Minggu, 22 November 2015

Analisis Hadis al-Tirmidzi (Study hadits)

ANALISIS HADIS AL-TIRMIDZI
“NAFKAH BANGUNAN YANG TIDAK MENDAPAT PAHALA”
A. Pendahuluan
            Setiap agama pasti memiliki sumber ajaran, demikian pula agama islam, agama islam merupakan agama dengan menggunakan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber ajarannya. al-Qur’an (firman Allah) yang dicatat dalam mushaf, dan sunnah Rasulullah (petunjuk Muhammad Rasulullah dalam melaksanakan al-Qur’an) yang dicatat dalam kitab-kitab Hadits. Adanya Hadits adalah merupakan sumber ajaran kedua setelah al-Qur’an, karena tidak semua maksud ajaran agama disampaikan secara rinci dalam al-Qur’an, yang justru membutuhkan Hadits untuk menjelaskan lebih rinci lagi. Apalagi semakin berkembang kehidupan yang dilalui manusia, oleh karena itu banyak sekali fenomena-fenomena yang dihadapi masyarakat muslim yang berhubungan dengan syari’at agama dan membutuhkan hadits untuk memecahkannya.  Adapun untuk menganalisa sebuah hadits lebih dalam lagi maka dalam hal ini diperlukan ilmu Hadits.
            Ilmu hadis atau ulumul hadis adalah ilmu yang membahas tentang pokok-pokok dan kaidah-kaidah yang dapat digunakan untuk mengetahui keadaan-keadaan sanad dan matan suatu hadis dari segi diterima dan ditolak.[1] Dengan ilmu hadis maka sebuah hadis bisa dikupas dan dikaji, untuk menetahui keadaan sanad maupun matan hadis. adapun dalam hal ini penulis akan mengkaji matan (lafadz-lafadz hadits yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu)[2] hadits tersebut dari beberapa kajian, yaitu: kajian linguistic, kajian tematis komprehensif, kajian konfirmatif, analisis realitas historis, analisi generalisasi, dan memberikan kritik praksis terhadap hadits tersebut.
            Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat membawa dunia pada sebuah era yang disebut dengan era globalisasi, dan di era globalisasi inilah masyarakat semakin berkembang sehingga banyak pula problematika syari’at umat islam yang kurang relevan dengan sumber ajaran utama, yaitu al-Qur’an, oleh karena itu disinilah hadis sangat berperan dan mencoba menjabarkan serta merelevansikan hokum al-Qur’an dengan yang ada di dalam hadits. Disinilah penulis akan mengkaji sebuah hadis nabi dari kitab Al-Tirmidzi bab “semua infaq merupakan fi sabilillah, kecuali berinfaq untuk mendirikan bangunan” adapun bunyi hadisnya sebagai berikut:
 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْدٍ الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا زَافِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ شَبِيبِ بْنِ بَشِيرٍ هَكَذَا قَالَ شَبِيبُ بْنُ بَشِيرٍ وَإِنَّمَا هُوَ شَبِيبُ بْنُ بِشْرٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّفَقَةُ كُلُّهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا الْبِنَاءَ فَلَا خَيْرَ فِيهِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ
Hadis tersebut akan penulis kaji dengan meggunakan beberapa kajian seperti yang telah disebutkan.
            Allah telah menjanjikan pahala atau balasan kepada setiap makhluk yang melakukan kebaikan, seperti halnya berinfaq, sebagaimana yang telah disebutkan pada hadits diatas, bahwa semua infaq itu dijalan allah, kecuali bangunan yang bermegah-megah dan tidak digunakan untuk kebaikan, maka tidak ada balasan atau pahala atasnya. Disini penulis akan mencoba menganalisa hadis tersebut dengan kajian-kajian sebagai berikut, sehingga hadis tersebut masih bisa relevan dengan kehidupan di zaman sekarang ini.
B. Langkah-langkah memahami hadits Al-Tirmidzi, no.2406, bab Shifah al-Qiyamah wa al-Raqaiq wa al-Wara’ ‘an Rasul Allah
1. Kajian Linguistik
            Linguistik merupakan ilmu yang mengkaji bahasa, dalam hal ini penulis akan mengkaji mengenai bahasa yang digunakan dalam hadits tersebut. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sumber ajaran kita yakni al-Qur’an dan Hadis telah menggunakan bahasa Arab sebagai sarana bahasanya, oleh karena itu penulis akan mencoba menganalisa hadis tersebut dari segi linguistiknya. Dalam kajian linguistic terbagi menjadi 2, yaitu: mikrolinguistic yang mengkaji bahasa dari unsur-unsur internal bahasa itu sendiri, seperti: fonologi (ilmu al-Ashwat), morfologi (ilmu al-sharf), sintaksis (ilmu nahwu), dan juga semantic. Kemudian kajian linguistic yang kedua adalah makrolinguistik yang mengkaji bahasa dari unsur eksternal suatu bahasa, adapun cabang-cabang ilmunya yaitu: sosiolinguistic, psikolinguistik, dan lain-lain.[3] Adapun dalam kajian hadits ini, penulis akan mengkaji linguistic dari segi mikrolinguistiknya saja, supaya pembaca bisa memahami hadist tersebut sesuai dengan yang dimaksud hadits tersebut diatas.
            Bahasa merupakan obyek dari kajian semantic, sebagaimana yang tertera diatas dan yang telah kita ketahui bahwa bahasa arab adalah bahasa yang digunakan dalam menulis Hadis, oleh karena itu membutuhkan ilmu semantic untuk mengetahui makna-makna dibalik bahasa tersebut, agar maksud dari hadis tersebut bisa sampai atau dapat diterima oleh orang lain atau masyarakat muslim yang kurang mengetahui makna dibalik hadis tersebut. adapun makna-makna nya akan dianalisis sebagai berikut:
النَّفَقَةُ كُلُّهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا الْبِنَاءَ فَلَا خَيْرَ فِيهِ            Lafadz النَّفَقَةُ  merupakan mashdar dari lafadz نَفَقَ – يَنْفَقُ yang berarti biaya, belanja, pengeluaran uang.[4] Jadi yang dimakksud nafkah/infaq pada hadis tersebut adalah membelanjakan harta/ mengeluarkan uang. Adapun dalam mu’jam al-Wasith dijelaskan bahwa  lafadz النَفَقَةُ  adalah isim dari kata "الإِنْفَاقُ" yang berarti sesuatu yang dibelanjakan, baik berupa dirham ataupun semisalnya, dan juga bermakna bekal, juga bermakna sesuatu yang menjadi hak seorang isteri atas suaminya baik berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, maupun yang lainnya.[5] Kemudian lafadz فِي سَبِيْلِ اللهِ  yang bermakna dijalan Allah. Ibnu Atsir menyatakan, bahwa sabil makna aslinya adalah al-thariq (jalan). Sabilillah adalah kalimat yang bersifat umum mencakup segala amal perbuatan ikhlas, yang dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan segala perbuatan wajib, sunat, dan berbagai macam kebaikan lainnya.[6] Sedangkan makna kalimat سَبِيْلِ اللهِ dalam mu’jam al-Wasith adalah jihad, haji, menuntut ilmu, dan segala sesuatu yang diperintahkan Allah dalam hal kebaikan.[7]
            Kemudian lafadz البِنَاءَ  dalam kamus hans wehr merupakan isim dari fi’il madzi بَنَى kemudian memunculkan lafadz البِنَاء yang bermakna building (bangunan), construction (konstruksi pekerjaan), dan erection (pemancangan).[8] Dan dalam mu’jam al-wasith juga bermakna sesuatu/apa-apa yang dibangun (البِنَاء --- البُنْيَان : مَا بُنِيَ)[9]. Dari kata-kata yang sudah diketahui maknanya tersebut maka hadis tersebut dapat diartikan : “Semua infak itu dijalan allah/perbuatan baik, kecuali infak bangunan maka tidak ada kebaikan didalamnya”. Adapun lafadz bangunan tersebut mengandung makna bangunan yang megah melebihi kebutuhan dan tidak digunakan untuk ketaatan, sebagaimana yang dijelaskan pada kitab tuhfatul ahdzawi syarah dari sunan Tirmidzi, ang lafadznya sebagai berikut.
( النَّفَقَةُ كُلُّهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ) أَيْ فَيُؤَخِّرُ الْمُنْفَقَ عَلَيْهَا ( إِلَّا الْبِنَاءَ ) أَيْ إِلَّا النَّفَقَةَ فِي الْبِنَاءِ ( فَلَا خَيْرَ فِيهِ ) أَيْ فِي الْإِنْفَاقِ فِيهِ فَلَا أَجْرَ فِيهِ ، وَهَذَا فِي بِنَاءٍ لَمْ يُقْصَدْ بِهِ قُرْبَةٌ أَوْ كَانَ فَوْقَ الْحَاجَةِ.
dan bangunan yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah semua jenis bangunan, baik bangunan rumah, masjid, pasar, ataupun yang lainnya.
2. Kajian tematis komprehensif
            Hadis diatas menjelaskan bahwa semua infak merupakan fi sabilillah, kecuali berinfak untuk mendirikan bangunan, maka tentu tidak ada balasan baginya. Dalam syarah Sunan Tirmidzi “tuhfatul Ahwadzi” disebutkan bahwa yang dimaksud bangunan tersebut adalah bangunan yang dibangun tidak untuk mendekatkan diri kepada Allah dan tidak untuk kebutuhan[10]. Adapun dalam kitab ensiklopedia Jami’ at-Tirmidzi disebutkan, yang dimaksud bangunan tersebut adalah bangunan megah melebihi kebutuhan dan tidak digunakan untuk ketaatan.[11] tentu tidak ada balasan pahala padanya. Olehkarena itu dapat diambil kesimpulan bahwa sebagai umat muslim hendaknya tidak berlebihan dalam membuat bangunan dan tidak bermegah-megahan kalau tidak digunakan untuk ketaatan. Adapun ada beberapa hadits lain yang berhubungan dengan hadis yang bersangkuta. Adapun bunyi hadis-hadisnya adalah sebagai berikut:
2480- حَدَّثنا الجارود: حَدّثنا الفضلُ بْنُ مُوسى عَنْ سُفْيَان الثَّوْرِي، عَنْ أَبِي حَمْزَةَ، عَنْ إبْراهِيمَ النَّخَعِيِّ قَالَ : كُلُّ بِنَاءٍ وَبَالٌ عَليْكَ، قُلْتُ أَرَأَيْتَ مَالَا بُدَّ مِنْهُ؟ قَالَ : لَا أَجْرَ وَلَا وِزْرَ.[12]
2480- Artinya: al-Jarut menyampaikan kepada kami dari al-Fadhil bin musa, dari sufyan ats-Tsauri, dari Abu Hamzah bahwa Ibrahim an-Nakha’I berkata, “seluruh bangunan (megah yang melebihi kebutuhan dan tidak digunakan untuk ketaatan) akan mendatangkan malapetaka bagimu (pada hari kiamat).” Aku (Abu Hamzah) bertanya, “Bagaimana menurutmu jika bangunan megah itu memang diperlukan?” Dia menjawab, “Tidak ada pahala maupun dosa bagi pemiliknya”.
Hadis ini mempunyai maksud yang sama dengan hadis yang dikaji oleh penulis, yaitu sama-sama larangan berlebihan dan bermegah-megahan dalam hal bangunan. Bangunan yang disampaikan pada kedua hadis tersebut tidak dijelaskan secara rinci dalam hadis, oleh karena itu penulis menyimpulkan yang dimaksud bangunan pada kedua hadis tersebut adalah semua jenis bangunan, baik bangunan rumah, masjid, ataupun bangunan yang lainnya, karena meskipun bangunan masjid allah juga melarang untuk bermegah-megahan kalau itu tidak digunakan untuk beribadah, karena bermegah-megahan hanya akan memubadzirkan sesuatu. Dan bermegah-megahan hanya akan menyia-nyiakan harta saja, dan dalam hal ini disebutkan dalam Hadis imam muslim, sebagai berikut:
3236- عَنْ أَبِي هُرَيْرَة قالَ: قَالَ رَسولُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَميْعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ.[13]
Artinya: Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai bagimu tiga perkara dan membenci tiga perkara; Dia menyukai kalian bila kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kalian berpegang teguh dengan agama-Nya dan tidak berpecah belah. Dan Allah membenci kalian dari mengatakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya (qiila wa qaala), banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.” (HR Muslim 3236)
Larangan berlebihan dan bermegah-megahan juga terdapat pada bangunan masjid, hendaknya tidak berlomba-lomba membangun masjid dengan mewah, tetapi jama’ahnya sedikit, karena yang terpenting adalah orang yang mau beribadah di masjid, bukan berlomba-lomba dalam bermegah-megah dalam bangunannya, hal ini terdapat pada hadis berikut:
Hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, ia berkata,
1613- نَهَى رسولُ الله صلى الله عليه و سلم أنْ يَتَبَاهَى النَّاس فِي المْسَاجِدِ
Artinya: “Rasulullah SAW telah melarang manusia berbangga-bangga dengan bangunan masjid”. (hadis Shahih Riwayat Imam Ibnu Hibban Rahimahullah, no.1613)
Lalu dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
789- "مِنْ أشْرَاطِ السَّاعَةِ أنْ يَتَبَاهَى النَّاس في المَسَاجِدِ"
Artinya: “Salah satu tanda hari kiamat adalah manusia berbangga-bangga dengan bangunan masjid”. (Hadis Shahih riwayat Imam an-Nasa’I Rahimahullah, no.689 dari Anas bin Malik RA).
Dan beliau SAW juga bersabda, sebagai berikut:
2817- "يَأْتِي عَلَى أُمَّتِي زَمَانٌ يَتَبَاهون بِالْمَسَاجِد ولا يُعَمِّرُونَها إلَّا قَلِيْلاً"
Artinya: “Akan datang suatu zaman atas manusia yang pada zaman itu mereka berbangga-bangga dengan bangunan masjid, mereka tidak memakmurkannya kecuali sedikit saja”. (Hadis riwayat imam Abu Ya’la Rahimahullah, no.2817 dari anas bin Malik RA dan menurut Syeikh husein Salim hasan sanadnya adalah Hasan).
Sementara yang lebih penting daripada itu adalah memakmurkan masjid, yaitu yang disebut dengan Syi’ar Islam, yakni menjadikan peran masjid lebih luas lagi dengan menyebarkan syi’ar islam sebagaimana yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasulnya.
Adapun (tentang dibencinya) menyia-nyiakan harta itu  ada di hadits muttafaq ‘alaih, karena hal itu tidak bermaslahat bagi agama maupun dunia. Hal itu dilarang, karena Allah Ta’ala menjadikan harta-harta itu sebagai kekuatan untuk kemaslahatan hamba-hamba. Sedang penghamburannya (tabdzir) itu menghilangkan maslahat-maslahat, baik dalam hak pelaku yang menyia-nyiakan harta ataupun dalam hak orang lain.
حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ خَالِدِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ QS Al-Israud nafkah/infaq pada hadis tersebbut adalah membelanjakan harta. if, 1997), hlm.1449أَتَى رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي ذُو مَالٍ كَثِيرٍ وَذُو أَهْلٍ وَوَلَدٍ وَحَاضِرَةٍ فَأَخْبِرْنِي كَيْفَ أُنْفِقُ وَكَيْفَ أَصْنَعُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُخْرِجُ الزَّكَاةَ مِنْ مَالِكَ فَإِنَّهَا طُهْرَةٌ تُطَهِّرُكَ وَتَصِلُ أَقْرِبَاءَكَ وَتَعْرِفُ حَقَّ السَّائِلِ وَالْجَارِ وَالْمِسْكِينِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقْلِلْ لِي قَالَ فَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا فَقَالَ حَسْبِي يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا أَدَّيْتُ الزَّكَاةَ إِلَى رَسُولِكَ فَقَدْ بَرِئْتُ مِنْهَا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِذَا أَدَّيْتَهَا إِلَى رَسُولِي فَقَدْ بَرِئْتَ مِنْهَا فَلَكَ أَجْرُهَا وَإِثْمُهَا عَلَى مَنْ بَدَّلَهَا
(AHMAD - 11945) : Telah menceritakan kepada kami Hasyim Ibnul Qasim berkata, telah menceritakan kepada kami Laits dari Khalid bin Yazid dari Sa'id bin Abu Hilal dari Anas bin Malik bahwasanya ia berkata; "Seorang laki-laki dari bani Tamim mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki uang yang banyak, memiliki keluarga, anak dan kota. Maka kabarkanlah kepadaku bagaimana aku harus berinfaq dan bagaimana aku harus berbuat?" maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Engkau keluarkan zakat dari hartamu karena hal itu akan mensucikan hartamu dan kebaikan untuk kerabatmu. Dan pahami juga hak peminta, tetangga dan orang-orang miskin." Lalu ia berkata; "Wahai Rasulullah, sedikitkanlah untukku, " beliau bersabda: "Berikanlah hak kerabat, orang miskin, ibnu sabil dan jangan berlaku mubadzir." Ia berkata; "Telah cukup bagiku wahai Rasulullah, jika aku berikan zakat kepada utusanmu maka aku telah berlepas diri dari kewajiban itu untuk Allah dan Rasul-Nya." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ya, jika engkau berikan zakat itu kepada utusanku maka engkau telah berlepas diri darinya. Dan engkau akan mendapatkan pahala sedang dosanya adalah bagi orang yang menggantinya."
Dalam hadis lain juga disebutkan:
3118- حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا أَبُو زُبَيْدٍ حَدَّثَنَا حُصَيْنٌ عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ الْمُرَّانِ الْإِمْسَاكُ فِي الْحَيَاةِ وَالتَّبْذِيرُ عِنْدَ الْمَوْتِ قَالَ أَبُو مُحَمَّد يُقَالُ مُرٌّ فِي الْحَيَاةِ وَمُرٌّ عِنْدَ الْمَوْتِ
(DARIMI - 3118) : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Abu Zubaid telah menceritakan kepada kami Hushain dari Ibrahim At Taimi dari Ayahnya ia berkata; Abdullah berkata, "Ada dua kepahitan; kikir saat masih hidup dan foya-toya saat kematian." Abu Muhammad berkata, "Dikatakan kepahitan ketika hidup dan kepahitan ketika meninggal dunia."
Dalam hadits shahih, Allah membenci orang yang menyia-nyiakan harta:
3236- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ   قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ
Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai bagimu tiga perkara dan membenci tiga perkara; Dia menyukai kalian bila kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kalian berpegang teguh dengan agama-Nya dan tidak berpecah belah. Dan Allah membenci kalian dari mengatakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya (qiila wa qaala), banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.” (HR Muslim 3236)
            Itulah beberapa hadis yang penulis temukan, yang masih berhubungan dengan maksud hadis yang dianalisis oleh penulis.
3. Kajian konfirmatif
            Kajian konfirmatif yaitu mengkonfirmasikan makna hadis dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an sebagai sumber tertinggi ajaran. Hadis sebagai sumber ajaran kedua setelah al-Qur’an, tentunya setiap hokum yang dijelaskan pada hadis juga ada kaitannya dengan hokum yang dijelaskan dalam al-Qur’an,[14] sebagaimana hadis yang dikaji oleh penulis ini. Berinfaq memang dianjurkan dan semua infaq itu dijalan Allah, sebagaimana firmanNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلَّا أَن تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ   (267)
Artinya“Hai orang-orang yang beriman, Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamusendiri tidakmau mengambilnya melainkan  dengan melincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267)

لَن تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (92)
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan,  maka sesunguhnya Allah mengetahuinya. ” (Q.S. Ali Imran (3): 92)

مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (261)
Artinya:“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2): 261)
Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah. Itulah bahwa semua nafkah itu fi sabilillah, kecuali bangunan yang bermegah-megahan, dan tidak digunakan untuk ketaatan. Karena sesuatu yang bermegah-megahan itu awal dari menghambur-hamburkan harta, dan Allah tidak menyukai hal itu, sebagaimana firman Allah:
وَآَتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا  [الإسراء/26، 27]
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros (26). Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS Al-Isra’/ 17: 26, 27).
Dan bermegah-megahan juga awal dari munculnya sifat riya’ atau pamer, dan Allah juga sangat membenci orang yang riya’
Firman Allah SWT :
يـاَيــُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا لاَ تُـبْطِلُوْا صَدَقَاتِكُمْ بِاْلمَنِّ وَاْلاَذى كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَا لَه رِئَآءَ النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلاخِرِ، فَمَثَلُه كَـمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَـيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَه وَابِلٌ فَتَرَكَه صَلْدًا، لاَ يَـقْدِرُوْنَ عَلى شَيْئٍ مِمَّا كَسَبُوْا، وَ اللهُ لاَ يَـهْدِى اْلـقَوْمَ اْلكـفِرِيـْنَ. البقرة:264
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (pera-saan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya' kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. [Al-Baqarah : 264]
... وَ اَعْتَدْنـَا لِلْكَافِرِيـْنَ عَذَابًـا مُّهِيْنًا. وَ الَّذِيـْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ رِئَآءَ النَّاسِ وَ لاَ يُؤْمـِنُوْنَ بِاللهِ وَ لاَ بِاْلـيَوْمِ اْلاخِرِ، وَ مَنْ يَّكُنِ الشَّيْطَانُ لَه قَرِيـْنًا فَسَآءَ قَرِيـْنًا. النسآء:37-38
.... Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya' kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya. [An-Nisaa' : 37-38]
اِنَّ اْلمُنَافِـقِـيْنَ يُخدِعُوْنَ اللهَ وَ هُوَ خَادِعُهُمْ، وَ اِذَا قَامُوْآ اِلىَ الصَّلوة قَامُوْا كُسَالى يُرَآءُوْنَ النَّاسَ وَ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ اِلاَّ قَـلِـيْلاً. النسآء:142
Sesungguhnya orang-orang Munafiq itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. [An-Nisaa' : 142]
اَرَءَيـْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيـْنِ، فَذلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ اْلـيَـتِـيْمَ، وَ لاَ يَحُضُّ عَلى طَعَامِ اْلمِسْكِـيْنِ، فَوَيـْلٌ لِّلْمُصَلِّـيْنَ، اَلــَّذِيـْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِـهِمْ سَاهُوْنَ، اَلــَّذِيـْنَ هُمْ يُرَآءُوْنَ، وَ يَمْنَـعُوْنَ اْلمَاعُوْنَ. الماعون:1-7
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama ? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya'. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. [Al-Maa'uun : 1-7]
4. Analisis Realitas Historis
            Dalam tahap ini makna atau arti suatu pernyataan dipahami dengan melakukan kajian atas realitas, situasi atau problem historis dimana pernyataan sebuah hadis muncul, baik dari situasi mikro maupun makro.[15] Untuk menyibak Hadis yang bermuatan norma hokum, utamanya lagi hokum sosial maka sangat diperlukan Asbabul Wurud dalam hal ini, sebab hokum dapat berubah karena perubahan atau perbedaan sebab, situasi, dan illat. Asbabul wurud tidak dibutuhkan untuk memahami Hadis yang bermuatan informasi alam ghaib atau akidah karena tema ini tidak terpengaruh situasi apapun.[16] Untuk  mengetahui asbabul wurud sebuah hadis adalah dengan melihat aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya hadis, sebab-sebab wurudnya hadis, ada yang sudah tercantum pada matan hadis itu sendiri, ada yang tercantum pada matan hadis lain.[17] Adapun Hadis ini tidak disertai asbabul wurud pada matan Hadis tersebut, sehingga penulis pun sulit untuk merumuskan sabab wurud dari Hadis tersebut. Oleh karena itu untuk mengetahui sebab diturunkannya Hadis mengenai Bangunan yang tidak mendapatkan pahala ini maka perlu melihat historisnya terlebih dahulu.
            Jika kita melihat sejarah maka dizaman nabi mungkin belum dibangun berbagai bangunan yang mewah, dan seni arsitektur pada zaman Rasulullah pun belum berkembang, tetapi ketika melihat kepada ayat al-Qur’an bahwa dizaman nabi sulaiman telah berdiri istana yang megah, dengan lantai yang terbuat dari kaca sehingga bisa melihat air yang mengalir dibawah kaca dengan indah, dan hal itu merupakan salah satu bentuk seni bangunan yang memang sebenarnya telah ada sebelum Islam datang. untuk melakukan analisis realitas historis pada Hadis yang penulis bahas kali ini penulis belum menemukan asbabul wurud sehingga turunlah Hadis tersebut, ada kemungkinan hadis tersebut turun tanpa diketahui asbabul wurudnya, karena dalam sebuah buku telaah matan Hadis disebutkan bahwa tidak semua Hadis ditemukan sabab wurudnya, demikian halnya tidak semua ayat al-Qur’an dapat ditemukan sabab nuzulnya.[18]
            Jika dilihat dari realitasnya dan juga telah disebutkan dalam al-Qur’an surat at-Takatsur:1 bahwa “bermegah-megah telah melalaikanmu” sehingga rasulullah pun melarang untuk bermegah-megah dalam pembangunan yang diungkapkan dalam sebuah Hadis, karena tanpa informasi Hadis, misi dari al-Qur’an tidak diketahui dengan jelas. Untuk asbabul wurud dari hadis ini penulis belum mengetahui lebih jelas.
5. Analisis Generalisasi
            Pada hadis tersebut mengandung beberapa makna yang akan penulis paparkan dalam tahapan ini. Secara universal hadis tersebut melarang kita (umat manusia) untuk membangun bangunan yang bermegah-megahan, karena hal yang bermegah-megahan itu merupakan hal yang berlebihan, dan nafkah bangunan yang dibangun secara megah melebihi kebutuhan dan tidak digunakan untuk ketaatan tentu sia-sia belaka, yakni tidak mendapatkan pahala atas infaknya. Oleh karena itu hendaknya ketika menafkahkan bangunan hendaknya tidak bermegah-megahan tetapi sesuai kebutuhan saja. Karena sebagaimana yang telah saya sebutkan diatas bahwa bangunan khususnya masjid yang terpenting bukanlah kemegahan bangunannya tetapi memakmurkan masjid yaitu yang disebut dengan Syi’ar Islam, yakni menjadikan peran masjid lebih luas lagi dengan menyebarkan syi’ar islam sebagaimana yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasulnya.
            Perlu diketahui bahwa Islam tidak pernah melarang umatnya untuk menjadi orang kaya, apalagi jika menyisihkan hartanya untuk digunakan beramal shaleh. Oleh karena itu sebenarnya mewah disitu juga perlu digaris bawahi, karena sesuatu ataupun bangunan mewah itu juga sifatnya relative, sehingga yang dimaksud mewah yang seperti apa. Yaitu mewah yang hanya mendatangkan sifat takabbur semata. Karena setiap manusia pasti mempunyai impian untuk bisa membangun bangunan yang megah dan indah, supaya bisa hidup nyaman dirumah tersebut.

6. Kritik Praksis
            Setiap manusia pasti mempunyai cita-cita, harapan, ataupun keinginan untuk membangun istanah (rumah) yang megah, nyaman, dan indah. Oleh karena itu mereka (para manusia) berlomba-lomba dan bekerja keras untuk mendapatkan apa yang menjadi cita-cita mereka. Rumah mewah dan nyaman adalah harapan setiap orang. sehingga menurut penulis sah-sah saja seseorang membangun bangunan yang mewah dan megah sesuai porsi masing-masing, dan sesuai yang mereka mampu, karena dengan begitu manusia juga akan lebih giat bekerja, dan menabung. Serta dengan rumah yang nyaman dan bersih maka nantinya akan nyaman pula untuk digunakan beribadah kepada Allah SWT.
            Di zaman modern dan semakin global ini memang tidak sedikit bangunan yang dibangun dengan mewah dan megah, tidak peduli seberapa harta yang akan dikeluarkan, dan justru hal itu seolah-olah menjadi perlombaan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula bangunan pada tempat-tempat ibadah, khususnya masjid. Di berbagai daerah-daerah tak peduli pedesaan maupun perkotaan banyak sekali dijumpai bangunan masjid dengan bangunan yang megah, indah dan besar. Tetapi melihat kenyataannya masjid-masjid tersebut hanya megah dan indah dari fisiknya saja, tetapi kalau melihat jama’ahnya yang hanya satu hingga dua baris rasanya tidak sebanding dengan kemegahan bangunannya. Disinilah yang dilarang ketika manusia membangun bangunan yang hanya untuk riya’ semata.
            Tetapi melihat dunia yang semakin global ini berbagai macam dan bentuk bangunan yang indah dan megah juga termasuk salah satu perkembangan teknologi, karena segala bentuk bangunan yang di ukir dengan indah itu tak lain adalah salah satu dari bentuk seni arsitektur. Tetapi kembali pada faedahnya lagi, jika bangunan yang megah tersebut hanya untuk menghambur-hamburkan harta dan menyebabkan datangnya madharat, seperti riya’, takabbur, dan maksiat yang lainnya maka sebaiknya di tinggalkan, dan membangun yang seperlunya saja. Karena indahnya suatu bangunan belum tentu berpengaruh pada indahnya hati dan menambah manusia untuk lebih taqwa kepada Allah SWT, tetapi justru sebaliknya, dengan mempunyai bangunan yang mewah maka manusia akan bangga dan riya’ dengan yang dimilikinya.
C. Kesimpulan
            Dari beberapa kajian yang dilakukan oleh penulis, maka dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai Hadis tersebut, yaitu:
1. Bahwa semua amal ibadah akan diberi balasan pahala oleh Allah
2. perintah untuk infak, bahwa infak itu merupakan ibadah yang dianjurkan, dan semua infak itu bernilai ibadah
3. bangunan yang tidak digunakan untuk ketaatan dan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka tidak bernilai ibadah, dan tidak mendapatkan kebaikan atau pahala dari Allah SWT
4. Larangan berlebihan dan membangun bangunan yang megah, jika itu hanya akan memubazirkan harta, dan menyebabkan seseorang menjadi sombong/takabbur Sedangkan Allah sangat membenci orang yang sombong dan takabbur.
5. Sebenarnya membangun bangunan yang megah tidaklah merupakan larangan, tetapi yang menjadi larangan adalah, jika bangunan megah tersebut:
a.       Niat untuk takabbur dan menyombongkan diri
b.      Berlomba mengejar kemewahan semata
c.       Niat untuk pamer semata
Daftar Pustaka
Ajjaj al-Khatib, Muhammad, Ushul al-Hadits; Ulumah wa Musthalahah, (Beirut: Dr al-Fikr, 1981)
Arra’ini, Muhammad, Syamsuddin, Ilmu nahwu terjemah mutammimah ajjurumiyyah, (Surabaya: Al-Hidayah, 1423 H)
Chaer, Abdul,  Linguistik Umum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2012)
Ensiklopedi Jami’ At-Tirmidzi
Jumhuriyat al-Mishra al-‘Arabiyah, Mu’jamul Wasith, cet.4 (Mesir: Maktabah Syuruq Ad-Dauliyah:2004)
Munawwir, A.W,  Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia,edisi ke 2, ( Surabaya : Pustaka Progressif, 1997)
Qardawi, Yusuf, Fiqh al-Zakat, Terj. Salman Harun dkk, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006)
Program Softwere, Lidwa, shohih Muslim
Soetari, Endang, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997)
Suryadi, Handout mata kuliah Studi al-Hadis
Thahhan, Mahmud diterjemahkan oleh Zainul Muttaqin, Ulumul Hadis Studi kompleksitas hadis Nabi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2004)
Wehr, Hans, editor oleh J. Milton Cowanm, Hans wehr a Dictionary of modern Writen Arabic, (New York : Ithaca, 1976),
Zuhri, Muh, Telaah Matan Hadis, ( Yogyakarta: LESFI, 2003)




[1] Mahmud Thahhan, diterjemahkan oleh Zainul Muttaqin, Ulumul Hadis Studi kompleksitas hadis Nabi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2004), hlm.23
[2] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits; Ulumah wa Musthalahah, (Beirut: Dr al-Fikr, 1981), hlm. 31
[3] Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2012), hlm.15
[4] A.W Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia,edisi ke 2, ( Surabaya : Pustaka Progressif, 1997), hlm.1449
[5] Jumhuriyat al-Mishra al-‘Arabiyah, Mu’jamul Wasith, cet.4 (Mesir: Maktabah Syuruq Ad-Dauliyah:2004)Hlm.942
[6] Yusuf Qardawi, Fiqh al-Zakat, Terj. Salman Harun dkk, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006), hlm. 610
[7] Jumhuriyat al-Mishra al-‘Arabiyah,…hlm.415
[8] Hans Wehr, editor oleh J. Milton Cowanm, Hans wehr a Dictionary of modern Writen Arabic, (New York : Ithaca, 1976), hlm. 77
[9]Jumhuriyat al-Mishra al-‘Arabiyah,…hlm.72
[10] Lihat pada syarah sunan Tirmidzi, Tuhfatul ahwadzi:
تحفة الأحوذي (6/ 274) قَوْلُهُ : ( النَّفَقَةُ كُلُّهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ) أَيْ فَيُؤَخِّرُ الْمُنْفَقَ عَلَيْهَا ( إِلَّا الْبِنَاءَ ) أَيْ إِلَّا النَّفَقَةَ فِي الْبِنَاءِ ( فَلَا خَيْرَ فِيهِ ) أَيْ فِي الْإِنْفَاقِ فِيهِ فَلَا أَجْرَ فِيهِ ، وَهَذَا فِي بِنَاءٍ لَمْ يُقْصَدْ بِهِ قُرْبَةٌ أَوْ كَانَ فَوْقَ الْحَاجَةِ
[11] Ensiklopedi Jami’ At-Tirmidzi, hlm. 824
[12] Ibid
[13] Softwere Lidwa shohih Muslim
[14] Suryadi, Handout mata kuliah Studi al-Hadis, hlm.2
[15] Suryadi, Handout mata kuliah studi al-Hadis, hlm 2
[16] Muh Zuhri, Telaah Matan Hadis, ( Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 62
[17] Endang soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997). Hlm 211
[18] Muh Zuhri, Telaah Matan Hadis…., hlm. 63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar