Perkembangan bahasa arab pada zaman bani abbasiyah
BAHASA ARAB
PADA ZAMAN BANI ABBASIYAH Walaupun pemerintahan Bani Umayyah yang berasal dari
keturunan bangsa Arab telah runtuh, namun fungsi dan peranan bahasa Arab tidak
ikut jatuh. Bahasa Arab tetap berperan dan menempati posisi yang sangat penting
sebagaimana mula awalnya meskipun zaman dinasti Bani Abbasiyah --menurut
sejarawan Islam-- menang dan menggambarkan kemenangan orang-orang Persia atas
Bani Umayyah yang berasal dari bangsa Arab. Pernyataan ini didasarkan atas bukti bahwa sebagian menteri
dan panglima militer adalah orang-orang Persia atau ketrurunan orang-orang
Persia. Seluruh Khalifah Bani Abbasiyah memberikan perhatian serius kepada
bahasa Arab. Kecintaan terhadap bahasa Arab didasarkan pada kecintaan mereka
terhadap Islam. Doktrin-doktrin al-Quran dan hadits tentang pentingnya bahasa
Arab betul-betul mengisi dada dan otak mereka sehingga mengalahkan cinta
kesukuan dan premordialitas semu terhadap hal-hal lain di luar motif agama.
Kalau di zaman Bani Umayyah, para pejabat mengirim anak-anak dan generasi
mereka ke Badui untuk mendalami dan menguasai bahasa yang masih bersih dan
belum tercemari bahasa-bahasa luar, maka pada zaman Bani Abbasiyah ini berbeda.
Justru orang Arab Baduilah yang diundang hadir ke istana untuk mengajarkan
bahasa Arab kepada anak-anak dan keluarga para khalifah. Hal itu didasarkan
pada kehendak para khalifah untuk memberikan hidup bahagia dan fasilitas istana
bagi putra putri mereka. Pada zaman Bani Abbasiyah ini, gerakan pemurnian
bahasa Arab terus berjalan. Hal ini lahir karena bahasa Arab sempat merosot ke
tingkat sangat rendah ketika terjadi proses percampuran orang-orang Arab dengan
penduduk lokal yang baru masuk Islam. Pada saat itu bahasa Amiyah (The
Colluquial Arabic, Al-Arabiyah al Amiyah) sebagai campuran bahasa ( Arabiyah
Muwalladah) antara kelompok dua bahasa yang berbeda tadi menjadi tren bahasa
kelas menengah dan rendah bahkan kaum terpelajar. Pada tahap selanjutnya,
bahasa Arab Amiyah atau al- Muwalladah tersebut kemudian berubah menjadi bahasa
percakapan dan alat komunikasi yang akhirnya berbeda jauh dengan bahasa Arab
Fusha dalam beberapa hal. Misalnya perbedaan yang menyangkut segi tata bunyi (
Al-Ashwat, Fonologi), bentuk kata (Al-Sharf, Morfologi), tata kalimat
(Al-Nahwu, Sintaksis), maupun kosakata (Al-Mufradat, Vokabulari). Gerakan
pemurnian ini dibantu oleh para khalifah dan para pejabat Bani Abbasiyah
sehingga berjalan lancar. Khalifah, para menteri dan pejabat-pejabat Bani
Abbasiyah sering menyelenggarakan forum-forum ilmiyah di istana. Misalnya,
pertemuan antara Sibawaih (wafat 177 H) dan al-Kisai (wafat 189 H) yang
dihadiri langsung oleh khalifah Harun al-Rasyid seorang khalifah yang sangat
mencintai ilmu. Namun sejak pertengahan abad dua sampai awal abad tiga
Hijriyah, terjadi pertarungan antara bahasa Arab Fusha dengan bahasa Arab
Amiyah. Bahasa Arab Fusha yang digawangi orang-orang Arab Badui, yang tidak
henti-hentinya didatangkan ke pusat pemerintahan Bani Abbasiyah berhadapan dengan
bukan hanya orang-orang awam yang memang menggunakan bahasa Amiyah ini dalam
pergaulan sehari-hari, tapi juga dengan terbitnya buku-buku ilmiah yang ditulis
dengan bahasa Arab yang kurang murni karena mengandung gaya bahasa dan
kata-kata bahasa Arab Muwalladah. Tidak hanya itu, pada masa ini salah seorang
menteri, Ismail Ibnu Bulbul dan para pejabat tinggi kerajaan juga berbicara
dengan menggunakan bahasa Arab Amiyah. Keadaan yang lebih menyedihkan adalah
para ahli Nahwu yang seharusnya teguh untuk mempertahankan bahasa Arab Badui
pun pada akhir abad tiga Hijriyah turut menggunakan bahasa Arab Amiyah dalam
percakapan biasa. Tapi harapan pun tumbuh ketika buku-buku yang memakai bahasa
Arab Badui diterbitkan untuk mengoreksi dan meluruskan penggunaan kosakata yang
salah yang digunakan dalam buku-buku berbahasa Arab Fusha. Dan sejak saat itu
bahasa Arab tidak hanya dipelajari secara Listening (didengar langsung) dari
orang-orang Badui, tapi juga sudah menjadi mata ajar yang dapat dipelajari
melalui buku-buku. Abad kecemerlangan bahasa Arab di zaman Khilafah Abbasiyah
adalah abad ke empat. Hal itu selain disebabkan terbitnya buku-buku berbahasa
Arab, juga karena masa itu hampir tidak ada lagi orang yang mempelajari bahasa
Arab dengan mengunjungi guru-guru bahasa Arab badui. Bahasa Arab sudah cukup
dipelajari dari buku-buku yang setiap saat bertambah dan dipublikasikan.
Beberapa buku yang sudah terbit masa itu, antara lain , Jawahir Al-Lafdz yang
ditulis Qudamah ibn Jafar dan Alfadz Al-Kitabiyah yang ditulis Yaqub al- Sakit
al – Jamhi. Pada perkembangan selanjutnya, bahasa Arab badui sudah tidak lagi
menjadi sandaran ketergantungan penguasa dan rakyat karena berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor itu antara lain bahasa Arab abad ini sudah
menjadi bahasa yang mantap karena ia sudah menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan
kebudayaan. Hal ini memunculkan tuntutan bagi lahirnya kata-kata,
istilah-istilah, ungkapan-ungkapan dan gaya bahasa yang baru yang tidak dapat
dinyatakan oleh bahasa masyarakat Arab Badui dengan kosakata dan gaya bahasa
yang sangat terbatas dan hanya mampu mencerminkan alam kehidupan bersahaja di
padang pasir. Namun demikian, bahasa Arab Badui tidak semuanya ditinggalkan,
masih ada sebagian kecil dari para penyusun kamus yang masih berminat melakukan
pengamatan ke pedalaman gurun sahara dalam rangka mengumpulkan bahan-bahan,
baik kata-kata ataupun gaya bahasa yang langsung diperoleh dari lingkungan
Badui. Mahmud al-Azhar, misalnya (wafat 370 H) berhasil menyusun sebuah kamus
fenomenal Al-Lughat Tahdzib. Hal inilah yang membuat bahasa Arab di Persia dan
Irak, kala itu menjadi bahasa dengan tingkat tertinggi karena penduduk setempat
mempelajari bahasa Arab secara sungguh-sungguh serta mengerahkan segala tenaga
dan pikiran untuk dapat menguasai bahasa Arab asli dengan baik dibanding
kawasan-kawasan dan negeri-negeri lain seperti Syam, Mesir, Afrika Utara dan
Andalusia. Uniknya, bahasa Arab Fusha, dengan dialek-dialek yang berbeda-beda
tadi, masih tetap mempersatukan daerah-daerah tersebut dan digunakan oleh
ulama, sastrawan dan para cendikiawan. Bahkan bahasa Arab Fusha ini terus
digunakan sampai negeri-negeri tadi telah berdaulat dan berdiri sendiri. Oleh
Dosen PBA Cipasung : Asep M. Tamam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar