Senin, 28 April 2014

perkembangan bahasa arab pada masa abbasiyyah

Perkembangan bahasa arab pada zaman bani abbasiyah


            BAHASA ARAB PADA ZAMAN BANI ABBASIYAH Walaupun pemerintahan Bani Umayyah yang berasal dari keturunan bangsa Arab telah runtuh, namun fungsi dan peranan bahasa Arab tidak ikut jatuh. Bahasa Arab tetap berperan dan menempati posisi yang sangat penting sebagaimana mula awalnya meskipun zaman dinasti Bani Abbasiyah --menurut sejarawan Islam-- menang dan menggambarkan kemenangan orang-orang Persia atas Bani Umayyah yang berasal dari bangsa Arab. Pernyataan ini didasarkan atas bukti bahwa sebagian menteri dan panglima militer adalah orang-orang Persia atau ketrurunan orang-orang Persia. Seluruh Khalifah Bani Abbasiyah memberikan perhatian serius kepada bahasa Arab. Kecintaan terhadap bahasa Arab didasarkan pada kecintaan mereka terhadap Islam. Doktrin-doktrin al-Quran dan hadits tentang pentingnya bahasa Arab betul-betul mengisi dada dan otak mereka sehingga mengalahkan cinta kesukuan dan premordialitas semu terhadap hal-hal lain di luar motif agama. Kalau di zaman Bani Umayyah, para pejabat mengirim anak-anak dan generasi mereka ke Badui untuk mendalami dan menguasai bahasa yang masih bersih dan belum tercemari bahasa-bahasa luar, maka pada zaman Bani Abbasiyah ini berbeda. Justru orang Arab Baduilah yang diundang hadir ke istana untuk mengajarkan bahasa Arab kepada anak-anak dan keluarga para khalifah. Hal itu didasarkan pada kehendak para khalifah untuk memberikan hidup bahagia dan fasilitas istana bagi putra putri mereka. Pada zaman Bani Abbasiyah ini, gerakan pemurnian bahasa Arab terus berjalan. Hal ini lahir karena bahasa Arab sempat merosot ke tingkat sangat rendah ketika terjadi proses percampuran orang-orang Arab dengan penduduk lokal yang baru masuk Islam. Pada saat itu bahasa Amiyah (The Colluquial Arabic, Al-Arabiyah al Amiyah) sebagai campuran bahasa ( Arabiyah Muwalladah) antara kelompok dua bahasa yang berbeda tadi menjadi tren bahasa kelas menengah dan rendah bahkan kaum terpelajar. Pada tahap selanjutnya, bahasa Arab Amiyah atau al- Muwalladah tersebut kemudian berubah menjadi bahasa percakapan dan alat komunikasi yang akhirnya berbeda jauh dengan bahasa Arab Fusha dalam beberapa hal. Misalnya perbedaan yang menyangkut segi tata bunyi ( Al-Ashwat, Fonologi), bentuk kata (Al-Sharf, Morfologi), tata kalimat (Al-Nahwu, Sintaksis), maupun kosakata (Al-Mufradat, Vokabulari). Gerakan pemurnian ini dibantu oleh para khalifah dan para pejabat Bani Abbasiyah sehingga berjalan lancar. Khalifah, para menteri dan pejabat-pejabat Bani Abbasiyah sering menyelenggarakan forum-forum ilmiyah di istana. Misalnya, pertemuan antara Sibawaih (wafat 177 H) dan al-Kisai (wafat 189 H) yang dihadiri langsung oleh khalifah Harun al-Rasyid seorang khalifah yang sangat mencintai ilmu. Namun sejak pertengahan abad dua sampai awal abad tiga Hijriyah, terjadi pertarungan antara bahasa Arab Fusha dengan bahasa Arab Amiyah. Bahasa Arab Fusha yang digawangi orang-orang Arab Badui, yang tidak henti-hentinya didatangkan ke pusat pemerintahan Bani Abbasiyah berhadapan dengan bukan hanya orang-orang awam yang memang menggunakan bahasa Amiyah ini dalam pergaulan sehari-hari, tapi juga dengan terbitnya buku-buku ilmiah yang ditulis dengan bahasa Arab yang kurang murni karena mengandung gaya bahasa dan kata-kata bahasa Arab Muwalladah. Tidak hanya itu, pada masa ini salah seorang menteri, Ismail Ibnu Bulbul dan para pejabat tinggi kerajaan juga berbicara dengan menggunakan bahasa Arab Amiyah. Keadaan yang lebih menyedihkan adalah para ahli Nahwu yang seharusnya teguh untuk mempertahankan bahasa Arab Badui pun pada akhir abad tiga Hijriyah turut menggunakan bahasa Arab Amiyah dalam percakapan biasa. Tapi harapan pun tumbuh ketika buku-buku yang memakai bahasa Arab Badui diterbitkan untuk mengoreksi dan meluruskan penggunaan kosakata yang salah yang digunakan dalam buku-buku berbahasa Arab Fusha. Dan sejak saat itu bahasa Arab tidak hanya dipelajari secara Listening (didengar langsung) dari orang-orang Badui, tapi juga sudah menjadi mata ajar yang dapat dipelajari melalui buku-buku. Abad kecemerlangan bahasa Arab di zaman Khilafah Abbasiyah adalah abad ke empat. Hal itu selain disebabkan terbitnya buku-buku berbahasa Arab, juga karena masa itu hampir tidak ada lagi orang yang mempelajari bahasa Arab dengan mengunjungi guru-guru bahasa Arab badui. Bahasa Arab sudah cukup dipelajari dari buku-buku yang setiap saat bertambah dan dipublikasikan. Beberapa buku yang sudah terbit masa itu, antara lain , Jawahir Al-Lafdz yang ditulis Qudamah ibn Jafar dan Alfadz Al-Kitabiyah yang ditulis Yaqub al- Sakit al – Jamhi. Pada perkembangan selanjutnya, bahasa Arab badui sudah tidak lagi menjadi sandaran ketergantungan penguasa dan rakyat karena berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor itu antara lain bahasa Arab abad ini sudah menjadi bahasa yang mantap karena ia sudah menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Hal ini memunculkan tuntutan bagi lahirnya kata-kata, istilah-istilah, ungkapan-ungkapan dan gaya bahasa yang baru yang tidak dapat dinyatakan oleh bahasa masyarakat Arab Badui dengan kosakata dan gaya bahasa yang sangat terbatas dan hanya mampu mencerminkan alam kehidupan bersahaja di padang pasir. Namun demikian, bahasa Arab Badui tidak semuanya ditinggalkan, masih ada sebagian kecil dari para penyusun kamus yang masih berminat melakukan pengamatan ke pedalaman gurun sahara dalam rangka mengumpulkan bahan-bahan, baik kata-kata ataupun gaya bahasa yang langsung diperoleh dari lingkungan Badui. Mahmud al-Azhar, misalnya (wafat 370 H) berhasil menyusun sebuah kamus fenomenal Al-Lughat Tahdzib. Hal inilah yang membuat bahasa Arab di Persia dan Irak, kala itu menjadi bahasa dengan tingkat tertinggi karena penduduk setempat mempelajari bahasa Arab secara sungguh-sungguh serta mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk dapat menguasai bahasa Arab asli dengan baik dibanding kawasan-kawasan dan negeri-negeri lain seperti Syam, Mesir, Afrika Utara dan Andalusia. Uniknya, bahasa Arab Fusha, dengan dialek-dialek yang berbeda-beda tadi, masih tetap mempersatukan daerah-daerah tersebut dan digunakan oleh ulama, sastrawan dan para cendikiawan. Bahkan bahasa Arab Fusha ini terus digunakan sampai negeri-negeri tadi telah berdaulat dan berdiri sendiri. Oleh Dosen PBA Cipasung : Asep M. Tamam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar