BAB I
PENDAHULUAN
Seperti yang telah dijelaskan dalam materi-materi yang telah lalu
bahwa dalam mengkaji bahasa, khususnya bahasa Arab, maka sangatlah diperlukan
mempelajari sintaksis (ilmu nahwu) agar bahasa bisa tersusun dengan baik dan
benar. Ilmu nahwu adalah kaidah-kaidah
Bahasa Arab untuk mengetahui bentuk kata dan keadaan-keadaannya ketika
masih satu kata (Mufrod) atau ketika sudah tersusun (Murokkab). Termasuk
didalamnya adalah pembahasan SHOROF. Karena Ilmu Shorof bagian dari Ilmu Nahwu,
yang ditekankan kepada pembahasan bentuk kata dan keadaannya ketika mufrodnya.
Dalam pembahasan
kali ini, penulis memfokuskan pada kajian ilmu nahwu pada pembahasan murakkab,
sebagaimana kita ketahui, bahwasannya bahasa itu tersusun dari beberapa kata,
dan pembahasan mengenai susunan kata dalam bahasa Arab masuk pada ranah kajian
ilmu nahwu. Murakkab yang dibahas dalam ilmu nahwu pun sangat bermacam-macam
dan rinci, dengan fungsi yang berbeda-beda, oleh karena itu penulis akan
membahas mengenai beberapa murakkab, supaya kita sebagai pengkaji bahasa,
hususnya bahasa Arab, bisa menyusun bahasa Arab dengan benar dan baik, sesuai
kaidah nahwiyah. Adapun penjelasannya adalah sebagaimana berikut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Murakkab
Murakkab
adalah suatu ucapan yang tersusun da؛ri dua
kata atau lebih serta mempunyai suatu makna, baik berupa makna sempurna,
seperti contoh: "النجاةُ فى الصدق".
Maupun makna yang tidak sempurna, seperti contoh:أَنْ
تُتْقِنَ عَمَلَكَ" [1]
"نورُ الشمس الإنسانية الفاضلة"، وَ "
Murakkab dibagi menjadi 6 macam, yaitu:
1. Murakkab isnadi
2. Murakkab idhafi
3. Murakkab bayani
4. Murakkab ‘athfi
5. Murakkab mazji
6. Murakkab ‘adadi
Adapun dalam pembahasan kali ini penulis hanya membahas murakkab
‘athfi, murakkab mazji, dan murakkab ‘adadi. Dan penjelasannya
sebagai berikut.
B. Pembagian Murakkab
1. Murakkab ‘Athfi
Murakkab ‘athfi ialah susunan yang terdiri dari ma’thuf
(lafadz yang diathafkan) dan ma’thuf ‘alaih (lafadz yang diathafi)
dengan dirangkaikan satu huruf ‘athaf ditengahnya (huruf yang
menghubungkan).[2]
‘athaf terbagi menjadi 2 macam, yaitu: ‘athaf bayan dan ‘athaf
nasaq.
a. ‘Athaf Bayan
‘Athaf
bayan merupakan tabi’ (kata yang ikut) seperti halnya na’at berfungsi
menjelaskan matbu’ (kata yang diikuti)nya, jika terdiri dari isim
ma’rifat dan untuk mentakhshis matbu’nya jika terdiri dari isim
nakirah.[3]
contoh:
أَقْسَمَ بِاللهِ أَبُوْحَفْصٍ عُمَرُ : Abu hafsah alias umar, Telah bersumpah kepada Allah
Kata عُمَرُ pada kalimat diatas menjelaskan maksud dari
kata أَبُوحَفْصٍ
هذَا خَاتَمٌ ذَهَبٌ :
Ini cincin emas
Kata ذَهَبٌ
dalam kalimat diatas menjelaskan maksud kata خَاتَمٌ
yang nakirah (umum).
b. ‘Athaf Nasaq
‘Athaf
nasaq ialah tabi’ (kata ang ikut) pada matbu’nya (kata yang
diikuti) yang memakai perantara salah satu dari sepuluh huruf, sebagai berikut:
wawu (و) , fa’ (ف) , tsumma (ثمّ)
, hatta (حتّى) , am (أم) , Au (أوْ),
Imma (إمّا), Bal (بَلْ), Laa (لَا),
Laakin (لكِنْ). Pada setiap huruf ‘athaf
tersebut juga mempunyai fungsi yang berbeda-beda, adapun fungsifungsinya adalah
sebagai berikut:
Tujuh huruf ‘athaf yang pertama,
yaitu: wawu (و) ,
fa’ (ف) , tsumma (ثمّ) , hatta (حتّى)
, am (أم) , Au (أوْ), dan Imma (إمَّا)
berfungsi menggabungkan kata yang di’athafkan (ma’thuf) dengan
kata yang di’athafi (ma’thuf ‘alaih) dalam segi I’rab dan makna.
Sedangkan tiga huruf ‘athaf lainnya, yaitu: Bal (بَلْ),
Laa (لَا), Laakin (لكِنْ) berfungsi untuk menggabungkan ma’thuf
dan ma’thuf ‘alaih dalam segi I’rabnya.[4]
c. Makna-makna huruf ‘Athaf
1. الواو (dan) huruf ini mutlak digunakan untuk menghubungkan dua kata
yang setara, baik berupa isim ataupun berupa fi’il.
Contoh
: جَاءَ أَحْمَدُ
وَبَكْرٌ (ahmad dan bakr telah datang)
2. الفاء (kemudian) huruf ini berfungsi menunjukan makna tartib
(urutan) dan ta’qib(penyusulan). Ta’qib menunjukan bahwa kata
yang kedua datang setelah yang pertama tanpa tenggang waktu.
Contoh
: جَاءَ أَحْمَدُ فَبَكْرٌ (Ahmad telah datang kemudian
bakr)
3. ثُمّ (kemudian) huruf ini berfungsi menunjukan makna tartib dan
tarakhi. Tarakhi berbeda dengan ta’qib dari segi adanya
tenggang waktu antara kata pertama dan kedua.[5]
Contoh
: جَاءَ عَلِيٌّ ثُمَّ بَكْرٌ
(ali telah datang kemudian bakr)
4. او (atau) huruf ini
berfungsi menunjukan makan takhyir (pilihan) atau ibahah (mubah).
Perbedaannya jika takhyir harus memilih salah satu pilihan dan ibahah boleh memilih kedua pilihan
yang ada.
Contoh
1 :طِمَةَ أَوْ أُخْتَهَا تَزَوَّجْ فَا(nikahilah
Fatimah atau kakak perempuannya) contoh ini merupakan contoh huruf ‘athaf أَوْ yang menunjukkan makna takhyir.
Contoh 2 : جَالِسِ
العُلَمَاءَ أَوِ الزُّهَادَ (pergaulilah ulama’ atau orang-orang yang
zuhud) contoh ini merupakan contoh huruf ‘athaf أَوْ
yang menunjukkan makna ibahah.
5. ام (atau) huruf ini berfungsi untuk menunjukkan arti mencari
ketegasan, jika jatuh sesudah hamzah istifham yang masuk pada salah satu
dua hal yang sama.
Contoh
:
أَزَيْدٌ عِنْدَكَ أَمْ عَمْرٌو
أَزَيْدٌ أَمْ خَالِدٌ حَاضِرٌ
6. إمّا (atau) huruf ini dapat digunakan dalam kalimat dengan syarat
harus didahului dengan huruf إمّا lainnya dan huruf ini
memiliki makna yang sama dengan huruf او(atau).
Contoh
: تَزَوَّجْ إِمَّا فَاطِمَةَ وَإمَّا أُخْتَهَا (nikahilah Fatimah tau kakak perempuannya)
7. بل (tetapi) huruf ini digunakan untuk idhrab, yaitu mengalihkan
perhatian dari kata yang terletak sebelum بل .
Contohnya
: جَاءَ
مُحَمَّدٌ بَلْ عَمْرٌو (Muhammad telah datang, bahkan amer)
8. لا
(tidak) huruf ini berfungsi menafikan kesetaraan hukum pada kata
yang terletak diantara huruf tersebut.[6]
Contoh
: جَاءَ خَالِدٌ لَا مُحَمَّدٌ
(Khalid telah datang, bukan Muhammad)
9. لكنْ (akan tetapi) huruf ini menunjukan makna istidrak (pembetulan)
Contoh : مَا مَرَرْتُ
بِرَجُلٍ صَالِحٍ لكِنْ طَالِحٍ (saya tidak bertemu seorang laki-laki shaleh, melainkan seorang
laki-laki yang jahat)
10. حتّى (hingga) huruf ‘athaf ini jarang digunakan, jika dipakai harus
memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a.
lafadz yang di’athafkan berupa isim dzahir
b.
lafadz yang di’athafkan bagian dari yang di’athafi (معطوف عليه)
c. lafadz yang di’athafi menjadi sasaran atau
tujuan terakhir.[7]
Contoh :
أَكَلْتُ السَّمَكَةَ حَتَّى رَاْسَهَا (saya telah makan ikan hingga kepalanya)
d. Hukum ‘Athaf
‘Athaf,
baik bayan maupun nasaq itu harus sama dengan ma’thuf (yang
di’athafi) dalam empat perkara dari sepuluh perkara, yaitu:
1. Dalam segi I’rabnya (rafa’,
nasab, atau jer)
2. Dalam segi muannats atau mudzakkarnya
3. Dalam segi ma’rifat atau nakirahnya
4. Dalam segi mufrad, tatsniyah,
atau jamak-nya
‘Athaf bayan itu pada umumnya boleh dii’rabi sebagai badal
kull min kull.[8]
2. Murakkab Mazji
Murakkab
mazji adalah susunan dari dua buah kata yang dijadikan satu kata,
seperti:
1. بَيْتَ بَيْتَ , (bermakna
berdekatan rumahnya) dari asal kata بَيْتٌ
dan بَيْتٌ
2. بَيْتُ لَحْمٍ,
(nama sebuah kota di Palestina) dari asal kata بَيْتٌ dan لَحْمٌ
3. حَضْرَ مَوْت,
(nama sebuah daerah di Yaman) dari asal kata حَضَرَ dan مَوْتٌ
4. سِيْبَوَيْهِ, (nama seorang tokoh
ulama’ Nahwu dari Bashrah) dari asal kata سِيْبًا dan وَيْهِ
5. صَبَاحَ مَسَاءَ , (pagi sore) dari asal kata صَبَاحٌ dan مَسَاءٌ
Adapun dari
segi I’rabnya, Murakkab mazji dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Mabni
Kasrah (مَبْنِي عَلَى الْكَسْرِ)
jika juz akhirnya berupa lafadz وَيْهِ
Contoh :
سِيْبَوَيْهِ عَالِمٌ كَبِيْرٌ :
Imam sibawaih seorang alim yang besar
رَأَيْتُ
سِيْبَوَيْهِ عَالِمًا كَبِيْرًا : Aku lihat (yakin) bahwa imam
sibawaih adalam seorang alim besar
قَرَأْتُ مُؤَلَّفَاتِ سِيْبَوَيْهِ :
Aku baca semua karangan imam sibawaih
2. Dii’rabi seperti isim ghairu
munsharif (rafa’nya ditandai dengan dhammah, nashab
dan jer nya ditandai dengan fathah) jika dipergunakan nama dari
suatu, dan juz keduanya tidak berupa lafadz وَيْهِ , Contoh:
بَعْلَبَكُّ
بَلْدَةٌ فِي الشَّامِ : Ba’labakka adalah sebuah kota di Negara
Syam
سَكَنْتُ
حَضْرَمَوْتَ :
Saya tinggal di negeri Hadramaut
غَادَرْتُ
إِلَى حَضْرَمَوْتَ : Saya pergi ke Hadramaut
3. Dimabnikan fath kedua juznya
jika tidak menunjukkan nama dari sesuatu dan kata yang kedua tidak berupa
lafadz وَيْهِ,[9]
contoh:
طَالِعْ
دُرُوْسَكَ لَيْلَ نَهَارَ : telaahlah pelajaranmu siang
malam
أَنْتَ
جَارِيْ بَيْتَ بَيْتَ : Engkau tetanggaku yang
berdekatan rumah
ذّهّبُوْا
شَذَرَ مَذّرَ وَشِذَرَ مِذّرَ : mereka bercerai berai
3. Murakkab ‘Adadi
Murakkab ‘adadi termasuk
dalam murakkab mazji, yaitu setiap dua ‘adad (bilangan) yang
diantara keduanya terdapat huruf ‘athaf yang dikira-kirakan.[10] Dan
dalam kitab alfiyah ibn malik disebutkan bahwa Tarkib ‘adadi
adalah susunan dari dua isim ‘adad (isim yang menunjukkan arti bilangan)
yang dirangkaikan huruf ‘athaf wawu yang dikira-kirakan, yaitu terdiri
dari bilangan sebelas, dua belas, sampai dengan Sembilan belas, atau bilangan
kesebelas, kedua belas, sampai dengan kesembilan belas, seperti:
أَحَدَ
عَشَرَ – اثْنَا عَشَرَ : (sebelas-dua belas)
حَادِى
عَشَرَ – ثَانِيَ عَشَرَ : (yang kesebelas-yang kedua belas)
Murakkab ‘adadi kedua isim ‘adadnya
dimabnikan fath (مَبْنِي عَلى
الفَتْح) . contoh:
عِنْدِيْ خَمْسَةَ
عَشَرَ كِتَابًا : saya mempunyai 15 buah
kitab
رَأَيْتُ خَمْسَةَ
عَشَرَ جَيْشًا : saya melihat 15 orang tentara
مَشَيْتُ
مَعَ خَمْسَةَ عَشَرَ اُسْتَاذًا : saya berjalan bersama dengan 15
orang guru
Kecuali
jika murakkab adadi tersebut:
a.) isim ‘adad
yang pertama berupa إثْنَا dan إِثْنَتَا , maka harus dimu’rabkan menurut
amil sebelumnya dan di-I’rabi seperti isim tatsniyah, sedang isim
adad kedua yang berupa عَشَرَ (yang bersamaan
dengan إثْنَا) dan عَشْرَة (yang bersamaan dengan إثْنَتَا) tetap dimabnikan fath.
Contoh:
1. untuk
menunjukkan mudzakkar
جَاءَ اثْنَاعَشَرَ
رَجُلًا (dua
belas orang laki-laki telah datang)
أَكْرَمْتُ اثْنَي
عَشَرَ تِلْمِيْذًا (Aku hormati dua belas murid)
أُقَدِّرُ
جُهُودَ اثْنَى عَشَرَ مُجَاهِدًا (Aku hargai usaha-usaha dua belas
orang pejuang)
2. untuk
menunjukkan muannats
جَاءَتْ إثْنَتَا
عَشْرَةَ طَالِبَةً (dua belas pelajar putri
telah datang)
دَرَّبَتْ
الأُسْتَاذَةُ اثْنَتَى عَشْرَةَ طَالِبَةً (ibu dosen melatih dua belas mahasiswi)
مَرَرْتُ بِاِثْنَتى
عَشْرَةَ أُسْتَاذَةً (aku bertemu dua belas ibu dosen)
b.) Isim ‘adad
yang pertama ikut wazan فَاعِلٌ yang huruf akhirnya berupa ya’ (seperti
الْحَادِي dan الثَّانِي
) maka dii’rabi dengan isim manqush, yakni rafa’ ditandai
dengan dlomah yang dikira-kirakan pada ya’, nashab
ditandai dengan fathah pada ya’, dan jarnya ditandai
dengan kasrah yang dikira-kirakan pada ya’ juga. Contoh:
هذَا
الْبَابُ الْحَادِى عَشَرَ وَالثَّانِى عَشَرَ (ini
bab yang kesebelas dan kedua belas)
قَرَأْتُ
الفَصْلَ الحَادِيَ عَشَرَ وَالثَّانِيَ عَشَرَ (aku
membahas pasal yang kesebelas dan yang ke 12)
نَظَرْتُ
إلَى الصَّفِّ الْحادِى عَشَرَ والثَانِى عَشَرَ (aku melihat
barisan yang ke 11 dan yang ke 12)
c.) murakkab
‘adadi mulai dari bilangan tiga belas (ثَلَاثَةَ عَشَرَ)
sampai dengan bilangan Sembilan belas (تِسْعَةَ عَشَرَ)
dua buah isim ‘adadnya selalu berbeda, yakni jika isim adad yang
pertama ada huruf ta’, maka isim ‘adad yang kedua tidak ada huruf
ta’nya dan begitu sebaliknya.
Jadi jika
yang pertama tidak ada huruf ta’, maka yang kedua harus bersamaan dengan
huruf ta’, dimana yang pertama untuk menghitung ma’dud mudzakar.
Seperti:
خَمْسَةَ
عَشَرَ رَجُلًا (lima
belas orang laki-laki)
Sedang yang
kedua untuk menghitung ma’dud muannats, seperti:
خَمْسَ
عَشَرَةَ امْرَأَةً (Lima
belas wanita)
d.) susunan
dari dua isim ‘adad yang dirangkaikan oleh huruf ‘athaf tidak
termasuk dalam murakkab ‘adadi, akan tetapi murakkab ‘athfi.[11]
Seperti:
ثَلَاثَةٌ
وَثَلَاثُونَ، أَرْبَعَةٌ وَسِتُّونَ (tiga puluh tiga, enam puluh empat,
dan lain-lain).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghalayaini,
Musthafa, Jami’ al-durus al-‘arabiyyah (Bairut, 2007)
Arra’aini,
Muhammad, Syamsuddin, diterjemahkan oleh M fadlil Sa’id an-Nadwi, Mutammimah
Ajjurumiyah, (Surabaya: al-Hidayah,
1423 H)
Shaleh Madwi,
Maftuhin M, Terjemah
Alfiyah Ibnu Malik, Juz 1 (Surabaya: Putra Jaya, 1986)
[2]
M maftuhin
shaleh Madwi, Terjemah Alfiyah Ibnu Malik, Juz 1 (Surabaya:
Putra Jaya, 1986), hlm. 16
[3] Syamsuddin
Muhammad Arra’aini, diterjemahkan oleh M fadlil Sa’id an-Nadwi, Mutammimah
Ajjurumiyah, (Surabaya: al-Hidayah,
1423 H), hlm. 318
[4] Syeikh
Syamsuddin Muhammad ar-Ra’aini,…., hlm. 321
[7]
Musthafa
al-Ghalayain, Jami’ al-durus, (Bairut: darul fikr, 2007), hlm512-513
[8] Syeikh
Syamsuddin Muhammad ar-Ra’aini,…, hlm. 320
[9]
M maftuhin
shaleh Madwi, Terjemah Alfiyah Ibnu Malik, Juz 1 (Surabaya:
Putra Jaya, 1986), hlm. 16-17
[11]
M maftuhin
shaleh Madwi, Terjemah Alfiyah Ibnu Malik, Juz 1 (Surabaya:
Putra Jaya, 1986), hlm. 18-20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar