|
s
|
Es
|
ش
|
syin
|
sy
|
Es dan ye
|
ص
|
s}ad
|
s}
|
Es (dengan titik di bawah)
|
ض
|
d}ad
|
d}
|
De (dengan titik di bawah)
|
ط
|
t}a
|
t}
|
Te (dengan titik di bawah)
|
ظ
|
z}a
|
z}
|
Zet (dengan titik di bawah)
|
ع
|
‘ain
|
...‘.....
|
Koma terbalik di atas
|
غ
|
gain
|
g
|
Ge
|
ف
|
fa
|
f
|
Ef
|
ق
|
qaf
|
q
|
Ki
|
ك
|
kaf
|
k
|
Ka
|
ل
|
lam
|
l
|
El
|
م
|
mim
|
m
|
Em
|
ن
|
nun
|
n
|
En
|
و
|
wau
|
w
|
We
|
ه
|
ha
|
h
|
Ha
|
ء
|
hamzah
|
...' ...
|
Apostrop
|
ى
|
ya
|
y
|
Ye
|
- Vokal
Vokal bahasa Arab
seperti vokal bahasa Indonesia terdiri dari vokal tunggal atau monoftong atau
vokal rangkap atau diftong.
- Vokal Tunggal
Vokal Tunggal bahasa Arab
yang lambangnya berupa tanda atau
harakat, transliterasinya sebagai berikut :
Tanda
|
Nama
|
Huruf Latin
|
Nama
|
ََ.......
|
Fath}ah
|
a
|
A
|
ِ....... ِ
|
Kasrah
|
i
|
I
|
........ُ
|
Dammah
|
u
|
U
|
Contoh :
No
|
Kata Bahasa Arab
|
Transiterasi
|
1.
|
كَتَبَ
|
Kataba
|
2.
|
ذكر
|
Z|ukira
|
3.
|
يذهب
|
Yaz\habu
|
- Vokal Rangkap
Vokal rangkap
bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf maka trasliterasinya
gabungan huruf, yaitu :
Tanda dan Huruf
|
Nama
|
Gabungan Huruf
|
Nama
|
ى ……
|
Fathah dan ya
|
Ai
|
a dan i
|
و ......
|
Fathah dan wau
|
Au
|
a dan u
|
Contoh
:
No
|
Kata Bahasa Arab
|
Transliterasi
|
1.
|
كيف
|
Kaifa
|
2.
|
حول
|
H{aula
|
- Maddah
Maddah atau vokal panjang
yang lambangya berupa harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf
dan tanda sebagai berikut :
Harakat dan Huruf
|
Nama
|
Huruf dan Tanda
|
Nama
|
ي …َ….ا …َ…..
|
Fath}ah da alif atau ya
|
a>
|
a dan garis di atas
|
ي …ِ…..
|
Kasrah dan ya
|
i>
|
i dan garis di
atas
|
و …ُ….
|
Dammah dan wau
|
u>
|
u dan garis di atas
|
Contoh :
No
|
Kata Bahasa Arab
|
Transliterasi
|
1.
|
قََالَ
|
Qa>la
|
2.
|
قٍيلَ
|
Qi>la
|
3.
|
َيقُولُ
|
Yaqu>lu
|
4.
|
َرمَي
|
Rama>
|
- Ta Marbutah
Trasliterasi untuk
Ta Marbutah ada dua :
a.Ta Marbutah hidup atau yang mendapatkan harakat fathah,
kasrah atau dammah trasliterasinya adalah /t/.
b. Ta Marbutah mati atau mendapat harakat sukun
transliterasinya adalah /h/.
c. Kalau pada suatu kata yang akhir katanya Ta Marbutah
diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang /al/ serta bacaan kedua kata itu terpisah maka Ta Marbutah itu ditrasliterasikan dengan /h/.
Contoh :
No
|
Kata Bahasa Arab
|
Transliterasi
|
1.
|
رَوْضَةُ الأطفَال
|
Raud}ah al-at}fa>l/ raud}atul atfa>l
|
2.
|
طَلْحَةُ
|
T{alhah
|
- Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau Tasydid
yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda yaitu
tanda Syaddah atau Tasydid. Dalam transliterasi ini tanda Ssyaddah
tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang
diberi tanda Syaddah itu.
Contoh :
No
|
Kata Bahasa Arab
|
Trasliterasi
|
1.
|
رَبَّنَا
|
Rabbana
|
2,
|
نَزَّلَ
|
Najjala
|
- Kata Sandang
Kata sandang dalam bahasa Arab dilambankan dengan huruf
yaitu ال . Namun dalam transliterasinya kata
sandang itu dibedakan antara kata sandang yang diikuti oleh huruf Syamsiyyah
dengan kata sandang yang diikuti oleh huruf Qamariyyah.
Kata sandang yang diikuti oleh huruf Syamsiyyah
ditrasliterasikan sesuai dengan
bunyinya yaitu huruf /l/ diganti dengan
huruf yang sama dengan huruf yang
langsung mengikuti kata sandang itu. Sedangkan kata sandang yang diikuti oleh
huruf Qamariyyah ditrasliterasikan
sesuai dengan aturan yang digariskan di
depan dan sesuai dengan bunyinya. Baik
didikuti dengan huruf Syamsiyyah atau Qomariyah, kata sandang ditulis dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan kata sambung.
Contoh :
No
|
Kata
Bahasa Arab
|
Transliterasi
|
1.
|
الّرَجُلُ
|
Ar-rajulu
|
2.
|
الجَلاَلُ
|
Al-Jala>lu
|
- Hamzah
Sebagaimana telah di sebutkan di depan bahwa Hamzah
ditranslitesaikan denga apostrof, namun itu hanya terletak di tengah dan di
akhir kata. Apabila terltak di awal kata
maka tidak dilambangkan karena dalam
tulisan Arab berupa huruf alif.
Perhatikan contoh-contoh berikut ini:
No
|
Kata Bahasa Arab
|
Trasliterasi
|
1.
|
أَكَلَ
|
Akala
|
2.
|
تَأْخُذُوْنَ
|
ta'khuduna
|
3.
|
النَّْؤُ
|
An-Nau'u
|
- Huruf Kapital
Walaupun dalam sistem bahasa Arab tidak mengenal huruf kapital, tetapi dalam
trasliterinya huruf kapital itu digunakan seperti yang berlaku dalam EYD
yaitu digunakan untuk menuliskan huruf
awal, nama diri dan permulaan kalimat.
Bila nama diri itu didahului oleh kata sandangan maka yang ditulis dengan huruf kapital adalah nama diri tersebut, bukan huruf awal atau
kata sandangnya.
Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku
bila dalam tulisan Arabnya memang
lengkap demikian dan kalau penulisan
tersebut disatukan dengan kata lain
sehingga ada huruf atau harakat yang
dihilangkan, maka huruf kapital tidak digunakan.
Contoh :
No.
|
Kalimat Arab
|
Transliterasi
|
|
وَمَا مُحَمَدٌ إِلاَّ رسُوْلٌ
|
Wa ma> Muhaamdun illa> rasu>l
|
|
الحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
|
Al-hamdu lillhi rabbil 'a>lami>na
|
- Penulisan
Kata
Pada dasarnya setiap kata
baik fi’il, isim maupun
huruf ditulis terpisah. Bagi kata-kata
tetentu yang penulisannya dengan huruf
Arab yang sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau
harakat yang dihilangkan maka penulisan kata tersebut dalam
transliterasinya bisa dilakukan dengan
dua cara yaitu bisa dipisahkan pada setiap kata atau bisa dirangkaikan.
Contoh:
No
|
Kalimat Bahasa Arab
|
Transliterasi
|
|
وَإِنَّ اللهَ لَهُوَ خَيْرُالَّرازِقِيْنَ
|
Wa
inna>llaha lahuwa khair ar-ra>ziqi>n/ Wa innalla>ha lahuwa
khairur-ra>ziqi>n
|
|
فَأَوْفُوْا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ
|
Fa aufu> al-Kaila wa al-mi>za>na/ Fa
auful-kaila wal mi>za>na
|
B.
Suntingan Teks, Transliterasi dan Terjemahan
(101_2967) / فصل في
الوضوء:
وهو معقول المعنى وفرض مع الصلاة على الأوجه قبل الهجرة بسنة وهو من خصائص هذه
الأمة بالنسبة لبقية الأمم لا لأنبيائهم، وموجبه الحدث وإرادة فعل ما يتوقف عليه،
وكذا يقال في الغسل :وفروض الوضوء ستة الأول: النية لما صح من قوله صلى الله عليه
وسلم: "إنما الأعمال بالنيات" 3 أي إنما صحتها بالنية فتجب إما :نية رفع
حدث: أي رفع حكمه وإن نوى بعض أحداثه كأن نام وبال فنوى رفع حدث النوم لا البول
لأن الحدث لا يتجزأ فإذا ارتفع بعضه ارتفع كله، وكذا لو نوى غير رفع حدثه كأن نام
فنوى رفع حدث البول لكن بشرط أن يكون غالطًا وإلا كان متلاعبًا "أو:نية
:الطهارة للصلاة: أو نحوهما أو الطهارة عن الحدث، ولا يكفي فيه نية الطهارة فقط
ولا الطهارة الواجبة على الأوجه :أو: نية :نحو ذلك:كنية أداء الوضوء أو فرضه أو
الوضوء وإنما لم تصح نية الغسل؛ لأنه قد يكون عادة بخلاف الوضوء، وكنية استباحة
مفتقر إلى الوضوء كالصلاة وإن لم يدخل وقتها كالعيد في رجب وطواف وإن كان في الهند
مثلا ولا يعتد بالنية إلا إن كانت "عند
غسل الوجه" فإن غسل جزأ منه قبلها لغا فإذا قرنها بجزء بعده كان الذي قارنها
وهو أوله ووجب إعادة غسل ما تقدم عليها ثم المتوضئ إما سليم وإما سلس فالسليم يصح
وضوؤه بجميع النيات السابقة بخلاف السلس. :و:من ثم :ينوي سلس البول ونحوه:كالمذي1
والودي2 :استباحة فرض الصلاة: أو غيرها من النيات السابقة لا رفع الحديث والطهخارة
عنه لأن حدثه لا يرتفع ويستبيح السلس بذلك ما يستبيحه المتيمم مما يأتي وإنما
تلزمه نية استباحة الفرض إن توضأ لفرض. :وإن توضأ لسنة نوى استباحة الصلاة: ولو
نوى المتوضئ مع نية الوضوء تبردًا أو تنظفًا كفى، لكن إن نوى ذلك في الأثناء اشترط
أن يكون ذاكرًا لنية الوضوء وإلا لم يصح ما بعدها لوجود الصارف، وكذا لو بقي رجلاه
مثلا فسقط في نهر لم يرتفع حدثهما إلا إن كان ذاكرًا لها، بخلاف ما لو غسلهما فإنه
يرتفع مطلقًا ولا يقطع نية الاغتراف حكم النية السابقة وإن عزبت3 لأنها لمصلحة
الطهارة لصونها ماؤها عن الاستعمال، ومتى شرك بين عبادة وغيرها لم يثب مطلقًا عن
ابن عبد السلام4، وعند الغزالي5 إن غلب باعث الآخرة أثيب وإلا فلا، وكلام المجموع
وغيره في الحج يؤيده.
(1) Fas}lun fi>
al-wud}u>i. Wa huwa ma’qu>lu al-ma’na> wa furid}o ma’a as-s}la>ti
’ala al-aujahi qabla al-hijrati bisanatin wa huwa min khas}ais}i
ha>z||||\ihial-ummati bi an-nisbati libaqiyyati al-umami la>
liambiya>ihim, wa mu>jibuhu> al-h}adats\\u wa ira>datu fa’li ma>
yutawaqqafu ’alaihi, wa kaz\a yu qa>lu fi al-gusli.
:wa furud}ul
wud}u>i sittatun: al-awwalu anniyatu lima> s}ah}h}a min qaulihi
s}allallahu ’alaihi wasallama, innama> al a’ma>lu binniyati. Ay
innama> s}ih}h}atuha> binniyati fatajibu imma> :niyatu raf’i
h}adas\in: ay raf’i h}ukmihi> wa in nawa> ba’d}a ah}da>s\ihi> ka an
na>ma wa ba>la fa nawa> raf’i h}adas\i al-naumi la> al-bauli lianna
al-h}adas\a la> yatajazaa faiz\a irtafa’a kulluhu>, wa kaz\a lau nawa>
goira raf’i h}adas\ihi> ka an na>ma fa nawa> raf’i h}adas\i al-bauli
la>kin bi syart}i an yaku>na go>lit}an wa illa> ka>na mu
tala>’iban :au: niyata :al-t}aha>ratu li al-s}ala>ti: au nah”wiha>
au al-t}aha>rati ’an al-h}adas}i, wa la> yakfi> fi>hi niyatu
al-t}aha>rati faqat} wa la>
al-t}ha>rati al-wa>jibati ’ala al-aujahi :au: niyatu :nah}wi z\a>lika:
kaniyati ada>i al-wud}u>i au fard}ihi> au al-wud}u>i wa innama>
lam tas}ih}h}a niyatul gusli, liannahu> qad yaku>nu ’a>datan bi khila>fi
al-wud}u>i, wa kaniyati istiba>h}ati muftaqirin ila al-wud}u>i ka as\-s\ala>ti
wa in lam yadkhul waqtuha> ka al-’i>di fi> rajaba wa t}awa>fin wa
in ka>na fi al-hindi mas\alan wa la>yu’taddu bi al-niyyati illa> in
ka>nat :’inda gusli al-wajhi: fa in gasala juzan minhu qablaha> laga>
faiz\a qaranaha> bijuzin ba’dahu> ka>na al-laz\i> qa>ranaha>
wa huwa awwaluhu> wawajaba i’a>datu gasli ma>taqaddama ’alaiha>
s\umma al-mutawad}d}i||u imma> Sali>mun wa imma> salisun fassali>mu
yas}ih}h}u wu d}u>uhu> bi jami>’i an-niya>ti as-sa>biqati bi
khila>fi as-salisi. :wa: min s\amma :yanwi> salisul bauli wa
nah}wihi>: ka al-maz\i> wa al-wadi> :istiba>h}atu fard}i
as-s}ala>ti: au gairiha> min an-niya>ti as-sa>biqati la> raf’a
al-h}adas\i wa al-t}aha>rati ’anhu lianna h}adas\ahu> la> yartafi’u wa
yastabi>h}u as-salisu biz\a>lika ma> yastabi>h}uhu al-mutayammimu
mimma> ya’ti> wa innama> talzamuhu> niyatu istiba>h}ati
al-fard}i in tawad}d}aa lifard}in. :wa in tawad}d}aa lisunnatin nawa> li
istiba>h}ata as}-s}ala>ta: walau nawa> al-mutawad}d}iu ma’a niyati
al-wud}u>i tabarrudan au tanaz}z}ufan kafa>, la>kin in nawa> z\a>lika
fi al-is\na>i isytarat}a an-yaku>na z\a>kiran liniyati al-wud}u>i
wa illa> lam yas}h}h}a ma> ba’daha> li wuju>di as}-s}a>rifai, wa
kaz\a> lau baqa> rijla>hu mas\alan fasaqat}a fi> nahrin lam yartafi’
h}adas\uhuma> illa> in ka>na z\a>kiran laha>, bikhila>fi
ma> lau gasalahuma> fainnahu> yartafi’u mut}laqan wa la> yaqt}a’u
nayatu al-igtira>fi hukma an-niyyati as-sa>biqati wa in ’azabat
liannaha> limas}lah}ati at}-t}aha>rati li s}auniha> ma>aha> ’an
al-isti’ma>li, wa mata> syaraka baina ’iba>datin wa gairiha> lam
yus\ab mut}laqan ’an ibn ’abdi as-sala>m, wa ’inda gaza>li> in
ga>laba ba<’is\u al-a>khirati us\i>ba wa illa> fala, wa
kala>mu al-majmu>’i wa gairihi> fi al-h}ajji yuayyiduhu>.
Wudlu merupakan
suatu hal yang sudah diketahui maknanya, wudlu diwajibkan bersamaan
dengan shalat atas beberapa hal, wudlu juga merupakan kekhususan yang diberikan
kepada umat nabi Muhammad SAW tidak pada umat nabi-nabi sebelumnya, wajibnya
wudlu itu dikarenakan hadas\ dan menginginkan untuk melakukan ibadah yang harus
dilakukan dengan wudlu terlebih dahulu, hal itu dikatakan dalam bab mandi.
Fardlunya wudlu itu ada enam, pertama: niat sebagaimana yang terdapat
pada hadis\ nabi muhammad SAW : ”bahwasanya setiap perbuatan itu harus diawali
dengan niat” bahwa sahnya segala sesuatu itu bila diawali dengan niat terlebih
dahulu maka wajib ”niat menghilangkan hadas\” jika seseorang niat menghilangkan
beberapa hadas\ seperti hadas\ karena tidur dan karena buang air kecil maka dia
cukup niat satu saja, menghilangkan hadas\ karena tidur, tidak karena dia habis
buang air kecil. Karena hadas\ itu tidak terbagi-bagi maka jika jika seseorang
yang menghilangkan satu hadas\nya maka hilanglah hadas\ yang lain, dan walaupun
seseorang niat tidak menghilangkan hadas\nya seperti misalnya dia hadas\ karena
tidur kemudian dia berniat menghilangkan hadas\ karena buang air kecil, atau
niat bersuci untuk shalat, bersuci karena hadas atau yang lainnya. Dalam niat
berwudlu tidaklah cukup niat bersuci saja dan tidak niat bersuci yang
diwajibkan atas beberapa hal, seperti niat melakukan wudlu atau fardlunya
wudlu. Dan titidak sah wudlu dengan niat mandi, karena kebiasaan-kebiasaan
dalam mandi itu berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan dalam wudlu. Seperti juga
niat agar dengan wudlu seseorang bisa melaksanakan suatu ibadah seperti shalat,
dan jika belum masuk waktunya seperti shalat id dibulan rajab maka hal itu
tidak dihitung niat, kecuali jika membasuh wajah maka jika dia membasuh
sebagian wajahnya sebelum niat, maka basuhan tersebut sia-sia. Jika seseorang
wudhu karena sunnah maka dia niat niat diperbolehkannya shalat walaupun cukup
niat karena membersihkan atau agar segar.
الفرض
"الثاني: غسل" ظاهر "الوجه" أي انغساله وكذا يقال في سائر
الأعضاء للآية6 "وحده" طولا "ما بين منابت شعر رأسه" أي ما من
شأنه ذلك "و" "مقبل ذقنه و" عرضًا "ما بين أذنيه فمنه
الغمم" وهو ما ينبت عليه الشعر من جبهة الأغم إذ لا عبرة بنباته في غيرمحله
كما لا عبرة بانحسار شعر الناصية. "و" منه "الهدب والحاجب
والعذار" وهو الشعر النابت على العظم الناتئ بقرب الأذن ومنه البياض الذي
بينه وبين الأذن "والعنفقة" فيجب غسل جميع الوجه الشامل لما ذكره وغيره
"بشرًا" حتى ما يظهر من حمرة الشفتين مع إطباق الفم وما يظهر من أنف
المجدوع لا غير "وشعرًا" ظاهرًا وباطنًا "وإن كثف" لأن كثافته
نادرة، نعم ما خرج عن حد الوجه لا يجب غسل باطنه إن كثف، ويجب غسل جزء من ملاقي
الوجه من سائر الجوانب إذ ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب، وكذا يزيد أدنى زيادة
في اليدين والرجلين، وأفاد كلامه أن ما أقبل من اللحيين من الوجه دون النزعتين
وهما بياضان يكتنفان الناصية ودون موضع الصلع وهو ما بينهما إذا انحسر عنه الشعر
ودون موضع التحذيف وهو ما ينبت عليه الشعر من ابتداء العذار والنزعة ودون وتد
الأذن لكن يسن غسل جميع ذلك وأن يأخذ الماء بيديه جميعًا للاتباع وما مر في الشعر
محله في غير اللحية والعارض. "وشعر اللحية" الإضافة فيه بيانية إذ اللحية
الشعر النابت بمجتمع اللحيين. "وشعر العارض" الإفاضة فيه كذلك إذ هو
الشعر الذي بين اللحية والعذار "إن خف" بأن كانت البشرة ترى من خلاله في
مجلس التخاطب "غسل ظاهره وباطنه" سواء أخرج عن حد الوجه أم لا،
"وإن كثف" بأن لم تر منه البشرة كذلك "غسل ظاهره" ولا يجب غسل
باطنه للمشقة إن كان من رجل، فإن كان من امرأة أو خنثى غسل باطنه مطلقًا، ولو خف
البعض وكثف البعض فلكل حكمه إن تميز وإلا وجب غسل الكل، ولو خلق له وجهان غسلهما
أو رأسان مسح بعض أحدهما؛ لأن كلا منهما يسمى وجهًا ورأسًا. "ويستحب تخليل
اللحية الكثة" وغيرها مما لايجب غسل باطنه "بأصابعه" اليمنى "من أسفل" للاتباع.
:As\-s\a>ni>, gaslu: z}a>hiri
:al-wajhi: ai ingisa>luhu> wa kaz\a> yuqa>lu fi> sa>iri al-a’d}a>u
lil a>yati :wa h}adduhu>: t}aulan :ma> baina mana>biti sya’ri
ra’sihi>: ai ma> min sya’nihi> z\a>lika :wa: maqbala z\aqnihi>
wa ’ard}an :ma> baina uz\unaihi faminhu al-gamamu: wa huwa ma> yanbutu
‘alaihi asy-sya’ru min jabhati al-agammi iz\ la> ‘ibrata binaba>tihi>
fi> gairi mah}alihi> kama> la> ‘ibrata biinh}isa>ri sya’ri
an-na>s}iyati. :wa: minhu :al-hadabu wa al-h}a>jibu wa al-‘iz\a>ru: wa
huwa asy-sya’ru an-na>bitu ‘ala> al-‘az}mi an-na>tii biqurbi al-uz\uni
wa minhu al-baya>d}u al-lazz\i> bainahu> wa baina al-uz\uni :wa
al-‘anfaqatu: fayajibu gaslu jami>’I al-wajhi asysya>mili lama>
z\ukirahu> wa gairihi> :basyaran: h}atta> ma> yaz}haru min h}amrati
asy-syafataini ma’a it}ba>qi al-fami wa ma> yaz}haru min h}amrati
asy-syafataini ma’a it}ba>qi al-fami wa ma> yaz}haru min anfi
al-majdu>’I la> gaira :wa sya’ran” z}a>hiran waba>t}inan :wa in
kas\afa: liana kas\a>fatahu> na>diratun, na’am ma> kharaja ‘an
h}addi al-wajhi la> yajibu gaslu ba>t}inihi> in kas\ufa, wayajibu
gaslu juz-in min mula>qi> al-wajhi du>na an-naz’ataini wa huma>
biya>d}a>ni yaktafa>ni an-na>s}iyata wa du>na maud}I’I
as}-s}al’I ahuwa ma> bainahuma> iz\a> inh}asara ‘anhu asy-sya’ru wa
du>na maud}I’I at-tah}d}i>fi wa huwa ma> yanbutu ‘alaihi asy-sya’ru
min ibtida>I al-‘iz\a>ri wa an-naz’ati wa du>na watadi al-uz\uni
la>kin yusannu gaslu jami>’I z\a>lika wa an ya’khuz\a al-ma>a
biyadaihi jami>’an lil itba>’I wa ma> marra fi> asy0sya’ri
mah}aluhu fi> gairi al-lih}yati wa al-‘iz\a>ri :in khaffa: bi anka>nat
al-bisyratu tara> min khila>lihi> fi> majlisi at-takha>t}ubi
:gusila z}a>hiruhu> w aba>t}inuhu>: sawa>un akhraja ‘an h}addi
al-wajhi am la>, :wa in kas\ufa: bi an lam tara minhu al-bisyratu
kaz\a>lika :gusila z}ahiruhu>: wala> yajibu gaslu ba>t}inihi>
lil masyaqqati in ka>na min rajulin, fain ka>na min imraatin au
khuns\a> gusila ba>t}inuhu> mut}laqan, walau khaffa al-ba’d}u
wakas\ufa al-ba’d}u falikulli h}ukmuhu> in tamayyaza wa illa> wajaba
gaslu al-kulli, walau khuliqa lahu> wajha>ni gaslahuma> au ra’sa>ni
massah}}a ba’d}a ah}adihima> liana kullan minhuma> usama> wajhan wa
ra’san> :wayustah}abbu takhli>lu al-lih}yati al-kas\s\ati: wa gairiha>
mimma> la> yajibu gaslu ba>t}inihi> :bias}a>bi’ihi>:
alyumna> :min asfala: lil itba>’i.
Yang kedua, membasuh wajah, adapun
batasan panjangnya wajah adalah pada bagian diantara tumbuhnya rambut kepala kemudian
antara telinga kanan dan telinga kiri. Sesorang yang wudhu wajib membasuh semua
anggota wajah sesuai batasan yang disebut tersebut, dan jika pada dagu
seseorang terdapat rambut yang lebat, maka harus disela-sela hingga kedalam
sehingga air wudhu mengenai kulit yang tertutupi oleh rambut pada dagu
tersebut. dan jika seseorang mempunyai godek (rambut diwajah yang tumbuh
didekat telinga dan terkadang bersambung dengan rambut yang tumbuh pada dagu)
maka seseorang yang wudhu juga harus membasuh kulit yang ada dibalik rambut dan
juga membasuh rambutnya juga. Tetapi jika rambut-rambut yang tumbuh pada wajah
tersebut sangat lebat maka seseorang yang wudhu tidak perlu membasuh hingga
dalam-dalam nya karena adanya keadaan yang sulit, cukup membasuh luarnya tetapi
juga harus menyela-nyela bagian dalamnya. Tetapi jika rambut yang lebat
tersebut tumbuh pada wajah seorang perempuan atau seorang waria maka dia wajib
membasuh hingga kedalamnya, dan jika seseorang mempunyai dua wajah maka dia
hanya wajib membasuh satu wajahnya, demikian pula jika seseorang mempunyai dua
kepala maka dia hanya diwajibkan mengusap sebagian kepla yang satu saja. Dan
disunnahkan menyela-nyela jenggot yang tebal, sesuai yang tersebut tadi.
الثالث: غسل اليدين مع
المرفقين" للآية والمرفق مجتمع عظم الساعد والعضد فإن أبين الساعد وجب غسل
رأس عظم العضد. "و" يجب غسلهما مع غسل "ما عليهما" من شعر وإن
كثف وأظفار وإن طالت كيد نبتت بمحل الفرض وسلعة1 وباطن ثقب أو شق فيه، نعم إن كان
لهما غور في اللحم لم يجب إلا غسل ما ظهر منهما، وكذا يقال في سائر الأعضاء، ولو
خلق له يدان واشتبهت الزائدة بالأصلية وجب غسلهما
:As\\-s\a>lis\u, gaslu al-yadaini ma’a al-mirfaqaini: lil
a>yati wa al-mirfaqu mujtami’u ‘az}mi as-sa>’idi wa al-‘ad}di fa in
ubi>na as-sa>’idu wajaba gaslu ra’si ‘az}mi al-‘ad}di. :wa: yajibu
gasalahuma> ma’a gasli :ma> ‘alaihima>: min sya’rin wa in kas\afa wa
az}fa>rin wa in t}a>lat kaidin nabitat bimah}li al-fard}I wasal’atin w
aba>t}inin s\aqibin au syaqqin fi>hi, na’am in ka>na lahuma> gaurun
fi> allah}mi lam yajib illa> gasala ma> z}ahara minhuma>, wa
kaz\a> yuqa>lu fi> sa>iri al-a’d}a>I, walau khuliqa lahu>
yada>ni wa isytabahat az-za>idatu bi al-as}liyatti wajaba gasluhuma>.
Yang ketiga adalah membasuh kedua tangan beserta kedua
siku-siku, sebagaimana ayat bahwa siku-siku merupakan tulang tempat
berkumpulnya atau sambunya tangan dan lengan. Jika tangan seseorang putu maka
dia harus membasuh kepala tulang pada lengan. Jika pada tanagn terdapat rambut
yang lebat maka seseorang yang wudhu tersebut juga harus membasuh hingga dalam.
Jika pada tangan tersebut semacam daging yang tumbuh maka dia hanya wajib
membasuh dhahirnya saja, dan jika seseorang mempunyai dua tangan yang serupa
dengan yang asli, maka dia harus membasuh keduanya.
الرابع: مسح
شيء" وإن قل "من بشرة الرأس" كالبياض الذي وراء الأذن.
"أو" من"شعره" أو من
شعرة منه للآية مع ما صح من مسحه صلى الله عليه وسلم بناصيته وعلى عمامته1, وإنما
يجزئ مسح شعر الرأس إن كان داخلًا "في حده" بحيث لا يخرج الممسوح عن
الرأس بالمد من جهة نزوله من أي جانب كان ويجزئ غسله وبله بلا كراهة وليس الأذنان
منه وخبر: "الأذنان من الرأس"2 ضعيف.
:ar-ra>bi’u,
mash}u syaiin: wa in qalla :min basyarati ar-ra’si: kalbiya>d}i al-laz\i>
wa ra>a al-uz\uni> :au: min :sya’rihi>: au min sya’rati minhu lil
a>yati ma’a ma> s}ah}h}a min mash}ihi> s}allalla>hu ’alaihi wa
sallama bina>s}iyatihi> wa ’ala> ’ama>matihi>, wa innama>
yajziu mash}u sya’ri ar-ra’si in ka>na da>khilan :fi> h}addihi>:
bih}ais\u la> yakhruju al-mamsu>h}u ’an ar-ra’si bil maddi min jihati
nuzu>lihi> min ayyi ja>nibin ka>na wa yajziu gasluhu> wa
balluhu> bila> kara>hatin wa laisa al-uz\una>ni minhu wa khabaru
:al-uz\una>ni min ar-ra’si:
Yang
keempat, mengusap sebagian kulit kepala, walaupun sedikit, seperti kulit kepala dibelakang telinga. Atau mengusap dari
bagian rambutnya kepala. Atau juga mengusap satu rambut dari bagian kepala
sebagaimana ayat bahwasannya rasulullah SAW mengusap jambulnya pada sorbannya,
bahwasannya mengusap rambut kepala hingga kedalam-dalam bagian kepala dalam
batasan kepala tidak dimakruhkan, adapun telinga tidak termasuk anggota bagian
kepala yang wajib diusap. Walaupun ada yang mengatakan bahwa “dua telinga
merupakan bagian dari kepala”.
الخامس: غسل الرجلين مع الكعبين"
للآية وهما العظمان الناتئان عند مفصل الساق والقدم "و" مع
"شقوقهما" وغيرهما مما هو في اليدين ويجب إزالة ما يذاب في الشق من نحو
شمع.
:al-kha>misu, gaslu ar-rijlaini ma’a
al-ka’baini: lil a>yati wa huma> al-‘az}ma>ni an-na>ita>ni ‘inda
mafs}ali as-sa>qi wa al-qadami :wa: ma’a :syuqu>qihima>: wa
gairihima> mimma> huwa fi al-yadaini wa yajibu iza>lati ma> yuz\a>bu
fi> asy-syaqqi min nah}wi syam’in.
Yang kelima, membasuh kedua kaki beserta mata kedua mata
kaki. Karena sebuah ayat menyatakan bahwa dua mata kaki itu merupakan dua
tulang yang letaknya berdekatan dengan telapak kaki, serta harus membersihkan
kotoran-kotoran yang ada pada pecahan-pecahan pada kaki (kaki yang
pecah-pecah).
السادس: الترتيب" كما ذكر لأنه صلى
الله عليه وسلم لم يتوضأ إلا مرتبًا، فلو قدم عضوًا على محله لم يعتد به، ولو غسل
أربعة أعضائه معًا ارتفع حدث وجهه فقط ويكفي وجود الترتيب تقديرًا "فلو
غطس" ناويًا ولو في ماء قليل كما مر "صح وضوؤه وإن لم يمكث" زمنًا
يمكن فيه الترتيب أو أغفل لمعة3 من غير أعضاء الوضوء لحصوله تقديرًا في أوقات
لطيفة لا تظهر في الحس وخرج بغطس ما لو غسل أسافله قبل أعاليه فإنه لا يجزئ لعدم
الترتيب حسًا حينئذ ويسقط وجوبه عن محدث أجنب، ومن ثم لو غسل جنب ما سوى أعضاء
الوضوء ثم أحدث لم يجب ترتيبها، "وتجب الموالاة في وضوء دائم الحدث"
فيجب عليه أن يوالي بين الاستنجاء والتحفظ وبينهما وبين الوضوء وبين أفعاله وبينه
وبين الصلاة تخفيفًا للحدث ما أمكن، "و" يجب في كل وضوء "استصحاب
النية حكمًا" ولا يتركها قبل تمام الوضوء بأن لا يأتي بما ينافيها كردة
:as-sa>disu, at-tarti>bu: kma>
z\ukira liannahu> s}allallahu ‘alaihi wa sallama lam yatawad}d}a’ illa>
murattiban, falau qaddama ‘ud}wan ‘ala> mah}allihi> lam yu’tadda
bihi>, walau gasala arba’atun a’d}a>uhu> ma’an irtafa’a h}adas\u
wajhihi> faqat} wa yakfi> wuju>du at-tarti>bi taqdi>ran :falau
gat}asya: na>wiyan walau fi ma>in qali>lin kama> marra :s}ah}h}a
wud}u>uhu> wa in lam yamkus\: zamanan yumkinu fi>hi at-tarti>bu au
agfala lam’atan min gairi a’d}a>I al-wud}u>I lih}us}u>lihi>
taqdi>ran fi> auqa>tin lat}i>fatin la> taz}haru fi> al-h}issi
wa kharaja bi gat}asa ma> lau gasala asa>falahu> qabla a’a>li>hi
fa innahu> la> yajziu li’adami at-tirti>bi h}issan h}i>naiz\in wa
yasqut}u wuju>buhu> ‘an muh}dis\in ajnaba, wa min s\amma lau gasala
janbun ma> siwa> a’d}a>I al-wud}u>I s\umma ah}das\a lam yajib
tarti>buha>, :wa tajibu almuwa>la>tu fi> wud}u>I da>imi
al-h}adas\i: fayajibu ‘alaihi an yuwa>liya baina al-istinja>I wa
attah}affuz}I wa bainahuma> wa baina al-wud}u>I wa baina af’a>lihi>
wa bainahu> wa baina as}-s}ala>ti takhfi>fan lil h}adas\i ma>
amkana, :wa: yajibu fi> kulli wud}u>in :istis}h}a>bu an-niyati
h}ukman: wa la> yatrakuha> qabla tama>mi al-wud}u>I bi an la>
ya’ti> bima> yuna>fi>ha> kariddatin au qat}’in wa illa> ih}ta>jai
la> isti’na>fiha>, wa iz\a> ah}das\a fi. As\na>I al-wud}u>I
au qat}a’ahu> us\i>ba ‘ala al-ma>d}i> in ka>na li ‘uz\rin wa
illa> fa la..
Yang keenam, berurutan, sebagaimana disebutkan bahwa
rasulullah itu melakukan kegiatan wudlu dengan berurutan, jika seseorang
mendahulukan membasuh anggota yang lain maka basuhan tersebut tidak teritung
walaupun basuhan tersebut dilakukan sebanyak empat kali dan dilakukan secara
bersamaan, maka yang dianggap hana basuhan wajah saja. Jika seseorang menyelam
(memasukkan seluruh tubuhnya kedalam air) walaupun airnya sedikit dan seseorang
tersebut niat melakukan wudlu, maka wudlunya sah. Bagi orang yang daimul hadas maka dia harus
terus menerus dalam berwudhu. Dia juga harus terus menerus antara istinjak dan
menjaga hadas, diantara sholat dan pekerjaan-pekerjaan selain sholat.pada
setiap wudhu seseorang juga harus mengawali dengan niat, bukan menyempurnakan
wudhu dan meletakkan niat diahir.jika seseorang berhadas ditengah-tengah wudhu
atau memutus wudhunya maka dia mendapat pahala pada wudhu-wudhunya yang lalu,
tetapi jika tidak begitu maka berlaku sebaliknya.
BAB IV
ANALISIS TEKS (ISI NASKAH) DENGAN
MENGGUNAKAN PENDEKATAN TASAWUF
Dalam analisis ini penulis akan
mendeskripsikan terlebih dahulu mengenai fardlunya wudlu yang terdapat dalam
teks al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah
al-Hadlramiyyah dan model wudlu menurut imam ghazali dalam kitabnya yang
berjudul bidayatul hidayah. Kemudian penulis akan mengemukakan bagaimana
hubungan spiritual yang terkandung dalam setiap gerakan atau basuhan yang
dilakukan ketika wudlu menurut pemikiran imam Ghazali.
A. Mendeskripsikan
model ritual wudlu sesuai yang terdapat dalam teks yang berjudul al-minha<j
al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah
Dalam teks tersebut dijelaskan
bahwasannya fardlunya wudlu itu ada 6, dan model ritual wudlunya adalah sebagai
berikut:
1. niat
Niat
ini dilakukan ketika membasuh wajah pada basuhan pertama, niat dilakukan
didalam hati.
2. membasuh wajah
Wajah
yang harus dibasuh adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut pada jidat hingga
dagu, ukuran lebarnya adalah pentilnya telinga kanan hingga pentilnya telinga
kiri.
3. membasuh kedua tangan beserta siku-siku
Ketika
membasuh kedua tangan maka kedua siku-siku pun harus ikut dibasuh, karena
siku-siku termasuk bagian tangan yang merupakan anggota wudhu.
4. mengusap sebagian kepala
Ketika
mengusap sebagian kepala maka kulit kepala yang harus terusap, tidak hanya
sekedar mengusap rambut. Tapi kulit kepala yang harus diusap.
5. membasuh kedua kaki beserta mata
kaki
Ketika
membasuh kedua kaki maka mata kaki juga harus ikut terbasuh. Karena mata kaki
termasuk bagian dari kaki, karena dekat dengan telapak kaki dan punggung kaki.
6. tertib/berurutan
Yang
dimaksud berurutan adalah, berurutan dalam melakukan ritual wudhu mulai dari
niat hingga membasuh kedua kaki hingga mata kaki.
Dalam teks tersebut telah dijelaskan
model wudlu sebagaimana yang kita lakukan seperti biasa pada anggota-anggota
tubuh yang bisa dilihat oleh mata. Dan anggota wudlu (yang wajib dibasuh/diusap
saat wudlu) adalah anggota-anggota badan yang dhahir (dapat dilihat oleh mata).
Dan hanyalah sekedar membasuh ataupun mengusap yang bermakna secara dhahir
saja.
B. Mendeskripsikan
model ritual wudlu menurut imam ghazali sebagaimana yang disebutkan dalam kitab
bida>yah al-hida>yah
Model ritual wudlu menurut imam ghazali
adalah sebagaimana berikut:[12]
1. Sebelum wudhu, bersiwak terlebih dahulu.
2. Kemudian duduk untuk berwudhu, lalu mengucapkan basmalah
3. Kemudian mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali sebelum
memasukkan ke dalam wadah.
4. Kemudian berniat menghilangkan hadas atau untuk tujuan
dibolehkan shalat. Niat ini harus tetap ada sampai membasuh wajah
5. Lalu menciduk air dengan tangan untuk dimasukkan ke mulut, terus
berkumur sebanyak tiga kali. Boleh berlebih-lebihan dalan berkumur dan
kenghirup air, kecuali jika sedang dalam berpuasa.
6. Kemudian menciduk air untuk dimasukkan ke hidung, lalu
dikeluarkan kembali.
7. Kemudian menciduk air dan dibasuhkan wajah, mulai dari daerah
pangkal hingga ujung dagu, dan dari telinga yang satu ke telinga yang lainnya.
tidak wajib membasuh naz’ataini karena itu bagian kepala. Tapi wajib membasuh
bagian wajah yang oleh wanita sering digunakan untuk menjauhkan rambut dari
wajah dan wajib mengalirkan air ke tempat bagian wajah yang ditumbuhi rambut.
Wajib pula membasuh bagian depan wajah apabila jenggotnya tipis. Hukum membasuh
rambut yang tumbuh di antara bibir bawah dalam masalah ketebalannya sama dengan
jenggot, dan memasukkan jari-jari kelekuk-lekuk kulit di bagian mata dan
membersihkan kelopak mata.
8. Kemudian membasuh kedua tangan hingga siku sebanyak tiga kali,
dan menggerak-gerakkan cincin dan membasuh tiap-tiap bagian yang wajib dengan
melebihkan basuhannya
9. Kemudian mengusap kepala dengan cara kedua telapak tangan
dibasahi, lalu ujung jari kanan disentuhkan ke ujung jari kiri. Setelah itu,
kedua tangan diletakkan di ujung kepala, lalu di tarik ke bagian belakang dan
dikembailkan ke depan.
10. Mengusap kedua telinga bagian luar dan dalam dengan air yang
baru.
11. Kemudian mengusap leher
12.Kemudian membasuh kaki sebelah kanan sebanyak tiga kali dengan
memasukkan jari kelingking tangan kiri ke celah-celah jari kaki sebelah kanan
dari arah bawah, di mulai dari jari kelingking kaki kanan dan berakhir pada
jari kelingking kaki kiri.
13. Kedua kaki dibasuh hingga pertengahan betis.
C. Spiritualitas
Wudhu Menurut Imam al-Ghazali
Bersuci secara lahiriyah merupakan
bersuci dari hadas, najis ataupun kotoran yang melekat pada tubuh, pakaian,
maupun tempat tinggal. Bersuci bisa dilakukan dengan berwudhu, mandi, dan juga
tayammum. Adapun bersuci secara batiniyah merupakan membersihkan hati dari
akhlaq tercela, dari perbuatas dosa, dan juga kesalahan-kesalahan.
Menurut al-Ghazali, bersuci tidak
sekedar mencuci anggota badan. Namun ada empat tahap, yaitu membersihkan
jasmanai dari hadats, membersihkan anggota badan dari kejahatan dan perbuatan
dosa, membersihkan hati dari akhlaq tercela dan membersihkan batin dari selain
Allah.[13]
Bersih lahiriyah adakalanya bersih
dari hadas kecil, yakni dengan berwudlu atau tayammum. Adakalanya bersih dari
hadas besar (junub, haidl, dan nifas) yakni dengan mandi. Pelaksanaaan wudlu,
tayammum dan mandi harus melalui tata cara tertentu yang telah ditentukan
syara’, baik yang bersifat wajib maupun sunnah. Bahkan al-ghazali memberi
tuntutan agar memberikan tambahan berupa keutamaan-keutamaan (fadhilah) dalam
setiap amal, yakni dengan menghindari perkara-perkara yang dimakruhkan
(dibenci). Ia mengatakan bahwa hendaknya selalu berdoa setiap membasuh anggota
badan.[14]
Al-Ghazali menekankan agar tidak
menyepelekan amalan-amalan sunnah, karena amalanamalan sunah akan menutup
kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan amalan wajib. Selain itu, jika sering
menyepelekan amalan sunah, maka bukan tidak mungkin akan menyepelekan
amalan-amalan wajib.[15]
Dalam kitab bidayah al-hidayah imam
ghazali menyatakan bahwa setiap selesai membasuh dan mengusap setiap anggota
wudhu dianjurkan membaca doa, dengan do’a-do’a yang berbeda-beda. Sebelum wudhu
juga dianjurkan menggosok gigi, kemudian membasuh muka, secara spiritual
membasuh muka bukan hanya sebatas membasuh wajah dengan batasan-batasan
tertentu, tetapi menurut imam ghazali bahwa membasuh muka itu berarti membuat
wajah menjadi cerah karena penuh dengan cahaya dihari ahir nanti, sebagaimana
disebutkan pada do’a setelah membasuh muka, adapun do’anya sebagaiamana
berikut.
اللّهُمَّ
بَيِّضْ وَجْهِي بِنُورِكَ يَوْمَ تُبَيِّضُ وُجُوهَ أَوْلِيَآئِكَ وَلَا
تُسَوِّدُ وَجْهِيْ يَوْمَ تَسْوَدُّ وُجُوْهَ أَعْدَائِكَ.[16]
“Ya allah,
cerahkanlah wajahku dengan cahayamuu pada hari kala engkau mencerahkan
wajah-wajah para walimu, dan janganlah hitamkan wajahku pada hari kala Engkau
menghitamkan wajah-wajah para musuhmmu.”
Kemudian membasuh tangan menurut paradigma imam ghazali
adalah adanya harapan agar dicatat amalnya pada tangan kanan dan diberi
keringanan ketika dihisab. Serta diberi perlindunga atas cacatan amal pada
tangan kiri seseorang yang melakukan wudhu.[17] Kemudian
ketika membasahi sebagian kepala disitu juga punya pengertian air tersebut bisa
melindungi dari api-api neraka agar tidak membakar rambut seseorang yang
berwudhu.[18]
Karena sebagaimana kita ketahui bahwa api hanya bisa padam dengan air.
Dan basuhan pada fardhunya wudhu yang terahir adalah membasuh kedua
kaki, menurut imam ghazali membasuh kaki bukan hanya membasuh kaki secara
dhahir saja, tapi dengan basuhan wudhu tersebut nantinya bisa memydahkan
seseorang yang berwudhu dalam melewati atau menyeberangi penyeberang diatas api
neraka.[19] Itulah
beberapa paradigm imam ghazali pada basuhan-basuhan ketika wudhu. Bahkan
menurut imam ghazali sebagaimana yang penulis sebutkan diatas, bahwa berwudu
(bersuci) bukan hanya membersihkan anggota-anggota dhohir saja, tetapi juga
membersihkan batin seseorang agar menjadi pribadi yang lebih bersih hatinya
dari berbagai penyakit hati, seperti: riya’, dengki, dan lain-lain.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari analisis yang
penulis lakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagaimana berikut:
1. teks al-minha<j al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah
al-Hadlramiyyah pada fasal fardhunya wudhu mendeskripsikan bagian-bagian
atau anggota wudhu yang wajib dibasuh dan diusap saat wudhu
2. teks al-minha<j
al-Qawi>m syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah bisa dikorelasikan dengan
teks yang terdapat pada kitab bidayah al-hidayah, karena keduanya
merupakan teks yang membahas mengenai fiqih, tetapi bidayah hidayah
lebih kepada fiqih tasawuf berdasarkan paradigma imam Ghazali.
3. Menurut imam
ghazali basuhan-basuhan yang dilakukan saat wudhu, bukan hanya membasuh
anggota-anggota yang tampak secara dhahir, tetapi memunyai makan spiritual
bahwa basuhan-basuhan pada wudhu juga merupakan perkara membasuh hati dan juga
pikiran.
B. Saran
Dalam analisis yang penulis lakukan
ini kiranya masih banyak sekali kekurangan, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca agar penelitian ini bisa dilakukan
dengan lebih baik lagi kedepannya. Dan perlu diketahui bagi para peneliti
selanjutnya, bahwa banyak sekali metode-metode dan pendekatan-pendekatan yang
bisa digunakan dalam mengkaji fiqih-fiqih ibadah ataupun fiqih tasawuf,
sehingga semoga untuk para peneliti selanjutnya diharapkan mampu
mengkorelasikan teks-teks kuno yang berisi ilmu agama dengan teks-teks kontemporel.
Sehingga mampu menjadikan teks beserta isinya menjadi relevan dimasa yang
semakin global dan modern ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-Buku bahasa Indonesia
‘Abd al-‘Aziz
Umri>, Zaenab Syi’r al-‘Aqqa>d (Kairo, Maktabah Syaba>b, t.t)
al-ghazali, bimbingan mencapai
hidayah, alih bahasa Ahmad sunarto, (Jakarta:pustaka Amani)
haryanto, Sentot, psikologi shalat:
kajian aspek-aspek psikologi ibadah shalat, (Yogyakarta:mitra pustaka,2002),
Robson, Prinsip-prinsip
Filologi Indonesia (Jakarta : Pusat Pembinaan Bahasa dan Universitas
Leiden, 1994),
Saputra, Karsono
H, Pengantar Filologi Jawa (Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra, 2008)
Teeuw, A, Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar
Teori Satra ( Jakarta, Pustaka Jaya, 1984)
Tjandrasasmita,
Uka, Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia (
Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Libang dan Diklat Departemen RI,
2006)
2. Buku-Buku
Bahasa Arab
الإمام أبي حامد محمّد بن محمّد الغزالي، بداية الهداية، (جاكرتا :
دار الكتب الإسلامية، 2010)
[1] الإمام أبي
حامد محمّد بن محمّد الغزالي، بداية الهداية، (جاكرتا : دار الكتب
الإسلامية، 2010)، ص. 21-26
[2]
Zaenab ‘Abd al-‘Aziz Umri>, Syi’r al-‘Aqqa>d (Kairo,
Maktabah Syaba>b, t.t), 129.
[3] Lewat A.Teeuw, Sastra
dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Satra ( Jakarta, Pustaka Jaya, 1984),
hlm.49- 50.
[4] Robson, Prinsip-prinsip Filologi Indonesia (Jakarta : Pusat
Pembinaan Bahasa dan Universitas Leiden, 1994), hlm. 22.
[5] Karsono H. Saputra, Pengantar Filologi Jawa (Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra, 2008) hlm. 81
[6] Ibid, hlm.82-83.
[7]
Lihat Uka Tjandrasasmita, Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia (
Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Libang dan Diklat Departemen RI,
2006) hlm. 27.
[8] Teks asal sebelum dikasih syarah (penjelasan)
[9] Bahasa
arab Fush<}a> sering
dilawankan dengan bahasa Arab ’A>miyah atau bisa dikatakan bahsa Arab
Fusha adalah bahasa Arab resmi yang diapakai dalam forum resmi dan bahasa Arab ’A<miyah
adalah bahasa Arab yang dipakai dalam percakapan keseharian dan sesuai dengan daerah masing-masing.
[10] Syarah berarti penjelasan yang panjang
mengenai isi kitab tersebut
[11] Matan berarti isi di dalam kitab tersebut sebelum diberi
syarah, dan matan dalam kitab aslinya ditulis dengan tinta warna merah
[12] الإمام أبي
حامد محمّد بن محمّد الغزالي، بداية الهداية، (جاكرتا : دار الكتب
الإسلامية، 2010)، ص. 21-26
[13]
Sentot haryanto, psikologi shalat: kajian aspek-aspek psikologi ibadah shalat,
(Yogyakarta:mitra pustaka,2002), hlm 173
[14]
Al-Ghazali, bidayah al-hidayah…, hlm. 14-22. Lihat juga al-ghazali, bimbingan
mencapai hidayah, alih bahasa Ahmad sunarto, (Jakarta:pustaka Amani), hlm 22-30
[15]
Ibid, hlm.21. lihat juga dalam al-Ghazali, bimbingan mencapai…, hlm.32
[16]
Al-Quran 3:6
[17]
Dikutib dari do’a setelah wudhu yang ditulis oleh imam ghazali pada kitab
bidayah al-hidayah.
[18]
ibid
[19]
Dikutib dari do’a setelah wudhu yang ditulis oleh imam ghazali pada kitab bidayah
al-hidayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar