BAB I
PENDAHULUAN
Pembicaraan mengenai Hermeneutik
dalam dunia Intelektualitas kita memang belum terasa signifikansinya. Sekalipun
para filosuf telah menggembor—gemborkannya mengenai urgensinya. Sering kita
memahami dan mengimplikasikan bahwa hermeneutika merupakan ilmu tentang
penafsiran “ilmu tafsir” sementara variable-variabel filosofis dan kritisnya
diabaikan. Istilah “Hermeneutik” bukanlah hal yang asing di dunia kefilsafatan.
Istilah itu sendiri mempunyai makna: menerjemahkan, menafsirkan yang timbul
dari bahasa Yunani.[1]
Namun dalam menafsirkan suatu teks butuh cara yang benar-benar hampir mendekati
kebenaran atas teks sebenarnya. Bahasa di pembahasan ini sangatlah dibutuhkan.
Di mana bahasa itu sendiri sebagai medium untuk berkomunikasi.
Hermeneutika adalah kata yang sering
didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra. Banyak sekali filosuf
yang mempunyai pandangan mengenai hermeneutic, diantaranya adalah Seperti
Emilio Betti, Martin Heidegger, Rudolf Bultmann, Kari-Otto Apel, Jurgen
Habernas, Paul Ricoeur dan akhirnya sampai pada Hans George Gadamer. Dari
beberapa filosuf tersebut mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam
menafsirkan teks, dan hasilnya pula berbeda-beda. Dan masing-masing juga
mempunyai alasan masing-masing dari buah penafsiran mereka.
Dari beberapa filosuf tersebut,
penulis akan mencoba memaparkan pemikiran hermeneutic dari seorang filosuf yang
sangat terkenal dengan pemikiran hermeneutiknya, yaitu Hans George Gadamer. Karena
seperti yang penulis ungkapkan diatas, meskipun mereka mempunyai pemikiran
mengenai hermeneutika tetapi pemikiran tersebut berbedabeda dan juga mempunyai
alasan yang berbeda-beda pula. Gadamer merupakan salah satu penggagas philosophical
Hermeneutik yaitu mengenai teori yang bisa menjadi landasan dalam penafsiran
dan pemahaman suatu teks. Adapun mengenai bebrapa pemikiran gadamer terhadap
hermeneutika akan penulis jelaskan sebagaimana berikut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Tentang H.G Gadamer
Gadamer lahir pada 11 Februari 1900
di Marburg bagian selatan Jerman, bertepatan ketika Rene Descartes – pencetus
metodologi keragu-raguan modern itu wafat, pada 250 tahun silam. Ia dilahirkan
dari keluarga pasangan Emma Caroline Johanna Gewiese (1869-1904) dan Dr.
Johannes Gadamer (1867-1928). Pada usia dua tahun ia pindah ke kota Breslau
(nama eksisnya sekarang Wroclau, Polandia). Holy Gost School menjadi tempat ia
menempuh pendidikan dasar dan menengah pada tahun 1907 sampai 1918. Ia belajar
filsafat pada universitas di kota asalnya.[2]
Gadamer belajar filsafat kepada
sejumlah filsuf, di antaranya Paul Natorp, Nicolai Hartmann, dan Rudolf
Bultmann. Pada tahun 1922, Gadamer berhasil meraih gelar doktor filsafat dengan
sebuah disertasi tentang Plato. Sesudah itu, Gadamer mengikuti kuliah Martin
Heidegger di Freiburg. Pada tahun 1927, Heidegger mengusulkan kepada Gadamer
untuk membuat Habilitation. Dalam sistem akademis di Jerman, orang yang sudah
memiliki gelar doktor filsafat harus membuat tulisan Habilitation sebelum bisa
diangkat sebagai dosen di universitas. Di bawah bimbingan Heidegger, akhirnya
Gadamer berhasil membuat Habilitation tentang etika dialektis Plato. Akhirnya,
Gadamer pun diangkat menjadi dosen pada Universitas Marburg.[3]
Selain dipengaruhi oleh beberapa filsuf tersebut, Gadamer juga banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, G.W.F. Hegel,
Søren Kierkegaard, F.D.E. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Edmund Husserl, dan
Karl Jaspers.[4]
Ketertarikan Gadamer pada filsafat
sempat ditentang oleh ayahnya yang berprofesi sebagai seorang profesor kimia di
sebuah universitas. Menurut ayah Gadamer, filsafat, kesusastraan, dan ilmu-ilmu
humaniora pada umumnya bukan merupakan ilmu pengetahuan yang serius. Akan
tetapi, Gadamer tidak mendengar perkataan ayahnya. Ia berpegang teguh pada
pilihannya untuk memperdalam filsafat. Tetapi sayang, sang ayah yang tidak
merestui pilihan sang anak tidak sempat menyaksikan keberhasilan Gadamer
sebagai seorang filsuf, karena sudah meninggal pada tahun 1928.[5]
Setelah pensiun, Gadamer
sering mengisi ceramah di Amerika Serikat, Jerman, dan beberapa tempat lain.
Walaupun telah memasuki usia lanjut, Gadamer tetap sering mengikuti
diskusi-diskusi filosofis dan termasuk salah seorang filsuf yang paling populer
di Jerman. Setelah melewati petualangan filosofis yang demikian panjang dan
melelahkan, Gadamer akhirnya meninggal di kota Heidelberg pada 13 Maret 2002 di
usia 102 tahun.[6] Itulah sekilas
mengenai riwayat kehidupan H.G Gadamer. Selanjutnya, penulis akan mengemukakan beberapa pemikiran
hermeneutic Gadamer. Sebagaimana berikut.
B. Pengertian
Hermeneutik
Secara etimologis, kata
‘hermeneutik’ atau ‘hermeneutika’ berasal dari bahasa Inggris hermeneutics.
Kata hermeneutics sendiri berasal dari bahasa Yunani hermeneuo yang berarti
‘mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata’ atau hermeneuein yang
berarti ‘menafsirkan’ dan hermeneia yang berarti ‘penafsiran’. Kata hermeneuo
juga bermakna ‘menerjemahkan’ atau ‘bertindak sebagai penafsir’. Dari beberapa
makna ini dapat disimpulkan bahwa hermeneutik adalah ‘usaha untuk beralih dari
sesuatu yang relatif gelap kepada sesuatu yang lebih terang’ atau ‘proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti’.[7]
Istilah hermeneutik sering
diasosiasikan kepada tokoh mitologis Yunani yang bernama Hermes. Hermes adalah
seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Sosok
Hermes digambarkan sebagi seseorang yang mempunyai kaki bersayap. Dalam bahasa
Latin, sosok ini lebih dikenal dengan nama Mercurius. Tugas Hermes adalah
menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang
dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu, Hermes harus mampu
menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang digunakan
oleh pendengarnya.[8]
Dalam proses menerjemahkan pesan
dewa yang dilakukan oleh Hermes tersebut terdapat faktor memahami dan
menerangkan sebuah pesan ke dalam medium bahasa. Inilah sesungguhnya rahim
historis yang kemudian melahirkan hermeneutik. Akan tetapi, proses hermeneutik
tidak sekadar memahami, menerjemahkan, dan menjelaskan sebuah pesan. Di balik
proses hermeneutik berjubel elemen-elemen lain yang saling berkait dan
berkelindan, seperti praanggapan, tradisi, dialektika, bahasa, dan realitas.
Selain itu, proses hermeneutik pun
dari waktu ke waktu semakin berkembang mengikuti alur dialektika manusia yang
semakin kompleks. Menurut telaah Fakhruddin Faiz, dalam perkembangannya,
hermeneutik memiliki tiga model, yaitu hermeneutik sebagai cara untuk memahami
atau hermeneutika teoritis, hermeneutik sebagai cara untuk memahami pemahaman
atau hermeneutika filosofis, hermeneutik sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman
atau hermeneutika kritis.[9]
C. Pemikiran Gadamer Terhadap
Hermeneutika
Perkembangan pemikiran Gadamer tidak
bisa dilepaskan dari pengaruh guru dan sahabatnya, yaitu Martin Heiddeger.
Hubungannya dengan Heiddeger sangat khusus dalam pengabdian tanpa henti untuk
elaborasi dan kolaborasi yang mendalam pada jalan-jalan filosuf yang mereka
bangun. Keyakinan yang dimiliki Gadamer sama halnya dengan Martin Heidegger, ia
meyakini bahwa hermeneutika merupakan penyelidikan proses universal dari tindak
pemahaman yang juga diklaim sebagai hakikat
kapasitas manusia sebagai sebuah Ada.[10]
Gadamer juga memaknai hakikat hermeneutika yaitu ontologi dan fenomenologi
pemahaman. Yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya
sebagaimana adanya.[11]
“Pemahaman” (atau “mengerti” )
harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia,
atau lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa “mengerti” itu tidak lain daripada
cara berada manusia sendiri. Dengan demikian, eksistensi manusia selalu di
bangun oleh kualitas proses pemahaman itu sendiri. Sehingga sangatlah wajar
jika Gadamer tidak hanya memusatkan perhatiannya pada satu tugas filsafat (tori
hermeneutis), melainkan juga melewati banyak tugas lain yang mungkin dan
karenanya pemikiran ini melihat semua tema yang ada dalam filsafat dari satu
segi tertentu, yaitu hermeneutika.[12]
Menurutnya hermeneutik mempunyai tugas terutama memahami teks, maka pemahaman
itu sendiri mempunyai hubungan fundamental dengan bahasa. Kita menumbuhkan di
dalam bahasa kita sendiri unsur-unsur penting dari pemahaman, sehingga
pembicara asli tidak akan gagal untuk menangakap nuansa-nuansa atau benang
merah bahasanya sendiri.[13]
Sebelum munculnya Heidegger dan
Gadamer, diskursus Hermeneutika disatukan dengan sains yang bersifat
metodologis, dengan tekanan bahwa ilmu pengetahuan apapun baru diakui sebagai
ilmiah jika memiliki basis empirisme. Hermeneutika menjadi bagian yang tak
terpisahkan dengan alam positivisme yang notabene mensyaratkan commensurable,
yaitu obyektivisme. Ini melahirkan dilema bagi hermeneutika lantaran sebagai
interpretasi tentu saja ia tidak bisa itu sendiri yang tentu memiliki wilayah
historisnya sendiri.[14]
Sosok Betti, Schleiermacher dan
Diltey merupakan penggagas aliran
hermeneutika obyektivis ini. Sekalipun dalam tubuh Betti, Schleiermacher dan
Dilthey sendiri terdapat perbedaan dalam konteks obyektivisme hermeneutika ini,
di mana Schleiermacher lebih memfokuskan pada “pengarang” sebagai
obyektivikasinya dan Dilthey lebih pada “teks”, namun ketiganya secara utopis
mensyaratkan tampilan hermeneutika yang steril dari intervensi historisitas
penafsir.
Betti, misalnya, ia dapat
mengemukakan tiga tipe interpretasi untuk mengukuhkan obyektivismenya: (1)
Rekognitinif, yaitu pengenalan yang bersifat otentik, pemahaman dari sudut diri
sendiri(orang pertama), (2) Reproduktif, yaitu pembuatan atau penyusunan
kembali yang ditujukan untuk mengkomunikasikan beberapa pengalaman, dan (3)
Normatif, yaitu memberikan panduan dalam pelaksanaannya.
Sementara Schleiermacher dan Dilthey
(setidaknya) bisa dilacak dari penolakan kuat mereka atas munculnya praandaian
dalam diri penafsir ketika akan mendekati sebuah teks. Keduanya memutlakan diri
penafsir untuk menyebrangi “waktu yang mengantarai” historisitas pengarang
dengan historisitas penafsir. Penafsir
dituntut untuk merasuki dan menyatu dengan individu pengarang, sehingga
penafsir dapat betul-betul memahami juntaian makna yang ditanamkan pengarang
dalam teksnya.
Dalam krusialitas inilah, Gadamer
memunculkan antitesis yang sangat ekstrem dengan hermeneutika filosofinya,
bahwa upaya obyektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan belaka bagi siapapun
yang ingin menafsirkan teks. Karena antara pengarang dan penafsir mempunyai
watak tersendiri. Dengan demikian, upaya obyektivisme murni dalam hermeneutika
hanya aka menjadi kemustahilan, sehingga yang kemudian bisa dilakukan
penafsiran adalah memproduksi teks sehingga menjadi banyak makna. Bisa
dikatakan hermeneutika yang bisa dihidupkan dengan baik menurut Gadamer yaitu
subyektivisme interpretasi yang relevan dengan praandai-praandaian yang
dibangun oleh historisitasnya di masa kini. Pemahaman hermeneutika inilah yang
membuat Gadamer membantah positivisme dalam kancah hermeneutika. Ia menegaskan
yang terpenting dalam jurang dan tradisi itu adalah dialekta atau dialog yang
produktif antara masa lalu dan masa kini.
Maka dapat disimpulkan bahwa, kerangka
hermeneutika Gadamer secara kategoris berkaitan dengan pokok-pokok khusus,
yaitu (a) kebenaran sebagai yang tak tersembunyi, (b) Bahasa dan pemahaman, dan
(c) Hubungan antara kebenaran dan metode.
D. Sistem dan Metode Ilmu yang
Ditawarkan oleh Hans-Georg Gadamer
Dalam pandangan Gadamer, pemahaman
manusia senantiasa merupakan peristiwa historis, dialektik, dan linguistik.[15]
Dengan demikian, dalam sistem dan metode pengetahuan yang digagas oleh Gadamer,
kebenaran diperoleh melalui proses dialektika. Tujuan dari proses dialektika
adalah menggelitik realitas yang dijumpai, dalam hal ini teks, supaya
mengungkapkan dirinya. Oleh karena itu, dalam pandangan Gadamer, tugas
hermeneutik adalah mengeluarkan teks dari alienasinya, dan mengembalikannya ke
dalam dialog yang riil dengan kehidupan manusia di masa kini.[16]
Menurut Gadamer, tujuan hermeneutik
bukanlah menerapkan berbagai macam aturan baku dan kaku untuk meraih pemahaman
yang “benar objektif”, tetapi untuk mendapatkan pemahaman seluas mungkin.
Dengan demikian, kunci untuk memahami bukan dengan cara memanipulasi atau
menguasai, tetapi dengan partisipasi dan keterbukaan; bukan dengan pengetahuan,
tetapi dengan pengalaman; dan bukan dengan metodologi, tetapi dengan dialektika.[17]
Dalam proses dialektika, teks dan penafsir menjalani suatu keterbukaan satu
sama lain sehingga keduanya saling memberi dan menerima yang kemudian
memungkinkan bagi lahirnya pemahaman yang baru.[18]
Dalam proses pemahaman dan
interpretasi dengan sistem dialektika ini, Gadamer meniscayakan empat faktor
yang tidak boleh diabaikan.[19]
Pertama, bildung atau pembentukan jalan pikiran. Dalam kaitannya dengan proses
pemahaman atau penafsiran, jika seseorang membaca sebuah teks, maka seluruh
pengalaman yang dimiliki oleh orang tersebut akan ikut berperan. Dengan
demikian, penafsiran dua orang yang memiliki latar belakang, kebudayaan, usia,
dan tingkat pendidikan yang berbeda tidak akan sama. Dalam proses penafsiran,
bildung sangat penting. Sebab, tanpa bildung, orang tidak akan dapat memahami
ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Singkatnya, orang tidak
dapat menginterpretasi ilmu-ilmu tersebut dengan caranya sendiri.
Kedua, sensus communis atau
pertimbangan praktis yang baik atau pandangan yang mendasari komunitas. Istilah
ini merujuk pada aspek-aspek sosial atau pergaulan sosial. Para filsuf zaman
dulu menyebutnya dengan “kebijaksanaan”. Istilah mudahnya adalah “suara hati”.
Misalnya, sejarawan sangat memerlukan sensus communis untuk memahami latar
belakang yang mendasari pola sikap manusia. Ketiga, pertimbangan, yaitu
menggolongkan hal-hal yang khusus atas dasar pandangan tentang yang universal.
Pertimbangan merupakan sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus
dilakukan. Faktor ini memang sulit untuk dipelajari dan diajarkan. Faktor ini
hanya dapat dilakukan sesuai dengan kasus-kasus yang ada. Faktor ini menjadi
pembeda antara orang pintar dan orang bodoh. Orang bodoh yang miskin
pertimbangan tidak dapat menghimpun kembali apa yang telah dipelajari dan
diketahuinya sehingga ia tidak dapat mempergunakan hal-hal tersebut dengan
benar. Keempat, taste atau selera, yaitu sikap subjektif yang berhubungan
dengan macam-macam rasa atau keseimbangan antara insting pancaindra dan
kebebasan intelektual. Gadamer menyamakan selera dengan rasa. Dalam
operasionalnya, selera tidak memakai pengetahuan akali. Jika selera menunjukkan
reaksi negatif atas sesuatu, kita tidak tahu penyebabnya.
E. Teori dalam Memperoleh
Pengetahuan
Berikut ini
adalah teori Gadamer dalam memperoleh pengetahuan, dalam hal ini meraih
pemahaman atas suatu teks atau tradisi.[20]
1. Teori
“Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah” (Historically Effected Consciousness)
Menurut teori ini, pemahaman seorang
penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang
melingkupinya, baik itu berupa tradisi, kultur, ataupun pengalaman hidup. Oleh
karena itu, pada saat menafsirkan sebuah teks, seorang penafsir harus sadar
bahwa dia berada pada posisi tertentu yang bisa mempengaruhi pemahamannya
terhadap sebuah teks yang sedang ditafsirkannya. Lebih lanjut Gadamer
mengatakan, seseorang harus belajar memahami dan mengenali bahwa dalam setiap
pemahaman, baik dia sadar atau tidak, pengaruh dari affective history (“sejarah
yang mempengaruhi seseorang”) sangat mengambil peran. Sebagaimana diakui oleh
Gadamer, mengatasi problem keterpengaruhan ini memang tidaklah mudah. Pesan dari
teori ini adalah bahwa seorang penafsir harus mampu mengatasi subjektivitasnya
ketika dia menafsirkan sebuah teks.[21]
2. Teori
“Prapemahaman” (Pre-Understanding)
Keterpengaruhan oleh situasi
hermeneutik atau affective history tertentu membentuk pada diri seorang
penafsir apa yang disebut Gadamer dengan istilah pre-understanding atau
“prapemahaman” (baca: praanggapan) terhadap teks yang ditafsirkan. Prapemahaman
yang merupakan posisi awal penafsir memang pasti dan harus ada ketika ia
membaca teks. Gadamer menyatakan bahwa dalam proses pemahaman, prapemahaman
selalu memainkan peran. Dalam praktiknya, prapemahaman ini diwarnai oleh
tradisi yang berpengaruh, di mana seorang penafsir berada, dan juga diwarnai
oleh perkiraan awal (prejudice) yang terbentuk dalam tradisi tersebut.[22]
Keharusan adanya prapemahaman
tersebut, menurut teori ini, dimaksudkan agar seorang penafsir mampu
mendialogkannya dengan isi teks yang ditafsirkan. Tanpa prapemahaman, seseorang
tidak akan berhasil memahami teks dengan baik. Bahkan, Oliver R. Scholz
menyatakan bahwa prapemahaman yang disebutnya dengan istilah “asumsi atau
dugaan awal” merupakan “sarana yang tak terelakkan bagi pemahaman yang benar”.
Meskipun demikian, menurut Gadamer, prapemahaman harus terbuka untuk dikritisi,
direhabilitasi, dan dikoreksi oleh penafsir itu sendiri ketika dia sadar atau
mengetahui bahwa prapemahamannya itu tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh
teks yang ditafsirkan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman
terhadap pesan teks. Hasil dari rehabilitasi atau koreksi terhadap prapemahaman
ini disebutnya dengan istilah “kesempurnaan prapemahaman”.[23]
F. Karya-Karya
Monumental Gadamer
Dokumentasi lengkap dari
karya-karyanya disatukan dalam apa yang disebut sebagai Gesammelte Werke (10
Volume) yang diterbitkan oleh Mohr (1985-1995) dan Unveranderte
Taschenbuchausgabe (1999), semuanya di Tubingen. Adapun kara-karya tersebut
adalah sebagai berikut:[24]
1. Hermeneutik
I. Wahrheit und Methode. Grundzuge einer philosophischen Hermeneutik, 1986
2. Hermeneutik
II. Wahrheit und Methode. Erganzungen. Register, 1986
3. Neuere
Philosophie I, Heggel – Husserl – Heidegger, 1987
4. Neuere
Philosophie II, Probleme – Gestalten, 1987
5. Griechische
Philosophie I, 1985
6. Griechische
Philosophie II, 1985
7. Griechische
Philosophie III. Plato im Dialog, 1991
8. Asthetik
und Poetik I. Kunst als Aussage, 1993
9. Asthetik
und Poetik II. Hermeneutik im Vollzug, 1993
10.
Hermeneutik im Ruckblick, 1995
Sebenarnya masih banyak lagi
karangannya yang tercecer dan terbeber sebagai sumbangan pemikiran pada
kesempatan lainnya. Hampir semua karyanya tersebut diterjemahkan secara
terpisah dalam berbagai bahasa dengan kategori tertentu.
BAB III
PENUTUP
Hans Georg Gadamer merupakan
seorang filosuf, dia juga merupakan seorang penggagas philosopichal hermeneutic yaitu mengenai
teori yang bisa menjadi landasan dalam penafsiran dan pemahaman suatu teks. Dalam
pandangan Gadamer, pemahaman manusia senantiasa merupakan peristiwa historis,
dialektik, dan linguistic.
Menurut Gadamer, seseorang yang akan
menginterpretasikan suatu teks, seseorang tersebut harus mempunyai pengetahuan,
dimana pengetahuan itu diperoleh dari suatu pemahaman, dan untuk meraih
pemahaman atas suatu teks atau tradisi maka Gadamer memaparkan beberapa teori
sebagai berikut:
1. Teori
“Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah” (Historically Effected Consciousness)
Pemahaman seorang penafsir ternyata
dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang melingkupinya, baik itu
berupa tradisi, kultur, ataupun pengalaman hidup. Oleh karena itu, pada saat
menafsirkan sebuah teks, seorang penafsir harus sadar bahwa dia berada pada posisi
tertentu yang bisa mempengaruhi pemahamannya terhadap sebuah teks yang sedang
ditafsirkannya.
2. Teori
“Prapemahaman” (Pre-Understanding)
Sebelum seseorang menafsirkan suatu
teks maka dia harus mempunyai pemahaman mengenai teks tersebut. Prapemahaman yang
merupakan posisi awal penafsir memang pasti dan harus ada ketika ia membaca
teks.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sumber Buku
Atho, Nafisul
dan Fahrudin, Arif, Hermeneutika Transendental, (Yogyakarta: IRCiSod,
2003)
Bertens, K, Filsafat
Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002)
Faiz,
Fakhrudin, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2005)
Hardiman, F
Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode
Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003)
Martinho G. da
Silva Gusmao, Hans-Georg Gadamer : Penggagas Filsafat Hermeneutik Modern yang
Mengagungkan Tradisi, (Yogyakarta: Kanisius, 2013)
Mulyono, Edi, “Hermeneutika
Linguistik-Dialektis”,
Palmer, E.
Richard, Hermeneutika : Teori Baru Mengenai Interpretasi, penerjemah:
Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
Poesprodjo, Hermeneutika,
(Bandung: Pustaka Setia, 2004)
Sumaryono, E, Hermeneutik:
Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
Syamsuddin,
Sahiron, “Integrasi Hermeneutika Hans-Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir:
Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’an pada Masa Kontemporer”,
Makalah pada Annual Conference Islamic Studies (ACIS) yang dilaksanakan oleh
Ditpertais Departeman Agama RI, Bandung, 26-30 November 2006
2. Sumber
Internet
“Hans-Georg
Gadamer”, dalam http://www.id.wikipedia.org,
Ponsa,
“Relevansi Konsep Gadamer tentang The Experience of History untuk Memaknai Teks
Kitab Suci yang Opresif”, dalam http://www.ponsa.wordpress.com
[1]
F. Budi
Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang
Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 37.
[2]
Nafisul Atho
dan Arif Fahrudin, Hermeneutika Transendental, (Yogyakarta: IRCiSod,
2003), hal. 133
[6] K. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 255-256. Bandingkan dengan
“Hans-Georg Gadamer”, dalam http://www.id.wikipedia.org,
diakses 21 April 2015
[7]
F. Budi
Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang
Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 37.
Bandingkan dengan E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat
(Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 23-24
[9] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 8-11
[10] Nafisul Atho dan Arif Fahrudin, Hermeneutika Transendental,
(Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hal. 134
[12] Nafisul Atho dan Arif Fahrudin, Hermeneutika Transendental,
(Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hlm. 134
[14] Richard E Palmer, Hermeneutika : Teori
Baru Mengenai Interpretasi, penerjemah: Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 255.
[15] Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi,
terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
hlm. 255
[16] Ponsa, “Relevansi Konsep Gadamer tentang The Experience of History untuk
Memaknai Teks Kitab Suci yang Opresif”, dalam http://www.ponsa.wordpress.com
diakses pada 21 April 2015
[19] E. Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 71-77 dan 84.
Bandingkan dengan Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar
Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2005), hlm.
142-143. Penjelasan gamblang Gadamer terhadap keempat faktor ini dapat dilihat
dalam Hans-Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat
Hermeneutika, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.
10-48.
[20] Sahiron Syamsuddin, “Integrasi
Hermeneutika Hans-Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir: Sebuah Proyek
Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’an pada Masa Kontemporer”, Makalah
pada Annual Conference Islamic Studies (ACIS) yang dilaksanakan oleh Ditpertais
Departeman Agama RI, Bandung, 26-30 November 2006, hlm. 5-9.
[24] Martinho G. da Silva Gusmao, Hans-Georg
Gadamer : Penggagas Filsafat Hermeneutik Modern yang Mengagungkan Tradisi,
(Yogyakarta: Kanisius, 2013), hlm. 34-35