Selasa, 24 November 2015

murakkab

BAB I
PENDAHULUAN
            Seperti yang telah dijelaskan dalam materi-materi yang telah lalu bahwa dalam mengkaji bahasa, khususnya bahasa Arab, maka sangatlah diperlukan mempelajari sintaksis (ilmu nahwu) agar bahasa bisa tersusun dengan baik dan benar. Ilmu nahwu adalah kaidah-kaidah  Bahasa Arab untuk mengetahui bentuk kata dan keadaan-keadaannya ketika masih satu kata (Mufrod) atau ketika sudah tersusun (Murokkab). Termasuk didalamnya adalah pembahasan SHOROF. Karena Ilmu Shorof bagian dari Ilmu Nahwu, yang ditekankan kepada pembahasan bentuk kata dan keadaannya ketika mufrodnya.
            Dalam pembahasan kali ini, penulis memfokuskan pada kajian ilmu nahwu pada pembahasan murakkab, sebagaimana kita ketahui, bahwasannya bahasa itu tersusun dari beberapa kata, dan pembahasan mengenai susunan kata dalam bahasa Arab masuk pada ranah kajian ilmu nahwu. Murakkab yang dibahas dalam ilmu nahwu pun sangat bermacam-macam dan rinci, dengan fungsi yang berbeda-beda, oleh karena itu penulis akan membahas mengenai beberapa murakkab, supaya kita sebagai pengkaji bahasa, hususnya bahasa Arab, bisa menyusun bahasa Arab dengan benar dan baik, sesuai kaidah nahwiyah. Adapun penjelasannya adalah sebagaimana berikut.




           



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Murakkab
            Murakkab adalah suatu ucapan yang tersusun da؛ri dua kata atau lebih serta mempunyai suatu makna, baik berupa makna sempurna, seperti contoh: "النجاةُ فى الصدق". Maupun makna yang tidak sempurna, seperti contoh:أَنْ تُتْقِنَ عَمَلَكَ"   [1] "نورُ الشمس الإنسانية الفاضلة"، وَ "
Murakkab dibagi menjadi 6 macam, yaitu:
1. Murakkab isnadi
2. Murakkab idhafi
3. Murakkab bayani
4. Murakkab ‘athfi
5. Murakkab mazji
6. Murakkab ‘adadi
Adapun dalam pembahasan kali ini penulis hanya membahas murakkab ‘athfi, murakkab mazji, dan murakkab ‘adadi. Dan penjelasannya sebagai berikut.
B. Pembagian Murakkab
1. Murakkab ‘Athfi
            Murakkab ‘athfi ialah susunan yang terdiri dari ma’thuf (lafadz yang diathafkan) dan ma’thuf ‘alaih (lafadz yang diathafi) dengan dirangkaikan satu huruf ‘athaf ditengahnya (huruf yang menghubungkan).[2] ‘athaf terbagi menjadi 2 macam, yaitu: ‘athaf bayan dan ‘athaf nasaq.


a. ‘Athaf Bayan
            ‘Athaf bayan merupakan tabi’ (kata yang ikut) seperti halnya na’at berfungsi menjelaskan matbu’ (kata yang diikuti)nya, jika terdiri dari isim ma’rifat dan untuk mentakhshis matbu’nya jika terdiri dari isim nakirah.[3] contoh:
أَقْسَمَ بِاللهِ أَبُوْحَفْصٍ عُمَرُ       : Abu hafsah alias umar, Telah bersumpah kepada Allah
Kata عُمَرُ  pada kalimat diatas menjelaskan maksud dari kata أَبُوحَفْصٍ
هذَا خَاتَمٌ ذَهَبٌ                   : Ini cincin emas
Kata ذَهَبٌ dalam kalimat diatas menjelaskan maksud kata خَاتَمٌ yang nakirah (umum).
b. ‘Athaf Nasaq
            ‘Athaf nasaq ialah tabi’ (kata ang ikut) pada matbu’nya (kata yang diikuti) yang memakai perantara salah satu dari sepuluh huruf, sebagai berikut: wawu (و) , fa(ف) , tsumma (ثمّ) , hatta (حتّى) , am (أم) , Au (أوْ), Imma (إمّا), Bal (بَلْ), Laa (لَا), Laakin (لكِنْ). Pada setiap huruf ‘athaf tersebut juga mempunyai fungsi yang berbeda-beda, adapun fungsifungsinya adalah sebagai berikut:
Tujuh huruf ‘athaf yang pertama, yaitu: wawu (و) , fa’ (ف) , tsumma (ثمّ) , hatta (حتّى) , am (أم) , Au (أوْ), dan Imma (إمَّا) berfungsi menggabungkan kata yang di’athafkan (ma’thuf) dengan kata yang di’athafi (ma’thuf ‘alaih) dalam segi I’rab dan makna. Sedangkan tiga huruf ‘athaf lainnya, yaitu: Bal (بَلْ), Laa (لَا), Laakin (لكِنْ) berfungsi untuk menggabungkan ma’thuf dan ma’thuf ‘alaih dalam segi I’rabnya.[4]
c. Makna-makna huruf ‘Athaf
1. الواو (dan) huruf ini mutlak digunakan untuk menghubungkan dua kata yang setara, baik berupa isim ataupun berupa fi’il.
Contoh :  جَاءَ أَحْمَدُ وَبَكْرٌ (ahmad dan bakr telah datang)
2. الفاء (kemudian) huruf ini berfungsi menunjukan makna tartib (urutan) dan ta’qib(penyusulan). Ta’qib menunjukan bahwa kata yang kedua datang setelah yang pertama tanpa tenggang waktu.
Contoh :  جَاءَ أَحْمَدُ فَبَكْرٌ (Ahmad telah datang kemudian bakr)
3. ثُمّ (kemudian) huruf ini berfungsi menunjukan makna tartib dan tarakhi. Tarakhi berbeda dengan ta’qib dari segi adanya tenggang waktu antara kata pertama dan kedua.[5]
Contoh : جَاءَ عَلِيٌّ ثُمَّ بَكْرٌ (ali telah datang kemudian bakr)
4. او (atau) huruf ini berfungsi menunjukan makan takhyir (pilihan) atau ibahah (mubah). Perbedaannya jika takhyir harus memilih salah satu pilihan dan  ibahah boleh memilih kedua pilihan yang ada.
Contoh 1 :طِمَةَ أَوْ أُخْتَهَا    تَزَوَّجْ فَا(nikahilah Fatimah atau kakak perempuannya) contoh ini merupakan contoh huruf  ‘athaf أَوْ  yang menunjukkan makna takhyir.
Contoh 2 : جَالِسِ العُلَمَاءَ أَوِ الزُّهَادَ (pergaulilah ulama’ atau orang-orang yang zuhud) contoh ini merupakan contoh huruf ‘athaf أَوْ yang menunjukkan makna ibahah.
5. ام (atau) huruf ini berfungsi untuk menunjukkan arti mencari ketegasan, jika jatuh sesudah hamzah istifham yang masuk pada salah satu dua hal yang sama.
Contoh :
أَزَيْدٌ عِنْدَكَ أَمْ عَمْرٌو
أَزَيْدٌ أَمْ خَالِدٌ حَاضِرٌ
6. إمّا (atau) huruf ini dapat digunakan dalam kalimat dengan syarat harus didahului dengan huruf إمّا lainnya dan huruf ini memiliki makna yang sama dengan huruf او(atau).
Contoh : تَزَوَّجْ إِمَّا فَاطِمَةَ وَإمَّا أُخْتَهَا  (nikahilah Fatimah tau kakak perempuannya)
7.  بل (tetapi) huruf ini digunakan untuk idhrab, yaitu mengalihkan perhatian dari kata yang terletak sebelum بل .
Contohnya :  جَاءَ مُحَمَّدٌ بَلْ عَمْرٌو (Muhammad telah datang, bahkan amer)
8. لا (tidak) huruf ini berfungsi menafikan kesetaraan hukum pada kata yang terletak diantara huruf tersebut.[6]
Contoh : جَاءَ خَالِدٌ لَا مُحَمَّدٌ (Khalid telah datang, bukan Muhammad)
9. لكنْ (akan tetapi) huruf ini menunjukan makna istidrak (pembetulan)
 Contoh : مَا مَرَرْتُ بِرَجُلٍ صَالِحٍ لكِنْ طَالِحٍ (saya tidak bertemu seorang laki-laki shaleh, melainkan seorang laki-laki yang jahat)
10.  حتّى (hingga) huruf ‘athaf ini jarang digunakan, jika dipakai harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a. lafadz yang di’athafkan berupa isim dzahir
b. lafadz yang di’athafkan bagian dari yang di’athafi (معطوف عليه)
c. lafadz yang di’athafi menjadi sasaran atau tujuan terakhir.[7]
Contoh :
أَكَلْتُ السَّمَكَةَ حَتَّى رَاْسَهَا  (saya telah makan ikan hingga kepalanya)
d. Hukum ‘Athaf
            ‘Athaf, baik bayan maupun nasaq itu harus sama dengan ma’thuf (yang di’athafi) dalam empat perkara dari sepuluh perkara, yaitu:
1. Dalam segi I’rabnya (rafa’, nasab, atau jer)
2. Dalam segi muannats atau mudzakkarnya
3. Dalam segi ma’rifat atau nakirahnya
4. Dalam segi mufrad, tatsniyah, atau jamak-nya
‘Athaf bayan itu pada umumnya boleh dii’rabi sebagai badal kull min kull.[8]
2. Murakkab Mazji
     Murakkab mazji adalah susunan dari dua buah kata yang dijadikan satu kata, seperti:
1. بَيْتَ بَيْتَ , (bermakna berdekatan rumahnya) dari asal kata بَيْتٌ dan بَيْتٌ
2. بَيْتُ لَحْمٍ, (nama sebuah kota di Palestina) dari asal kata بَيْتٌ   dan لَحْمٌ
3. حَضْرَ مَوْت, (nama sebuah daerah di Yaman) dari asal kata حَضَرَ dan مَوْتٌ
4. . سِيْبَوَيْهِ, (nama seorang tokoh ulama’ Nahwu dari Bashrah) dari asal kata سِيْبًا dan وَيْهِ
5. صَبَاحَ مَسَاءَ , (pagi sore) dari asal kata صَبَاحٌ dan مَسَاءٌ

Adapun dari segi I’rabnya, Murakkab mazji dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Mabni Kasrah (مَبْنِي عَلَى الْكَسْرِ) jika juz akhirnya berupa lafadz وَيْهِ
Contoh :
سِيْبَوَيْهِ عَالِمٌ كَبِيْرٌ                    : Imam sibawaih seorang alim yang besar
رَأَيْتُ سِيْبَوَيْهِ عَالِمًا كَبِيْرًا             : Aku lihat (yakin) bahwa imam sibawaih adalam seorang alim besar
قَرَأْتُ مُؤَلَّفَاتِ سِيْبَوَيْهِ               : Aku baca semua karangan imam sibawaih
2. Dii’rabi seperti isim ghairu munsharif (rafa’nya ditandai dengan dhammah, nashab dan jer nya ditandai dengan fathah) jika dipergunakan nama dari suatu, dan juz keduanya tidak berupa lafadz وَيْهِ  , Contoh:
بَعْلَبَكُّ بَلْدَةٌ فِي الشَّامِ       : Ba’labakka adalah sebuah kota di Negara Syam
سَكَنْتُ حَضْرَمَوْتَ        : Saya tinggal di negeri Hadramaut
غَادَرْتُ إِلَى حَضْرَمَوْتَ  : Saya pergi ke Hadramaut
3. Dimabnikan fath kedua juznya jika tidak menunjukkan nama dari sesuatu dan kata yang kedua tidak berupa lafadz وَيْهِ,[9] contoh:
طَالِعْ دُرُوْسَكَ لَيْلَ نَهَارَ              : telaahlah pelajaranmu siang malam
أَنْتَ جَارِيْ بَيْتَ بَيْتَ                 : Engkau tetanggaku yang berdekatan rumah
ذّهّبُوْا شَذَرَ مَذّرَ وَشِذَرَ مِذّرَ         : mereka bercerai berai

3. Murakkab ‘Adadi
     Murakkab ‘adadi termasuk dalam murakkab mazji, yaitu setiap dua ‘adad (bilangan) yang diantara keduanya terdapat huruf ‘athaf yang dikira-kirakan.[10] Dan dalam kitab alfiyah ibn malik disebutkan bahwa Tarkib ‘adadi adalah susunan dari dua isim ‘adad (isim yang menunjukkan arti bilangan) yang dirangkaikan huruf ‘athaf wawu yang dikira-kirakan, yaitu terdiri dari bilangan sebelas, dua belas, sampai dengan Sembilan belas, atau bilangan kesebelas, kedua belas, sampai dengan kesembilan belas, seperti:
أَحَدَ عَشَرَ – اثْنَا عَشَرَ          : (sebelas-dua belas)
حَادِى عَشَرَ – ثَانِيَ عَشَرَ     : (yang kesebelas-yang kedua belas)
            Murakkab ‘adadi kedua isim ‘adadnya dimabnikan fath (مَبْنِي عَلى الفَتْح) . contoh:
عِنْدِيْ خَمْسَةَ عَشَرَ كِتَابًا                   : saya mempunyai 15 buah kitab
رَأَيْتُ خَمْسَةَ عَشَرَ جَيْشًا                  : saya melihat 15 orang tentara
مَشَيْتُ مَعَ خَمْسَةَ عَشَرَ اُسْتَاذًا             : saya berjalan bersama dengan 15 orang guru
Kecuali jika murakkab adadi tersebut:
a.) isim ‘adad yang pertama berupa إثْنَا dan إِثْنَتَا , maka harus dimu’rabkan menurut amil sebelumnya dan di-I’rabi seperti isim tatsniyah, sedang isim adad kedua yang berupa عَشَرَ (yang bersamaan dengan إثْنَا) dan عَشْرَة  (yang bersamaan dengan إثْنَتَا) tetap dimabnikan fath. Contoh:
1. untuk menunjukkan mudzakkar
جَاءَ اثْنَاعَشَرَ رَجُلًا                                    (dua belas orang laki-laki telah datang)
أَكْرَمْتُ اثْنَي عَشَرَ تِلْمِيْذًا                   (Aku hormati dua belas murid)
أُقَدِّرُ جُهُودَ اثْنَى عَشَرَ مُجَاهِدًا             (Aku hargai usaha-usaha dua belas orang pejuang)
2. untuk menunjukkan muannats
جَاءَتْ إثْنَتَا عَشْرَةَ طَالِبَةً                   (dua belas pelajar putri telah datang)
دَرَّبَتْ الأُسْتَاذَةُ اثْنَتَى عَشْرَةَ طَالِبَةً       (ibu dosen melatih dua belas mahasiswi)
مَرَرْتُ بِاِثْنَتى عَشْرَةَ أُسْتَاذَةً               (aku bertemu dua belas ibu dosen)
b.) Isim ‘adad yang pertama ikut wazan فَاعِلٌ   yang huruf akhirnya berupa ya’ (seperti الْحَادِي dan الثَّانِي ) maka dii’rabi dengan isim manqush, yakni rafa’ ditandai dengan dlomah yang dikira-kirakan pada ya’, nashab ditandai dengan fathah pada ya’, dan jarnya ditandai dengan kasrah yang dikira-kirakan pada ya’ juga. Contoh:
هذَا الْبَابُ الْحَادِى عَشَرَ وَالثَّانِى عَشَرَ                (ini bab yang kesebelas dan kedua belas)
قَرَأْتُ الفَصْلَ الحَادِيَ عَشَرَ وَالثَّانِيَ عَشَرَ           (aku membahas pasal yang kesebelas dan yang ke 12)
نَظَرْتُ إلَى الصَّفِّ الْحادِى عَشَرَ والثَانِى عَشَرَ     (aku melihat barisan yang ke 11 dan yang ke 12)
c.) murakkab ‘adadi mulai dari bilangan tiga belas (ثَلَاثَةَ عَشَرَ) sampai dengan bilangan Sembilan belas (تِسْعَةَ عَشَرَ) dua buah isim ‘adadnya selalu berbeda, yakni jika isim adad yang pertama ada huruf ta’, maka isim ‘adad yang kedua tidak ada huruf ta’nya dan begitu sebaliknya.
Jadi jika yang pertama tidak ada huruf ta’, maka yang kedua harus bersamaan dengan huruf ta’, dimana yang pertama untuk menghitung ma’dud mudzakar. Seperti:
خَمْسَةَ عَشَرَ رَجُلًا              (lima belas orang laki-laki)
Sedang yang kedua untuk menghitung ma’dud muannats, seperti:
خَمْسَ عَشَرَةَ امْرَأَةً                         (Lima belas wanita)
d.) susunan dari dua isim ‘adad yang dirangkaikan oleh huruf ‘athaf tidak termasuk dalam murakkab ‘adadi, akan tetapi murakkab ‘athfi.[11] Seperti:
ثَلَاثَةٌ وَثَلَاثُونَ، أَرْبَعَةٌ وَسِتُّونَ            (tiga puluh tiga, enam puluh empat, dan lain-lain).











DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghalayaini, Musthafa, Jami’ al-durus al-‘arabiyyah (Bairut, 2007)
Arra’aini, Muhammad, Syamsuddin, diterjemahkan oleh M fadlil Sa’id an-Nadwi, Mutammimah Ajjurumiyah,  (Surabaya: al-Hidayah, 1423 H)
Shaleh Madwi, Maftuhin M,  Terjemah Alfiyah Ibnu Malik, Juz 1 (Surabaya: Putra Jaya, 1986)




[1] Mushthafa al-Ghalayaini, Jami’ al-durus al-‘arabiyyah (Bairut, 2007), hlm.10
[2] M maftuhin shaleh Madwi, Terjemah Alfiyah Ibnu Malik, Juz 1 (Surabaya: Putra Jaya, 1986), hlm. 16
[3] Syamsuddin Muhammad Arra’aini, diterjemahkan oleh M fadlil Sa’id an-Nadwi, Mutammimah Ajjurumiyah,  (Surabaya: al-Hidayah, 1423 H), hlm. 318
[4] Syeikh Syamsuddin Muhammad ar-Ra’aini,…., hlm. 321
[5] Musthafa al-Ghalayain, Jami’ al-durus, (Bairut: darul fikr, 2007), hlm512-513
[6] Musthafa al-Ghalayain, Jami’ al-durus, (Bairut: darul fikr, 2007), hlm512-513
[7] Musthafa al-Ghalayain, Jami’ al-durus, (Bairut: darul fikr, 2007), hlm512-513
[8] Syeikh Syamsuddin Muhammad ar-Ra’aini,…, hlm. 320
[9] M maftuhin shaleh Madwi, Terjemah Alfiyah Ibnu Malik, Juz 1 (Surabaya: Putra Jaya, 1986), hlm. 16-17
[10] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 16
[11] M maftuhin shaleh Madwi, Terjemah Alfiyah Ibnu Malik, Juz 1 (Surabaya: Putra Jaya, 1986), hlm. 18-20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar