Selasa, 24 November 2015

Hermeneutika H.G Gadamer

BAB I
PENDAHULUAN
            Pembicaraan mengenai Hermeneutik dalam dunia Intelektualitas kita memang belum terasa signifikansinya. Sekalipun para filosuf telah menggembor—gemborkannya mengenai urgensinya. Sering kita memahami dan mengimplikasikan bahwa hermeneutika merupakan ilmu tentang penafsiran “ilmu tafsir” sementara variable-variabel filosofis dan kritisnya diabaikan. Istilah “Hermeneutik” bukanlah hal yang asing di dunia kefilsafatan. Istilah itu sendiri mempunyai makna: menerjemahkan, menafsirkan yang timbul dari bahasa Yunani.[1] Namun dalam menafsirkan suatu teks butuh cara yang benar-benar hampir mendekati kebenaran atas teks sebenarnya. Bahasa di pembahasan ini sangatlah dibutuhkan. Di mana bahasa itu sendiri sebagai medium untuk berkomunikasi.
            Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra. Banyak sekali filosuf yang mempunyai pandangan mengenai hermeneutic, diantaranya adalah Seperti Emilio Betti, Martin Heidegger, Rudolf Bultmann, Kari-Otto Apel, Jurgen Habernas, Paul Ricoeur dan akhirnya sampai pada Hans George Gadamer. Dari beberapa filosuf tersebut mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam menafsirkan teks, dan hasilnya pula berbeda-beda. Dan masing-masing juga mempunyai alasan masing-masing dari buah penafsiran mereka.
            Dari beberapa filosuf tersebut, penulis akan mencoba memaparkan pemikiran hermeneutic dari seorang filosuf yang sangat terkenal dengan pemikiran hermeneutiknya, yaitu Hans George Gadamer. Karena seperti yang penulis ungkapkan diatas, meskipun mereka mempunyai pemikiran mengenai hermeneutika tetapi pemikiran tersebut berbedabeda dan juga mempunyai alasan yang berbeda-beda pula. Gadamer merupakan salah satu penggagas philosophical Hermeneutik yaitu mengenai teori yang bisa menjadi landasan dalam penafsiran dan pemahaman suatu teks. Adapun mengenai bebrapa pemikiran gadamer terhadap hermeneutika akan penulis jelaskan sebagaimana berikut.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Tentang H.G Gadamer
            Gadamer lahir pada 11 Februari 1900 di Marburg bagian selatan Jerman, bertepatan ketika Rene Descartes – pencetus metodologi keragu-raguan modern itu wafat, pada 250 tahun silam. Ia dilahirkan dari keluarga pasangan Emma Caroline Johanna Gewiese (1869-1904) dan Dr. Johannes Gadamer (1867-1928). Pada usia dua tahun ia pindah ke kota Breslau (nama eksisnya sekarang Wroclau, Polandia). Holy Gost School menjadi tempat ia menempuh pendidikan dasar dan menengah pada tahun 1907 sampai 1918. Ia belajar filsafat pada universitas di kota asalnya.[2]
            Gadamer belajar filsafat kepada sejumlah filsuf, di antaranya Paul Natorp, Nicolai Hartmann, dan Rudolf Bultmann. Pada tahun 1922, Gadamer berhasil meraih gelar doktor filsafat dengan sebuah disertasi tentang Plato. Sesudah itu, Gadamer mengikuti kuliah Martin Heidegger di Freiburg. Pada tahun 1927, Heidegger mengusulkan kepada Gadamer untuk membuat Habilitation. Dalam sistem akademis di Jerman, orang yang sudah memiliki gelar doktor filsafat harus membuat tulisan Habilitation sebelum bisa diangkat sebagai dosen di universitas. Di bawah bimbingan Heidegger, akhirnya Gadamer berhasil membuat Habilitation tentang etika dialektis Plato. Akhirnya, Gadamer pun diangkat menjadi dosen pada Universitas Marburg.[3] Selain dipengaruhi oleh beberapa filsuf tersebut, Gadamer juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, G.W.F. Hegel, Søren Kierkegaard, F.D.E. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Edmund Husserl, dan Karl Jaspers.[4]
            Ketertarikan Gadamer pada filsafat sempat ditentang oleh ayahnya yang berprofesi sebagai seorang profesor kimia di sebuah universitas. Menurut ayah Gadamer, filsafat, kesusastraan, dan ilmu-ilmu humaniora pada umumnya bukan merupakan ilmu pengetahuan yang serius. Akan tetapi, Gadamer tidak mendengar perkataan ayahnya. Ia berpegang teguh pada pilihannya untuk memperdalam filsafat. Tetapi sayang, sang ayah yang tidak merestui pilihan sang anak tidak sempat menyaksikan keberhasilan Gadamer sebagai seorang filsuf, karena sudah meninggal pada tahun 1928.[5]  
            Setelah pensiun, Gadamer sering mengisi ceramah di Amerika Serikat, Jerman, dan beberapa tempat lain. Walaupun telah memasuki usia lanjut, Gadamer tetap sering mengikuti diskusi-diskusi filosofis dan termasuk salah seorang filsuf yang paling populer di Jerman. Setelah melewati petualangan filosofis yang demikian panjang dan melelahkan, Gadamer akhirnya meninggal di kota Heidelberg pada 13 Maret 2002 di usia 102 tahun.[6] Itulah sekilas mengenai riwayat kehidupan H.G Gadamer. Selanjutnya,  penulis akan mengemukakan beberapa pemikiran hermeneutic Gadamer. Sebagaimana berikut.
B. Pengertian Hermeneutik
            Secara etimologis, kata ‘hermeneutik’ atau ‘hermeneutika’ berasal dari bahasa Inggris hermeneutics. Kata hermeneutics sendiri berasal dari bahasa Yunani hermeneuo yang berarti ‘mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata’ atau hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’ dan hermeneia yang berarti ‘penafsiran’. Kata hermeneuo juga bermakna ‘menerjemahkan’ atau ‘bertindak sebagai penafsir’. Dari beberapa makna ini dapat disimpulkan bahwa hermeneutik adalah ‘usaha untuk beralih dari sesuatu yang relatif gelap kepada sesuatu yang lebih terang’ atau ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti’.[7]
            Istilah hermeneutik sering diasosiasikan kepada tokoh mitologis Yunani yang bernama Hermes. Hermes adalah seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Sosok Hermes digambarkan sebagi seseorang yang mempunyai kaki bersayap. Dalam bahasa Latin, sosok ini lebih dikenal dengan nama Mercurius. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu, Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang digunakan oleh pendengarnya.[8]
            Dalam proses menerjemahkan pesan dewa yang dilakukan oleh Hermes tersebut terdapat faktor memahami dan menerangkan sebuah pesan ke dalam medium bahasa. Inilah sesungguhnya rahim historis yang kemudian melahirkan hermeneutik. Akan tetapi, proses hermeneutik tidak sekadar memahami, menerjemahkan, dan menjelaskan sebuah pesan. Di balik proses hermeneutik berjubel elemen-elemen lain yang saling berkait dan berkelindan, seperti praanggapan, tradisi, dialektika, bahasa, dan realitas.
            Selain itu, proses hermeneutik pun dari waktu ke waktu semakin berkembang mengikuti alur dialektika manusia yang semakin kompleks. Menurut telaah Fakhruddin Faiz, dalam perkembangannya, hermeneutik memiliki tiga model, yaitu hermeneutik sebagai cara untuk memahami atau hermeneutika teoritis, hermeneutik sebagai cara untuk memahami pemahaman atau hermeneutika filosofis, hermeneutik sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman atau hermeneutika kritis.[9]
C. Pemikiran Gadamer Terhadap Hermeneutika
            Perkembangan pemikiran Gadamer tidak bisa dilepaskan dari pengaruh guru dan sahabatnya, yaitu Martin Heiddeger. Hubungannya dengan Heiddeger sangat khusus dalam pengabdian tanpa henti untuk elaborasi dan kolaborasi yang mendalam pada jalan-jalan filosuf yang mereka bangun. Keyakinan yang dimiliki Gadamer sama halnya dengan Martin Heidegger, ia meyakini bahwa hermeneutika merupakan penyelidikan proses universal dari tindak pemahaman yang juga diklaim sebagai hakikat  kapasitas manusia sebagai sebuah Ada.[10] Gadamer juga memaknai hakikat hermeneutika yaitu ontologi dan fenomenologi pemahaman. Yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya sebagaimana adanya.[11]         “Pemahaman” (atau “mengerti” ) harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa “mengerti” itu tidak lain daripada cara berada manusia sendiri. Dengan demikian, eksistensi manusia selalu di bangun oleh kualitas proses pemahaman itu sendiri. Sehingga sangatlah wajar jika Gadamer tidak hanya memusatkan perhatiannya pada satu tugas filsafat (tori hermeneutis), melainkan juga melewati banyak tugas lain yang mungkin dan karenanya pemikiran ini melihat semua tema yang ada dalam filsafat dari satu segi tertentu, yaitu hermeneutika.[12] Menurutnya hermeneutik mempunyai tugas terutama memahami teks, maka pemahaman itu sendiri mempunyai hubungan fundamental dengan bahasa. Kita menumbuhkan di dalam bahasa kita sendiri unsur-unsur penting dari pemahaman, sehingga pembicara asli tidak akan gagal untuk menangakap nuansa-nuansa atau benang merah bahasanya sendiri.[13]
            Sebelum munculnya Heidegger dan Gadamer, diskursus Hermeneutika disatukan dengan sains yang bersifat metodologis, dengan tekanan bahwa ilmu pengetahuan apapun baru diakui sebagai ilmiah jika memiliki basis empirisme. Hermeneutika menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan alam positivisme yang notabene mensyaratkan commensurable, yaitu obyektivisme. Ini melahirkan dilema bagi hermeneutika lantaran sebagai interpretasi tentu saja ia tidak bisa itu sendiri yang tentu memiliki wilayah historisnya sendiri.[14]
            Sosok Betti, Schleiermacher dan Diltey merupakan penggagas  aliran hermeneutika obyektivis ini. Sekalipun dalam tubuh Betti, Schleiermacher dan Dilthey sendiri terdapat perbedaan dalam konteks obyektivisme hermeneutika ini, di mana Schleiermacher lebih memfokuskan pada “pengarang” sebagai obyektivikasinya dan Dilthey lebih pada “teks”, namun ketiganya secara utopis mensyaratkan tampilan hermeneutika yang steril dari intervensi historisitas penafsir.
            Betti, misalnya, ia dapat mengemukakan tiga tipe interpretasi untuk mengukuhkan obyektivismenya: (1) Rekognitinif, yaitu pengenalan yang bersifat otentik, pemahaman dari sudut diri sendiri(orang pertama), (2) Reproduktif, yaitu pembuatan atau penyusunan kembali yang ditujukan untuk mengkomunikasikan beberapa pengalaman, dan (3) Normatif, yaitu memberikan panduan dalam pelaksanaannya.
            Sementara Schleiermacher dan Dilthey (setidaknya) bisa dilacak dari penolakan kuat mereka atas munculnya praandaian dalam diri penafsir ketika akan mendekati sebuah teks. Keduanya memutlakan diri penafsir untuk menyebrangi “waktu yang mengantarai” historisitas pengarang dengan  historisitas penafsir. Penafsir dituntut untuk merasuki dan menyatu dengan individu pengarang, sehingga penafsir dapat betul-betul memahami juntaian makna yang ditanamkan pengarang dalam teksnya.
            Dalam krusialitas inilah, Gadamer memunculkan antitesis yang sangat ekstrem dengan hermeneutika filosofinya, bahwa upaya obyektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan belaka bagi siapapun yang ingin menafsirkan teks. Karena antara pengarang dan penafsir mempunyai watak tersendiri. Dengan demikian, upaya obyektivisme murni dalam hermeneutika hanya aka menjadi kemustahilan, sehingga yang kemudian bisa dilakukan penafsiran adalah memproduksi teks sehingga menjadi banyak makna. Bisa dikatakan hermeneutika yang bisa dihidupkan dengan baik menurut Gadamer yaitu subyektivisme interpretasi yang relevan dengan praandai-praandaian yang dibangun oleh historisitasnya di masa kini. Pemahaman hermeneutika inilah yang membuat Gadamer membantah positivisme dalam kancah hermeneutika. Ia menegaskan yang terpenting dalam jurang dan tradisi itu adalah dialekta atau dialog yang produktif antara masa lalu dan masa kini.
            Maka dapat disimpulkan bahwa, kerangka hermeneutika Gadamer secara kategoris berkaitan dengan pokok-pokok khusus, yaitu (a) kebenaran sebagai yang tak tersembunyi, (b) Bahasa dan pemahaman, dan (c) Hubungan antara kebenaran dan metode.
D. Sistem dan Metode Ilmu yang Ditawarkan oleh Hans-Georg Gadamer
            Dalam pandangan Gadamer, pemahaman manusia senantiasa merupakan peristiwa historis, dialektik, dan linguistik.[15] Dengan demikian, dalam sistem dan metode pengetahuan yang digagas oleh Gadamer, kebenaran diperoleh melalui proses dialektika. Tujuan dari proses dialektika adalah menggelitik realitas yang dijumpai, dalam hal ini teks, supaya mengungkapkan dirinya. Oleh karena itu, dalam pandangan Gadamer, tugas hermeneutik adalah mengeluarkan teks dari alienasinya, dan mengembalikannya ke dalam dialog yang riil dengan kehidupan manusia di masa kini.[16]
            Menurut Gadamer, tujuan hermeneutik bukanlah menerapkan berbagai macam aturan baku dan kaku untuk meraih pemahaman yang “benar objektif”, tetapi untuk mendapatkan pemahaman seluas mungkin. Dengan demikian, kunci untuk memahami bukan dengan cara memanipulasi atau menguasai, tetapi dengan partisipasi dan keterbukaan; bukan dengan pengetahuan, tetapi dengan pengalaman; dan bukan dengan metodologi, tetapi dengan dialektika.[17] Dalam proses dialektika, teks dan penafsir menjalani suatu keterbukaan satu sama lain sehingga keduanya saling memberi dan menerima yang kemudian memungkinkan bagi lahirnya pemahaman yang baru.[18]
            Dalam proses pemahaman dan interpretasi dengan sistem dialektika ini, Gadamer meniscayakan empat faktor yang tidak boleh diabaikan.[19] Pertama, bildung atau pembentukan jalan pikiran. Dalam kaitannya dengan proses pemahaman atau penafsiran, jika seseorang membaca sebuah teks, maka seluruh pengalaman yang dimiliki oleh orang tersebut akan ikut berperan. Dengan demikian, penafsiran dua orang yang memiliki latar belakang, kebudayaan, usia, dan tingkat pendidikan yang berbeda tidak akan sama. Dalam proses penafsiran, bildung sangat penting. Sebab, tanpa bildung, orang tidak akan dapat memahami ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Singkatnya, orang tidak dapat menginterpretasi ilmu-ilmu tersebut dengan caranya sendiri.
            Kedua, sensus communis atau pertimbangan praktis yang baik atau pandangan yang mendasari komunitas. Istilah ini merujuk pada aspek-aspek sosial atau pergaulan sosial. Para filsuf zaman dulu menyebutnya dengan “kebijaksanaan”. Istilah mudahnya adalah “suara hati”. Misalnya, sejarawan sangat memerlukan sensus communis untuk memahami latar belakang yang mendasari pola sikap manusia. Ketiga, pertimbangan, yaitu menggolongkan hal-hal yang khusus atas dasar pandangan tentang yang universal. Pertimbangan merupakan sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus dilakukan. Faktor ini memang sulit untuk dipelajari dan diajarkan. Faktor ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan kasus-kasus yang ada. Faktor ini menjadi pembeda antara orang pintar dan orang bodoh. Orang bodoh yang miskin pertimbangan tidak dapat menghimpun kembali apa yang telah dipelajari dan diketahuinya sehingga ia tidak dapat mempergunakan hal-hal tersebut dengan benar. Keempat, taste atau selera, yaitu sikap subjektif yang berhubungan dengan macam-macam rasa atau keseimbangan antara insting pancaindra dan kebebasan intelektual. Gadamer menyamakan selera dengan rasa. Dalam operasionalnya, selera tidak memakai pengetahuan akali. Jika selera menunjukkan reaksi negatif atas sesuatu, kita tidak tahu penyebabnya.
E. Teori dalam Memperoleh Pengetahuan
            Berikut ini adalah teori Gadamer dalam memperoleh pengetahuan, dalam hal ini meraih pemahaman atas suatu teks atau tradisi.[20]
1. Teori “Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah” (Historically Effected Consciousness)
            Menurut teori ini, pemahaman seorang penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang melingkupinya, baik itu berupa tradisi, kultur, ataupun pengalaman hidup. Oleh karena itu, pada saat menafsirkan sebuah teks, seorang penafsir harus sadar bahwa dia berada pada posisi tertentu yang bisa mempengaruhi pemahamannya terhadap sebuah teks yang sedang ditafsirkannya. Lebih lanjut Gadamer mengatakan, seseorang harus belajar memahami dan mengenali bahwa dalam setiap pemahaman, baik dia sadar atau tidak, pengaruh dari affective history (“sejarah yang mempengaruhi seseorang”) sangat mengambil peran. Sebagaimana diakui oleh Gadamer, mengatasi problem keterpengaruhan ini memang tidaklah mudah. Pesan dari teori ini adalah bahwa seorang penafsir harus mampu mengatasi subjektivitasnya ketika dia menafsirkan sebuah teks.[21]
2. Teori “Prapemahaman” (Pre-Understanding)
            Keterpengaruhan oleh situasi hermeneutik atau affective history tertentu membentuk pada diri seorang penafsir apa yang disebut Gadamer dengan istilah pre-understanding atau “prapemahaman” (baca: praanggapan) terhadap teks yang ditafsirkan. Prapemahaman yang merupakan posisi awal penafsir memang pasti dan harus ada ketika ia membaca teks. Gadamer menyatakan bahwa dalam proses pemahaman, prapemahaman selalu memainkan peran. Dalam praktiknya, prapemahaman ini diwarnai oleh tradisi yang berpengaruh, di mana seorang penafsir berada, dan juga diwarnai oleh perkiraan awal (prejudice) yang terbentuk dalam tradisi tersebut.[22]
            Keharusan adanya prapemahaman tersebut, menurut teori ini, dimaksudkan agar seorang penafsir mampu mendialogkannya dengan isi teks yang ditafsirkan. Tanpa prapemahaman, seseorang tidak akan berhasil memahami teks dengan baik. Bahkan, Oliver R. Scholz menyatakan bahwa prapemahaman yang disebutnya dengan istilah “asumsi atau dugaan awal” merupakan “sarana yang tak terelakkan bagi pemahaman yang benar”. Meskipun demikian, menurut Gadamer, prapemahaman harus terbuka untuk dikritisi, direhabilitasi, dan dikoreksi oleh penafsir itu sendiri ketika dia sadar atau mengetahui bahwa prapemahamannya itu tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh teks yang ditafsirkan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman terhadap pesan teks. Hasil dari rehabilitasi atau koreksi terhadap prapemahaman ini disebutnya dengan istilah “kesempurnaan prapemahaman”.[23]
F. Karya-Karya Monumental Gadamer
            Dokumentasi lengkap dari karya-karyanya disatukan dalam apa yang disebut sebagai Gesammelte Werke (10 Volume) yang diterbitkan oleh Mohr (1985-1995) dan Unveranderte Taschenbuchausgabe (1999), semuanya di Tubingen. Adapun kara-karya tersebut adalah sebagai berikut:[24]
1. Hermeneutik I. Wahrheit und Methode. Grundzuge einer philosophischen Hermeneutik, 1986
2. Hermeneutik II. Wahrheit und Methode. Erganzungen. Register, 1986
3. Neuere Philosophie I, Heggel – Husserl – Heidegger, 1987
4. Neuere Philosophie II, Probleme – Gestalten, 1987
5. Griechische Philosophie I, 1985
6. Griechische Philosophie II, 1985
7. Griechische Philosophie III. Plato im Dialog, 1991
8. Asthetik und Poetik I. Kunst als Aussage, 1993
9. Asthetik und Poetik II. Hermeneutik im Vollzug, 1993
10. Hermeneutik im Ruckblick, 1995
            Sebenarnya masih banyak lagi karangannya yang tercecer dan terbeber sebagai sumbangan pemikiran pada kesempatan lainnya. Hampir semua karyanya tersebut diterjemahkan secara terpisah dalam berbagai bahasa dengan kategori tertentu.















BAB III
PENUTUP
            Hans Georg Gadamer merupakan seorang filosuf, dia juga merupakan seorang penggagas  philosopichal hermeneutic yaitu mengenai teori yang bisa menjadi landasan dalam penafsiran dan pemahaman suatu teks. Dalam pandangan Gadamer, pemahaman manusia senantiasa merupakan peristiwa historis, dialektik, dan linguistic.
            Menurut Gadamer, seseorang yang akan menginterpretasikan suatu teks, seseorang tersebut harus mempunyai pengetahuan, dimana pengetahuan itu diperoleh dari suatu pemahaman, dan untuk meraih pemahaman atas suatu teks atau tradisi maka Gadamer memaparkan beberapa teori sebagai berikut:
1. Teori “Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah” (Historically Effected Consciousness)
            Pemahaman seorang penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang melingkupinya, baik itu berupa tradisi, kultur, ataupun pengalaman hidup. Oleh karena itu, pada saat menafsirkan sebuah teks, seorang penafsir harus sadar bahwa dia berada pada posisi tertentu yang bisa mempengaruhi pemahamannya terhadap sebuah teks yang sedang ditafsirkannya.
2. Teori “Prapemahaman” (Pre-Understanding)
            Sebelum seseorang menafsirkan suatu teks maka dia harus mempunyai pemahaman mengenai teks tersebut. Prapemahaman yang merupakan posisi awal penafsir memang pasti dan harus ada ketika ia membaca teks.







DAFTAR PUSTAKA
1. Sumber Buku
Atho, Nafisul dan Fahrudin, Arif, Hermeneutika Transendental, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003)
Bertens, K, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002)
Faiz, Fakhrudin, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005)
Hardiman, F Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003)
Martinho G. da Silva Gusmao, Hans-Georg Gadamer : Penggagas Filsafat Hermeneutik Modern yang Mengagungkan Tradisi, (Yogyakarta: Kanisius, 2013)
Mulyono, Edi, “Hermeneutika Linguistik-Dialektis”,
Palmer, E. Richard, Hermeneutika : Teori Baru Mengenai Interpretasi, penerjemah: Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
Poesprodjo, Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004)
Sumaryono, E, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
Syamsuddin, Sahiron, “Integrasi Hermeneutika Hans-Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir: Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’an pada Masa Kontemporer”, Makalah pada Annual Conference Islamic Studies (ACIS) yang dilaksanakan oleh Ditpertais Departeman Agama RI, Bandung, 26-30 November 2006

2. Sumber Internet
“Hans-Georg Gadamer”, dalam  http://www.id.wikipedia.org,
Ponsa, “Relevansi Konsep Gadamer tentang The Experience of History untuk Memaknai Teks Kitab Suci yang Opresif”, dalam http://www.ponsa.wordpress.com




[1] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 37.
[2] Nafisul Atho dan Arif Fahrudin, Hermeneutika Transendental, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hal. 133
[3] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 254-255
[4] “Hans-Georg Gadamer”, dalam  http://www.id.wikipedia.org, diakses pada 21 April 2015.
[5] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 254.
[6] K. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 255-256. Bandingkan dengan “Hans-Georg Gadamer”, dalam http://www.id.wikipedia.org, diakses 21 April 2015
[7] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 37. Bandingkan dengan E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 23-24
[8] Ibid
[9] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 8-11
[10] Nafisul Atho dan Arif Fahrudin, Hermeneutika Transendental, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hal. 134
[11] Poesprodjo, Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 94
[12] Nafisul Atho dan Arif Fahrudin, Hermeneutika Transendental, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hlm. 134
[13] Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1993), hlm. 75.
[14] Richard E Palmer, Hermeneutika : Teori Baru Mengenai Interpretasi, penerjemah: Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 255.
[15] Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 255
[16] Ponsa, “Relevansi Konsep Gadamer tentang The Experience of History untuk Memaknai Teks Kitab Suci yang Opresif”, dalam http://www.ponsa.wordpress.com diakses pada 21 April 2015
[17] Richard E. Palmer, Hermeneutika, hlm. 255.
[18] Edi Mulyono, “Hermeneutika Linguistik-Dialektis”, hlm. 142
[19] E. Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 71-77 dan 84. Bandingkan dengan Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2005), hlm. 142-143. Penjelasan gamblang Gadamer terhadap keempat faktor ini dapat dilihat dalam Hans-Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 10-48.

[20] Sahiron Syamsuddin, “Integrasi Hermeneutika Hans-Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir: Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’an pada Masa Kontemporer”, Makalah pada Annual Conference Islamic Studies (ACIS) yang dilaksanakan oleh Ditpertais Departeman Agama RI, Bandung, 26-30 November 2006, hlm. 5-9.
[21] Ibid., hlm. 6-7.
[22] Ibid., hlm. 7
[23] Ibid.
[24] Martinho G. da Silva Gusmao, Hans-Georg Gadamer : Penggagas Filsafat Hermeneutik Modern yang Mengagungkan Tradisi, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), hlm. 34-35

murakkab

BAB I
PENDAHULUAN
            Seperti yang telah dijelaskan dalam materi-materi yang telah lalu bahwa dalam mengkaji bahasa, khususnya bahasa Arab, maka sangatlah diperlukan mempelajari sintaksis (ilmu nahwu) agar bahasa bisa tersusun dengan baik dan benar. Ilmu nahwu adalah kaidah-kaidah  Bahasa Arab untuk mengetahui bentuk kata dan keadaan-keadaannya ketika masih satu kata (Mufrod) atau ketika sudah tersusun (Murokkab). Termasuk didalamnya adalah pembahasan SHOROF. Karena Ilmu Shorof bagian dari Ilmu Nahwu, yang ditekankan kepada pembahasan bentuk kata dan keadaannya ketika mufrodnya.
            Dalam pembahasan kali ini, penulis memfokuskan pada kajian ilmu nahwu pada pembahasan murakkab, sebagaimana kita ketahui, bahwasannya bahasa itu tersusun dari beberapa kata, dan pembahasan mengenai susunan kata dalam bahasa Arab masuk pada ranah kajian ilmu nahwu. Murakkab yang dibahas dalam ilmu nahwu pun sangat bermacam-macam dan rinci, dengan fungsi yang berbeda-beda, oleh karena itu penulis akan membahas mengenai beberapa murakkab, supaya kita sebagai pengkaji bahasa, hususnya bahasa Arab, bisa menyusun bahasa Arab dengan benar dan baik, sesuai kaidah nahwiyah. Adapun penjelasannya adalah sebagaimana berikut.




           



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Murakkab
            Murakkab adalah suatu ucapan yang tersusun da؛ri dua kata atau lebih serta mempunyai suatu makna, baik berupa makna sempurna, seperti contoh: "النجاةُ فى الصدق". Maupun makna yang tidak sempurna, seperti contoh:أَنْ تُتْقِنَ عَمَلَكَ"   [1] "نورُ الشمس الإنسانية الفاضلة"، وَ "
Murakkab dibagi menjadi 6 macam, yaitu:
1. Murakkab isnadi
2. Murakkab idhafi
3. Murakkab bayani
4. Murakkab ‘athfi
5. Murakkab mazji
6. Murakkab ‘adadi
Adapun dalam pembahasan kali ini penulis hanya membahas murakkab ‘athfi, murakkab mazji, dan murakkab ‘adadi. Dan penjelasannya sebagai berikut.
B. Pembagian Murakkab
1. Murakkab ‘Athfi
            Murakkab ‘athfi ialah susunan yang terdiri dari ma’thuf (lafadz yang diathafkan) dan ma’thuf ‘alaih (lafadz yang diathafi) dengan dirangkaikan satu huruf ‘athaf ditengahnya (huruf yang menghubungkan).[2] ‘athaf terbagi menjadi 2 macam, yaitu: ‘athaf bayan dan ‘athaf nasaq.


a. ‘Athaf Bayan
            ‘Athaf bayan merupakan tabi’ (kata yang ikut) seperti halnya na’at berfungsi menjelaskan matbu’ (kata yang diikuti)nya, jika terdiri dari isim ma’rifat dan untuk mentakhshis matbu’nya jika terdiri dari isim nakirah.[3] contoh:
أَقْسَمَ بِاللهِ أَبُوْحَفْصٍ عُمَرُ       : Abu hafsah alias umar, Telah bersumpah kepada Allah
Kata عُمَرُ  pada kalimat diatas menjelaskan maksud dari kata أَبُوحَفْصٍ
هذَا خَاتَمٌ ذَهَبٌ                   : Ini cincin emas
Kata ذَهَبٌ dalam kalimat diatas menjelaskan maksud kata خَاتَمٌ yang nakirah (umum).
b. ‘Athaf Nasaq
            ‘Athaf nasaq ialah tabi’ (kata ang ikut) pada matbu’nya (kata yang diikuti) yang memakai perantara salah satu dari sepuluh huruf, sebagai berikut: wawu (و) , fa(ف) , tsumma (ثمّ) , hatta (حتّى) , am (أم) , Au (أوْ), Imma (إمّا), Bal (بَلْ), Laa (لَا), Laakin (لكِنْ). Pada setiap huruf ‘athaf tersebut juga mempunyai fungsi yang berbeda-beda, adapun fungsifungsinya adalah sebagai berikut:
Tujuh huruf ‘athaf yang pertama, yaitu: wawu (و) , fa’ (ف) , tsumma (ثمّ) , hatta (حتّى) , am (أم) , Au (أوْ), dan Imma (إمَّا) berfungsi menggabungkan kata yang di’athafkan (ma’thuf) dengan kata yang di’athafi (ma’thuf ‘alaih) dalam segi I’rab dan makna. Sedangkan tiga huruf ‘athaf lainnya, yaitu: Bal (بَلْ), Laa (لَا), Laakin (لكِنْ) berfungsi untuk menggabungkan ma’thuf dan ma’thuf ‘alaih dalam segi I’rabnya.[4]
c. Makna-makna huruf ‘Athaf
1. الواو (dan) huruf ini mutlak digunakan untuk menghubungkan dua kata yang setara, baik berupa isim ataupun berupa fi’il.
Contoh :  جَاءَ أَحْمَدُ وَبَكْرٌ (ahmad dan bakr telah datang)
2. الفاء (kemudian) huruf ini berfungsi menunjukan makna tartib (urutan) dan ta’qib(penyusulan). Ta’qib menunjukan bahwa kata yang kedua datang setelah yang pertama tanpa tenggang waktu.
Contoh :  جَاءَ أَحْمَدُ فَبَكْرٌ (Ahmad telah datang kemudian bakr)
3. ثُمّ (kemudian) huruf ini berfungsi menunjukan makna tartib dan tarakhi. Tarakhi berbeda dengan ta’qib dari segi adanya tenggang waktu antara kata pertama dan kedua.[5]
Contoh : جَاءَ عَلِيٌّ ثُمَّ بَكْرٌ (ali telah datang kemudian bakr)
4. او (atau) huruf ini berfungsi menunjukan makan takhyir (pilihan) atau ibahah (mubah). Perbedaannya jika takhyir harus memilih salah satu pilihan dan  ibahah boleh memilih kedua pilihan yang ada.
Contoh 1 :طِمَةَ أَوْ أُخْتَهَا    تَزَوَّجْ فَا(nikahilah Fatimah atau kakak perempuannya) contoh ini merupakan contoh huruf  ‘athaf أَوْ  yang menunjukkan makna takhyir.
Contoh 2 : جَالِسِ العُلَمَاءَ أَوِ الزُّهَادَ (pergaulilah ulama’ atau orang-orang yang zuhud) contoh ini merupakan contoh huruf ‘athaf أَوْ yang menunjukkan makna ibahah.
5. ام (atau) huruf ini berfungsi untuk menunjukkan arti mencari ketegasan, jika jatuh sesudah hamzah istifham yang masuk pada salah satu dua hal yang sama.
Contoh :
أَزَيْدٌ عِنْدَكَ أَمْ عَمْرٌو
أَزَيْدٌ أَمْ خَالِدٌ حَاضِرٌ
6. إمّا (atau) huruf ini dapat digunakan dalam kalimat dengan syarat harus didahului dengan huruf إمّا lainnya dan huruf ini memiliki makna yang sama dengan huruf او(atau).
Contoh : تَزَوَّجْ إِمَّا فَاطِمَةَ وَإمَّا أُخْتَهَا  (nikahilah Fatimah tau kakak perempuannya)
7.  بل (tetapi) huruf ini digunakan untuk idhrab, yaitu mengalihkan perhatian dari kata yang terletak sebelum بل .
Contohnya :  جَاءَ مُحَمَّدٌ بَلْ عَمْرٌو (Muhammad telah datang, bahkan amer)
8. لا (tidak) huruf ini berfungsi menafikan kesetaraan hukum pada kata yang terletak diantara huruf tersebut.[6]
Contoh : جَاءَ خَالِدٌ لَا مُحَمَّدٌ (Khalid telah datang, bukan Muhammad)
9. لكنْ (akan tetapi) huruf ini menunjukan makna istidrak (pembetulan)
 Contoh : مَا مَرَرْتُ بِرَجُلٍ صَالِحٍ لكِنْ طَالِحٍ (saya tidak bertemu seorang laki-laki shaleh, melainkan seorang laki-laki yang jahat)
10.  حتّى (hingga) huruf ‘athaf ini jarang digunakan, jika dipakai harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a. lafadz yang di’athafkan berupa isim dzahir
b. lafadz yang di’athafkan bagian dari yang di’athafi (معطوف عليه)
c. lafadz yang di’athafi menjadi sasaran atau tujuan terakhir.[7]
Contoh :
أَكَلْتُ السَّمَكَةَ حَتَّى رَاْسَهَا  (saya telah makan ikan hingga kepalanya)
d. Hukum ‘Athaf
            ‘Athaf, baik bayan maupun nasaq itu harus sama dengan ma’thuf (yang di’athafi) dalam empat perkara dari sepuluh perkara, yaitu:
1. Dalam segi I’rabnya (rafa’, nasab, atau jer)
2. Dalam segi muannats atau mudzakkarnya
3. Dalam segi ma’rifat atau nakirahnya
4. Dalam segi mufrad, tatsniyah, atau jamak-nya
‘Athaf bayan itu pada umumnya boleh dii’rabi sebagai badal kull min kull.[8]
2. Murakkab Mazji
     Murakkab mazji adalah susunan dari dua buah kata yang dijadikan satu kata, seperti:
1. بَيْتَ بَيْتَ , (bermakna berdekatan rumahnya) dari asal kata بَيْتٌ dan بَيْتٌ
2. بَيْتُ لَحْمٍ, (nama sebuah kota di Palestina) dari asal kata بَيْتٌ   dan لَحْمٌ
3. حَضْرَ مَوْت, (nama sebuah daerah di Yaman) dari asal kata حَضَرَ dan مَوْتٌ
4. . سِيْبَوَيْهِ, (nama seorang tokoh ulama’ Nahwu dari Bashrah) dari asal kata سِيْبًا dan وَيْهِ
5. صَبَاحَ مَسَاءَ , (pagi sore) dari asal kata صَبَاحٌ dan مَسَاءٌ

Adapun dari segi I’rabnya, Murakkab mazji dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Mabni Kasrah (مَبْنِي عَلَى الْكَسْرِ) jika juz akhirnya berupa lafadz وَيْهِ
Contoh :
سِيْبَوَيْهِ عَالِمٌ كَبِيْرٌ                    : Imam sibawaih seorang alim yang besar
رَأَيْتُ سِيْبَوَيْهِ عَالِمًا كَبِيْرًا             : Aku lihat (yakin) bahwa imam sibawaih adalam seorang alim besar
قَرَأْتُ مُؤَلَّفَاتِ سِيْبَوَيْهِ               : Aku baca semua karangan imam sibawaih
2. Dii’rabi seperti isim ghairu munsharif (rafa’nya ditandai dengan dhammah, nashab dan jer nya ditandai dengan fathah) jika dipergunakan nama dari suatu, dan juz keduanya tidak berupa lafadz وَيْهِ  , Contoh:
بَعْلَبَكُّ بَلْدَةٌ فِي الشَّامِ       : Ba’labakka adalah sebuah kota di Negara Syam
سَكَنْتُ حَضْرَمَوْتَ        : Saya tinggal di negeri Hadramaut
غَادَرْتُ إِلَى حَضْرَمَوْتَ  : Saya pergi ke Hadramaut
3. Dimabnikan fath kedua juznya jika tidak menunjukkan nama dari sesuatu dan kata yang kedua tidak berupa lafadz وَيْهِ,[9] contoh:
طَالِعْ دُرُوْسَكَ لَيْلَ نَهَارَ              : telaahlah pelajaranmu siang malam
أَنْتَ جَارِيْ بَيْتَ بَيْتَ                 : Engkau tetanggaku yang berdekatan rumah
ذّهّبُوْا شَذَرَ مَذّرَ وَشِذَرَ مِذّرَ         : mereka bercerai berai

3. Murakkab ‘Adadi
     Murakkab ‘adadi termasuk dalam murakkab mazji, yaitu setiap dua ‘adad (bilangan) yang diantara keduanya terdapat huruf ‘athaf yang dikira-kirakan.[10] Dan dalam kitab alfiyah ibn malik disebutkan bahwa Tarkib ‘adadi adalah susunan dari dua isim ‘adad (isim yang menunjukkan arti bilangan) yang dirangkaikan huruf ‘athaf wawu yang dikira-kirakan, yaitu terdiri dari bilangan sebelas, dua belas, sampai dengan Sembilan belas, atau bilangan kesebelas, kedua belas, sampai dengan kesembilan belas, seperti:
أَحَدَ عَشَرَ – اثْنَا عَشَرَ          : (sebelas-dua belas)
حَادِى عَشَرَ – ثَانِيَ عَشَرَ     : (yang kesebelas-yang kedua belas)
            Murakkab ‘adadi kedua isim ‘adadnya dimabnikan fath (مَبْنِي عَلى الفَتْح) . contoh:
عِنْدِيْ خَمْسَةَ عَشَرَ كِتَابًا                   : saya mempunyai 15 buah kitab
رَأَيْتُ خَمْسَةَ عَشَرَ جَيْشًا                  : saya melihat 15 orang tentara
مَشَيْتُ مَعَ خَمْسَةَ عَشَرَ اُسْتَاذًا             : saya berjalan bersama dengan 15 orang guru
Kecuali jika murakkab adadi tersebut:
a.) isim ‘adad yang pertama berupa إثْنَا dan إِثْنَتَا , maka harus dimu’rabkan menurut amil sebelumnya dan di-I’rabi seperti isim tatsniyah, sedang isim adad kedua yang berupa عَشَرَ (yang bersamaan dengan إثْنَا) dan عَشْرَة  (yang bersamaan dengan إثْنَتَا) tetap dimabnikan fath. Contoh:
1. untuk menunjukkan mudzakkar
جَاءَ اثْنَاعَشَرَ رَجُلًا                                    (dua belas orang laki-laki telah datang)
أَكْرَمْتُ اثْنَي عَشَرَ تِلْمِيْذًا                   (Aku hormati dua belas murid)
أُقَدِّرُ جُهُودَ اثْنَى عَشَرَ مُجَاهِدًا             (Aku hargai usaha-usaha dua belas orang pejuang)
2. untuk menunjukkan muannats
جَاءَتْ إثْنَتَا عَشْرَةَ طَالِبَةً                   (dua belas pelajar putri telah datang)
دَرَّبَتْ الأُسْتَاذَةُ اثْنَتَى عَشْرَةَ طَالِبَةً       (ibu dosen melatih dua belas mahasiswi)
مَرَرْتُ بِاِثْنَتى عَشْرَةَ أُسْتَاذَةً               (aku bertemu dua belas ibu dosen)
b.) Isim ‘adad yang pertama ikut wazan فَاعِلٌ   yang huruf akhirnya berupa ya’ (seperti الْحَادِي dan الثَّانِي ) maka dii’rabi dengan isim manqush, yakni rafa’ ditandai dengan dlomah yang dikira-kirakan pada ya’, nashab ditandai dengan fathah pada ya’, dan jarnya ditandai dengan kasrah yang dikira-kirakan pada ya’ juga. Contoh:
هذَا الْبَابُ الْحَادِى عَشَرَ وَالثَّانِى عَشَرَ                (ini bab yang kesebelas dan kedua belas)
قَرَأْتُ الفَصْلَ الحَادِيَ عَشَرَ وَالثَّانِيَ عَشَرَ           (aku membahas pasal yang kesebelas dan yang ke 12)
نَظَرْتُ إلَى الصَّفِّ الْحادِى عَشَرَ والثَانِى عَشَرَ     (aku melihat barisan yang ke 11 dan yang ke 12)
c.) murakkab ‘adadi mulai dari bilangan tiga belas (ثَلَاثَةَ عَشَرَ) sampai dengan bilangan Sembilan belas (تِسْعَةَ عَشَرَ) dua buah isim ‘adadnya selalu berbeda, yakni jika isim adad yang pertama ada huruf ta’, maka isim ‘adad yang kedua tidak ada huruf ta’nya dan begitu sebaliknya.
Jadi jika yang pertama tidak ada huruf ta’, maka yang kedua harus bersamaan dengan huruf ta’, dimana yang pertama untuk menghitung ma’dud mudzakar. Seperti:
خَمْسَةَ عَشَرَ رَجُلًا              (lima belas orang laki-laki)
Sedang yang kedua untuk menghitung ma’dud muannats, seperti:
خَمْسَ عَشَرَةَ امْرَأَةً                         (Lima belas wanita)
d.) susunan dari dua isim ‘adad yang dirangkaikan oleh huruf ‘athaf tidak termasuk dalam murakkab ‘adadi, akan tetapi murakkab ‘athfi.[11] Seperti:
ثَلَاثَةٌ وَثَلَاثُونَ، أَرْبَعَةٌ وَسِتُّونَ            (tiga puluh tiga, enam puluh empat, dan lain-lain).











DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghalayaini, Musthafa, Jami’ al-durus al-‘arabiyyah (Bairut, 2007)
Arra’aini, Muhammad, Syamsuddin, diterjemahkan oleh M fadlil Sa’id an-Nadwi, Mutammimah Ajjurumiyah,  (Surabaya: al-Hidayah, 1423 H)
Shaleh Madwi, Maftuhin M,  Terjemah Alfiyah Ibnu Malik, Juz 1 (Surabaya: Putra Jaya, 1986)




[1] Mushthafa al-Ghalayaini, Jami’ al-durus al-‘arabiyyah (Bairut, 2007), hlm.10
[2] M maftuhin shaleh Madwi, Terjemah Alfiyah Ibnu Malik, Juz 1 (Surabaya: Putra Jaya, 1986), hlm. 16
[3] Syamsuddin Muhammad Arra’aini, diterjemahkan oleh M fadlil Sa’id an-Nadwi, Mutammimah Ajjurumiyah,  (Surabaya: al-Hidayah, 1423 H), hlm. 318
[4] Syeikh Syamsuddin Muhammad ar-Ra’aini,…., hlm. 321
[5] Musthafa al-Ghalayain, Jami’ al-durus, (Bairut: darul fikr, 2007), hlm512-513
[6] Musthafa al-Ghalayain, Jami’ al-durus, (Bairut: darul fikr, 2007), hlm512-513
[7] Musthafa al-Ghalayain, Jami’ al-durus, (Bairut: darul fikr, 2007), hlm512-513
[8] Syeikh Syamsuddin Muhammad ar-Ra’aini,…, hlm. 320
[9] M maftuhin shaleh Madwi, Terjemah Alfiyah Ibnu Malik, Juz 1 (Surabaya: Putra Jaya, 1986), hlm. 16-17
[10] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 16
[11] M maftuhin shaleh Madwi, Terjemah Alfiyah Ibnu Malik, Juz 1 (Surabaya: Putra Jaya, 1986), hlm. 18-20